"Aisya anakku, maafkan Mama. Karena keegoisan Mama kamu tidak bisa merasakan keluarga yang sempurna lagi, setelah kepergian Mama nanti, Ardanlah yang akan menjagamu, Mama yakin dia laki-laki baik."
"Mama...!" Dengan nafas tersengal-sengal dan keringat dingin bercucuran aku terbangun. Pipiku basah berlinang air mata, Mama adalah satu-satunya keluargaku yang tersisa, aku rindu Mama.
Namun aku segera tersadar.
"Ya Allah! Aku kesiangan aduh gimana ni!" Aku bergegas bangun saat kulihat jam menunjukkan angka 04.30 pagi, aku segera mengambil air wudlu dan melaksanakan sholat subuh lalu beranjak ke arah dapur tapi langkahku terhenti saat kudapati segelas teh yang menguap di atas meja makan.
"Sudah bangun Sayang?" Ucapnya yang seketika membuatku terkejut saat tiba-tiba ia ke luar dari kamar mandi yang terletak di sudut dapur.
"Maaf tadi aku nggak tega bangunin kamu, jadi aku tinggal ke masjid dulu." Sambungnya sambil menyerahkan segelas teh hangat ke arahku.
"Maaf Mas saya bangun kesiangan!" Ucapku tak berani menatap netranya tapi tetap meraih gelas yang ia sodorkan lalu duduk di kursi yang sudah ditariknya. Lalu dia duduk menghadapku dengan senyum khasnya. Yah sejak semalam senyum itu menemaniku meskipun aku tak berani menatap netra hitam kecoklatannya lebih dalam.
"Aisya? Panggilnya lembut sambil meraih tanganku. Deg deg deg... Degup jantungku berkejaran saking gugupnya langsung kutarik jemariku yang berada dalam gengamannya.
"Dalem Mas!" Balasku singkat sambil menenangkan diri.
"Kenapa kamu selalu menghindar saat menatapku, apa aku menyeramkan? padahal banyak mahasiswiku yang bilang aku ganteng tapi kamu istriku sendiri malah takut!" Ujarnya masih dengan senyum menggodaku.
"Bukan begitu Mas!" Jawabku malu-malu memberanikan diri menatap netranya. Netra kecoklatan itu rasanya menghipnotisku entah berapa lama aku terseret di dalamnnya seperti pusaran air berputar-putar semakin lama semakin dalam, tapi tiba-tiba netra hitam kecoklatan itu mengingatkanku pada seseorang yang dulu selalu menghibur di saat terpurukku, semakin kupaksa mengingatnya semakin samar raut wajahnya.
"Ehem... Kok malah melamun!"
"Iya Mas," jawabku gelabakan.
"Mas saya boleh meminta sesuatu!" Ujarku ragu sambil memainkan gelas. Dengan was-was kukeluarkan secarik kertas yang sudah kusiapkan 2 hari lalu, kusodorkan pelan tanpa menatapnya.
Beberapa kali kucuri pandang ingin melihat reaksinya saat membaca suratku. Senyumnya terukir mengikuti kata demi kata yang kutulis dalam surat itu, harusnya dia marah tapi kok malah tersenyum.
"Ya Allah maafkan hamba jika menjadi istri yang durhaka" ucapku dalam hati. Kupejamkan mata menyiapkan diri jika Mas Ardan marah, bayangan seorang psikopat dalam film-film yang pernah aku tonton berseliweran, pelaku psikopat biasanya ekspresi dan tindakannya berbanding terbalik, aku jadi ngeri sendiri. Tanpa sadar kepalaku menggeleng-geleng mengenyahkan pikiran negatif yang mulai bersarang di otakku.
Tapi tiba-tiba sebuah jemari menyentuh daguku lalu mendongakkan wajahku tepat di depan netra hitam kecoklatannya.
"OK, aku setuju!" Jawabnya dengan seulas senyum mengembang, aku hanya terpaku tak percaya Mas Ardan menyetujui permintaanku.
"Kenapa diam? Iya aku menyetujui permintaanmu istri cantikku."
"Mas Ardan nggak marah?" Tanyaku masih belum percaya tapi dia hanya mengangguk lalu mengusap lembut pipiku dan mendaratkan kecupan singkat di sana, sontak membuat pipiku merona, sejak semalam Mas Ardan selalu menepis benteng yang kubangun. Bukan karena sengaja menolaknya tapi aku belum siap menjalankan kehidupan rumah tangga tanpa adanya cinta. Apalagi usia kita terpaut 12 tahun, Mas Ardan sudah cukup matang di usianya yang ke 31 sedangkan aku...remaja 19 tahun yang belum pernah merasakan jatuh cinta.
"Mas nggak marah yang penting kamu nyaman, lakukan yang menurutmu baik, udah nggak usah dipikirkan!." Jawabnya santai.
"Oya Mas ke kampus dulu ya kasihan mahasiswa yang bimbingan skripsi, sudah seminggu Mas nggak ngampus." lalu ia beranjak ke kamar berganti baju, sedang aku masih terdiam di kursi ruang makan, aku masih bingung dengan sikap Mas Ardan mengapa begitu mudahnya menyetujui permintaanku.
***
Ardan pov
"Aisya Aisya...kamu masih sama Chacaku yang dulu, aku bahagia bisa menemukanmu dan menjadikanmu milikku."
Brak.. Suara benda jatuh tepat di meja Ardan yang membuyarkan lamunannya tentang Aisya. Anton sengaja menjatuhkan buku di atas meja Ardan karena 15 menit sudah dia duduk di kursi depan Ardan tapi dia tak menyadarinya.
"Ehem... Pengantin baru dari tadi senyum-senyum sendiri," goda Anton menelisik rona Ardan yang bersemu merah. Semalam adalah moment terindah dalam hidup Ardan, Aisya resmi menjadi istrinya setelah sekian lama penantiannya, meskipun Aisya tak mengenalinya Ardan yakin waktu yang akan berpihak padanya.
"Sejak kapan kamu masuk?" Tanya Ardan dengan tampang bingung, bahkan Ardan sendiri tak tau Anton masuk ruangannya. Anton adalah rekan sesama dosen sekaligus sahabat Ardan, ya meskipun beda fakultas karena Anton mengajar di fakultas ekonomi tepatnya dosen Aisya istrinya sedankan Ardan di Fakutas Seni.
"Gimana kamu sudah jujur pada Aisya?" Tanya Anton serius pada Ardan. Anton adalah satu-satunya orang yang mengetahui rahasia Ardan. Anton ingat betul saat Ardan bercerita tentang pertemuannya dengan Aisya, kebahagiaan terpancar di kedua netra hitam kecoklatannya, pertemuan yang tak disengaja, mereka bertabrakan di parkiran kampus, tapi kekecewaan menderanya saat Aisya tak mengenalinya. Anton terkejut saat mengetahui ternyata gadis itu adalah mahasiswi yang selama ini menarik perhatiannya.
"Aku belum siap Ton, aku akan menunggu sampai dia mengingatnya sendiri" jawab Ardan dengan sorot mata menerawang ke depan.
"Trus gimana malam pertamamu? Jangan bilang kau belum melakukannya?" goda Anton untuk mengalihkan kesedihan sahabatnya.
"Aku tak akan memaksanya, bahkan aku menerima permintaanya" jawab Ardan dengan senyum geli teringat saat Aisya menyerahkan sepucuk surat tadi pagi dengan ragu.
"Maksudnya kalian membuat perjanjian? Jangan mempermainkan pernikahan Sob!" Seru Anton masih dengan rasa penasaran.
"Yah kurang lebih begitu Ton, intinya dia ingin kita saling mengenal dulu atau tepatnya pacaran dulu" jawab Ardan dengan senyum mengembang lalu memainkan bulpoin yang tadi dia gunakan untuk mencoret-coret skripsi mahasiswa bimbingannya.
"Hahaha..." tawa Anton pecah seketika, dengan kesal Ardan melempar bulpoin tepat mengenai keningnya.
"Dasar sahabat sableng!" Gerutu Ardan kesal.
_________________&&&_________________
Judul Buku : Memory of Love
Author : Farasha