Aisya pov
Adzan maghrib sayup mengusik indera pendengarku yang terlelap dalam dunia mimpi, aku menggeliat kurasakan tubuhku menghangat saat kusadari aku berada dalam dekapan suamiku, berlahan aku bangkit sambil mengikat rambut panjangku asal namun tiba-tiba sebuah tangan kekar menarikku ke dalam pelukannya kembali.
"Mas udah maghrib, aku mau mandi, sholat, dan setelah itu masak buat makan malam kita!" ucapku dengan segera melepas pelukannya. Tadi setelah belanja aku sudah menyiapkan ayam ukep dan capjay jadi aku bisa memasak dengan cepat, menu wajib selain ikan yang harus ada di meja adalah sayur dan sambal. Dari kecil aku sudah hobby membantu mama di dapur, hampir semua resep masakkan aku bisa membuatnya, apalagi sekarang ada Mas Ardan yang selalu lahap dengan masakkanku, aku semakin bersemangat mencoba resep-resep baru. Aku tersadar dari lamunanku lalu beranjak ke kamar kulirik sekilas Mas Ardan tersenyum padaku dan kubalas dengan tersenyum lembut, entah mengapa rasanya geli seperti ada sesuatu yang menggelitik dalam diriku.
Setelah sholat aku menuju dapur sedang Mas Ardan pergi ke kamarnya menyiapkan kuis untuk mengajar besok, diakhir semester begini pasti Mas Ardan sibuk untuk persiapan UAS, akupun juga sama banyak tugas yang harus kuselesaikan minggu ini. Ternyata bersuamikan Mas Ardan adalah anugerah terbesar, selain ganteng dia juga pintar dalam segala bidang, setiap ada tugas sulit tak segan dia membantu dan mengajariku.
Teet.. Teet..
Bel rumah berbunyi nyaring aku segera mematikan kompor namun baru selangkah Mas Ardan turun dari kamar dan menyuruhku melanjutkan pekerjaanku dan dia yang membukakan pintu. Kudengar dari dapur suara canda terdengar sayup, sepertinya tamu yang datang seorang pria dan wanita. Selesai memasak aku tak langsung menyajikannya di meja makan aku penasaran ingin menemui tamu tersebut.
"Masak apa Nduk aromanya sedap sekali!" sapa wanita cantik separuh baya sambil meraih tubuhku membawa kepelukannya.
"Mama, papa kok nggak bilang klo mau mampir!" balasku lalu meraih tangan mama dan mencium punggung tangannya dan papa bergantian, jujur aku malu sekali setelah sebulan menikah aku dan Mas Ardan belum sempat menjenguk mama dan papa. Hanya beberapa kali bertukar kabar lewat telepon. Meskipun aku hanya menantu tapi mereka sangat menyayangiku dan tak pernah mempermasalahkan keadaanku yang yatim piatu.
"Sengaja memberi kejutan buat kalian, mama pengen mencicipi masakanmu, kata Ardan masakanmu mantep!" puji mama lalu mengajakku menyiapkan hidangan di atas meja makan, sedang Mas Ardan mengajak papa duduk menunggu kami selesai menghidangkan makanan.
Perasaan canggungku tiba-tiba mendera saat mereka mulai mencicipi masakanku, aku takut tidak enak dan tidak sesuai dengan lidah mereka. Papa kulihat sangat menikmati sama seperti Mas Ardan meskipun kulihat beberapa kali meneguk air putih karena kepedasan.
"Bener kata Ardan masakkanmu enak persis masakkan mama kamu, kamu tau nggak Aisya mama dulu belajar memasak dari mama kamu loh, papa kamu nih yang sering protes mama disuruh belajar pada mamamu!" ucap Mama santai, namun aku merasa ada yang aneh di sini, apa mungkin orangtuaku mengenal orang tua Mas Ardan. Aku berusaha menahan diri agar tidak bertanya.
"Bener Nduk menjadi perempuan itu harus pinter masak, mamamu dulu itu paling jago masak, syukurlah menurun ke kamu," balas papa tidak mau kalah dengan mama. Mama dan papa bingung melihatku karena dari tadi aku hanya diam mungkin mereka baru menyadari dari raut wajah kebingunganku. Kulihat mama dan papa saling berpandangan heran sedang Mas Ardan masih melanjutkan makan dengan santainya.
"Ardan nggak cerita kamu apa-apa?" tanya mereka serempak dan aku hanya menggelang memberi jawaban.
"Ardan....!" panggil mereka serempak sambil memelototi Mas Ardan yang acuh.
"Sebenarnya ada apa sih Pa Ma!?" tanyaku masih dalam kebingungan. Tanpa menjawab pertanyaanku papa berdiri dan menjewer telinga Mas Ardan.
"Pinter kamu ya Le membohongi Papa dan Mama, katanya kamu akan cerita sendiri pada Aisya? kamu nggak kasihan sama istrimu ini, hah!" bentak papa mengencangkan jewerannya.
"Aduh...Maaf Ma Pa, aku belum sempat cerita ke Aisya, rencananya aku mau cerita saat bulan madu nanti, kan seminggu lagi liburan semester, aku berencana bulan madu ke Lombok, katanya pengen cepet punya cucu!" jawab Ardan sambil memegang telinganya yang tampak merah sepertinya papa serius tadi menjewernya. Melihat mereka seperti ini tiba-tiba air mataku mengalir deras, aku teringat kebahagian keluargaku dulu saat masih utuh namun semua hancur karena hadirnya wanita jalang itu.
"Sayang kenapa kamu menangis!" ucap mama khawatir dan mengusap air mataku, sedang Papa dan Mas Ardan langsung menoleh menatapku khawatir.
"Sudah sudah bercandanya, ayo Sayang kita bereskan dulu, setelah ini Mama dan Papa pamit pulang dulu. Oya minggu depan nginep di rumah mama ya!?" potong mama memecahkan kecanggungan, aku hanya mengangguk lalu membereskan sisa makanan, kulihat dari pantulan kaca meja Mas Ardan memperhatikanku, dia ragu antara mengajakku bicara atau diam. Aku berusaha menahan diri bersikap sewajarnya di depan kedua mertuaku hingga mereka berpamitan. Setelah mobil mereka menghilang di belokan gang kompleks aku berlari ke kamar tanpa memerdulikan Mas Ardan.
Tok.. Tok.. Suara ketukan pintu dari luar. Aku tak menjawab ataupun membukakan pintu, sebenarnya pintu tak terkunci mungkin Mas Ardan tahu aku sedang ingin sendiri. Kucoba mencerna semua yang terjadi namun tetap saja aku tak bisa mengingat apapun tentang Mas Ardan ataupun orang tuanya. Kuraih hanphone dan memasangkan handset di kedua telingaku mencoba menghibur diri sendiri, setiap aku merasa kacau hanya musik yang bisa menghiburku. Sambil menikmati lagu-lagu kesayanganku dari Weslife aku membuka sosmedku yang lama sudah tidak aktif, ternyata banyak notifikasi pesan masuk di IG-ku, rata-rata ucapan selamat atas pernikahanku padahal aku tidak memposting foto apapun bersama Mas Ardan, karena penasaran aku stalking ke IG Mas Ardan. Kulihat postingan foto 2 bulan lalu di foto itu ada gadis berseragam putih biru bersama Mas Ardan, gadis itu tampak dari samping sedang Mas Ardan menatapnya mesra sambil membelai rambutnya, dalam caption _nya tertulis first love. Ada ribuan komentar membanjiri kolom itu, kebanyakan dari kaum hawa yang memuji Mas Ardan.
Dasar cewek-cewek genit aku menskroll lagi, di postingan itu mas Ardan sedang duduk di kursi dan menulis di atas buku, jangan tanyakan bagaimana maskulinnya suamiku, kacamata berframe hitam bertengger mesra di hidung mancungnya dengan rambut sedikit acak-acakan dan lengan kemeja digulung sampai siku cukup dua kata untuknya cool and sexy. Tak sadar bibirku membentuk senyum, kuakui pesona Mas Ardan memang luar biasa tak heran jika menjadi dosen idola dan aku baru menyadarinya, selama ini aku tak berani menatapnya secara intens. Di caption_nya tertulis "Akhirnya aku menemukanmu Ai.. I love u so much". Postingan itu sebulan sebelum pernikahanku denganya. Karena penasaran aku menscroll lagi dan mataku terbelalak hingga rasanya ingin copot dari rongganya, tanganku gemetar hebat masih dengan memegang gawaiku, foto pernikahan kami, dalam foto itu ia menatapku penuh cinta sedang aku menunduk dengan menggenggam erat kedua tangan tampak gugup, tertulis caption cinta pertama dan terakhirku, Aisya. Deg...