Enam

951 Kata
Author pov Dari kejauhan Anton penasaran dengan suara keributan yang berada tepat di depan kelas yang akan dia ajar, bergegas ia menghampirinya namun ia terkejut saat mendapati Aira adik sepupunya yang sedang mengibarkan bendera peperangan pada seorang mahasiswinya. Anton panik Ia berpikir pasti Aira sudah mengetahui tentang pernikahan Ardan dengan Aisya. "Aira ngapain kamu di sini? Kapan kamu datang kok Kakak nggak tahu!" Tanya Anton ketika dihadapan gadis itu namun tak ada jawab dari bibirnya, dengan cepat ia mencekal lengan adik sepupunya. Sedang Aira menatap marah padanya lalu menghentakkan lengannya dari cengkeraman Anton dengan kasar. Sejak insiden kelaurga Aisya yang memalukan dulu tersebar, Hendra sekeluarga pindah ke Jakarta, jadi keluarga Anton dan Aira pun jarang bertemu kecuali dalam acara-acara tertentu, apalagi Anton tahu jika Aira anak yang keras kepala, apapun keinginannya harus terpenuhi mengingat ia memang anak tunggal om Hendra dan tante Marissa yang selalu memanjakannya. Ia khawatir Aira akan berbuat nekat pada Aisya, istri sahabatnya. Aira sudah lama menaruh hati pada Ardan meskipun dia tau Ardan hanya menganggapnya sebagai seorang adik, karena obsesinya pada Ardan setiap ada perempuan yang dekat dengan Ardan pastiakan ia singkirkan, inilah alasan mengapa keluarga sepakat menyembunyikan pernikahn Ardan dan Aisya, saat acara berlangsung, Hendra sengaja mengajak Aira berlibur ke Singapore agar tidak mengacaukan acara pernikahan Ardan. "Lepasin Kak Anton, kakak jahat bersekongkol dengan semua orang, padahal Kakak tahu aku sangat mencintai Kak Ardan!" Dengan air mata yang hampir jatuh Aira pergi meninggalkan Anton yang hanya diam membisu, biar bagaimanapun ia juga turut bersalah meskipun ia tak ikut andil dengan rencana ini. Semua adalah rencana Hendra, om-nya sendiri sedang Anton hanya mengikuti perintah agar tutup mulut. Selama ini orang tua Anton, Ardan, dan Aira memang bersahabat sejak SMA bahkan mereka menjadi rekan bisnis yang solid. Hendra menikah dengan Marissa adik kandung Alan ayah Anton. Sedang Andre, ayah Ardan memang tak mau memaksa Ardan bila memang tak mencintai Aira, karena demi menjaga perasaan dari semua belah pihak Hendra sengaja menjauhkan Aira dengan Ardan, berharap dengan berjauhan Aira jatuh cinta dengan lelaki lain tapi sampai detik ini harapan itu tidak terwujud justru membuat obsesi Aira semakin besar terhadap Ardan. Anton berharap pernikahan Ardan dan Aira akan baik-baik saja setelah insiden ini. Selama mengajar Anton tidak bisa berkonsentrasi, ia hanya memikirkan Aira ketika sesekali mencuri pandang pada Aisya, menurutnya Aisya adalah mahasiswi yang kompeten dan aktif, ia kuliah di kampus ini juga karena beasiswa yang ia peroleh. Bahkan Anton pernah memiliki ketertarikan pada gadis sederhana itu, namun setelah mengetahui bahwa Aisyalah perempuan yang selama ini dicari-cari sahabatnya, ia memilih mengenyahkan perasaan itu. Perkuliahan pun berakhir, Anton ingin bergegas menemui Ardan di ruangannya, tepatnya ruangan mereka, kantor itu khusus ruang para Kaprodi, setiap kaprodi tersekat dan ada pembatas kaca sekitar satu meter, sesama Kaprodi masih bisa saling menyapa. Namun ia terkejut saat mendapati Aira sedang berbincang di ruangan Ardan, Aira tampak menangis dan Ardan sedang mengelus bahu Aira untuk menenangkan. Anton yakin Aira bisa mengerti bila Ardan sendiri yang menjelaskan namun saat Anton hendak berbalik ke ruangannya sendiri ia dibuat lebih terkejut ternyata Aisya sedang berdiri menunggu di depan kantor. Sepertinya Aisya mengurungkan niatnya karena melihat Aira di ruang Ardan. "Aisya mau mencari Pak Ardan? Masuk aja nggak papa kok, Aira itu adik sepupu saya!" Sapa Anton serta menjelaskan hubungannya dengan Aira dengan ramah. "Iya pak, saya tunggu di sini saja Pak Ardan masih ada tamu!"Jawab Aisya ragu. Namun Anton tak tega akhirnya terpaksa ia kembali ke ruang Ardan, meninggalkan Aisya yang kembali duduk di luar kantor. Tok.. Tok.. Tok "Ra ayo ikut ke ruangan Kakak sebentar!" Ajak Anton tanpa persetujuan menarik tangan Aira paksa untuk masuk ke ruangannya. Sebelum menutup pintu Anton memberi kode pada Ardan bahwa Aisya menunggunya lalu Ardan mengangguk dan mengucap terimakasih tanpa bersuara. ***** Aisya pov Tepat pukul 13.00 perkuliahan selesai aku berencana menunggu suamiku di kantornya, aku mulai belajar mempublikasikan pernikahan kita, sebenarnya Mas Ardan nggak mau menyembunyikannya namun akulah yang belum siap jika seluruh kampus mengetahui jika aku istri dosen idola para mahasiswi di kampus ini, kecuali teman sekelas yang memang sudah tahu, malah mereka turut berbahagia atas pernikahanku. Tapi langkahku terhenti saat kudapati Mas Ardan bersama gadis yang tadi mengancamku, kuperhatikan mereka tampak akrab bahkan Mas Ardan membelai bahu gadis itu dengan lembut, oya gadis itu bernama Aira tadi sudah dijelaskan Pak Anton padaku. Akhirnya kuputuskan menunggunya di depan kantor saja agar mereka menyelesaikan urusan mereka yang mungkin belum usai, akulah yang salah karena menjadi pihak ketiga dalam hubungan Mas Ardan dan Aira, jadi aku akan siap apapun keputusan Mas Ardan kecuali poligami, meskipun aku belum mencintainya namun aku tidak rela bila harus berbagi. "Sayang kok nggak masuk saja ke ruangku kenapa menunggu di luar!" Tanya Ardan yang membuatku tersadar dari lamunan sambil mengusap kepalaku dengan lembut dengan tersenyum. "Nggak papa Mas tadi aku lihat Mas sedang ada tamu jadi aku putuskan menunggu di sini saja!" Balasku ramah namun sebenarnya hatiku gelisah karena melihat suamiku bersikap akrab dengan gadis lain. "Ayo pulang aku ingin istirahat di rumah, oya mau belanja dulu? Isi kulkas kayaknya kosong deh!" Ajaknya lalu menggenggam jemariku menuju area parkiran kampus, namun baru beberapa langkah aku tersadar bahwa banyak pasang mata yang menatap kami curiga. Kutarik tanganku paksa namun Mas Ardan justru memperetnya. "Iya Mas persedian buat besok belum ada, Mas... malu kita sedang di kampus!" Bisikku pelan dengan melihat tangan kami yang bertautan. Dia terkekeh pelan sambil mengerlingkan mata. "Ngga papa biar semua tahu klo kamu istriku!" jawabnya santai namun menuruti kemauannku saat aku mulai merajuk. "OK, berarti di rumah boleh ya!" Jawabnya tenang melenggang pergi lalu kuikuti di belakangnya, tampak senyum manisnya mengembang. Deg.. Deg.. Deg.. Selalu saja seperti ini saat bersamanya apa aku jatuh cinta? Entahlah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN