Si Ratu Jahil

1002 Kata
Pak Herman menghela napas berat, "Iya, Bu. Entahlah, Bapak ceroboh sekali waktu itu. Sejujurnya Bapak merasa seperti sedang menemukan jalan untuk membuat kita untung besar saat ada penawaran itu." "Lain kali dipikir panjang dulu, Pak." Bu Nani kembali mengingatkan suaminya mengenai beberapa kegagalan transaksi juga di masa lalu hanya karena sikap Pak Herman yang terlalu grusa-grusu. Hal itu lah yang menyebabkan mereka tak dapat mengirimi Niar uang bulanan dalam waktu dekat. Modal yang amblas tanpa barang untuk dijual, dan kini malah ada tanggungan untuk bayar cicilan pinjaman modal. Kembali Niar menghibur ibunya, "Bilang juga sama Bapak, jangan kuatirin Niar, ya, Bu. Niar udah aman ada pemasukan." "Iya, tapi kalau toko ramai nanti pasti kami kirimi, Nak." Ucapan sang ibu masih mencoba menenteramkan. "Tidak udah, Bu. Untuk sementara ini Ibu dan Bapak fokus saja bayar cicilannya. Itu lebih cepat lunas akan lebih baik, Bu. Masalah Niar gampang, asalkan doa Ibu Bapak ada bersama Niar di sini, Niar yakin semuanya bisa teratasi." Dengan mantap, Niar meyakinkan ibunya. Sang Ibu terharu oleh keteguhan hati putri sulungnya itu. Niar sungguh telah dewasa dan semakin bijak semenjak kuliah. Dari dulu anak itu memang selalu dapat diandalkan dalam situasi apa pun. Yunaniar Nurindra Dewi, nama yang iab dan suaminya sematkan untuk putrinya, tepat saat ia melahirkan buah hati di hari Senin sore tanggal 11 Juli sembilan belas tahun silam. Bersyukur sekali mereka atas kelahiran putri cantik yang membawa kebahagiaan serta rezeki lancar semenjak kelahirannya. Pada masa itu, mereka yang masih berjualan di lapak lepas di pasar, sedikit demi sedikit mengumpulkan laba untuk akhirnya kemudian dapat terbeli sebuah lapak di dalam pasar yang lumayan besar. Ketekunan dan kejujuran mereka dalam berniaga membuat usaha mereka berjalan lancar. Naik turun omzet adalah hal yang biasa. Namun, keduanya selalu dapat mengatasinya tanpa kesulitan berarti. Ketika adik Niar--Bagas Ardiansyah Saputra--lahir empat tahun kemudian, keadaan ekonomi keluarga mereka semakin membaik. Bahkan, saat itu mereka memiliki dua karyawan yang bekerja di lapak pasar sehingga Bu Nani dapat mengasuh kedua anaknya sendiri di rumah tanpa mengkhawatirkan toko. Niar dan Bagas pun dibesarkan dengan kondisi ekonomi yang mapan. Mereka mendapatkan semua yng dibutuhkan anak-anak pada umumnya tanpa kesulitan. Pak Herman dan Bu Nani sangat mengutamakan pendidikan. Oleh sebab itu, mereka tak pernah tanggung-tanggung dalam menyekolahkan putra-putrinya. Semenjak SD, keduanya sudah dimasukkan ke sekolah favorit di daerah mereka. Hal mana tentu saja lebih tinggi juga biayanya dibandingkan dengan sekolah negeri biasa. Dan beruntungnya, Niar serta Bagas juga adalah anak-anak yang rajin belajar dan punya kemauan keras. Keduanya tak jarang termasuk ke dalam jajaran siswa berprestasi di sekolah. Apalagi Niar, beberapa kali ia tak tergantikan dari posisi peringkat pertama di kelas. Maka sudah diduga, Niar pun lulus dari SMA dengan nilai bagus sehingga mudah baginya untuk masuk ke perguruan tinggi yang diminati melalui jalur prestasi. Meskipun, selanjutnya saat di perguruan tinggi negeri yang juga termasuk favorit itu, ia menemui banyak saingan dari berbagai kota yang kemampuannya juga di atas rata-rata. Ia tetap berjusaha menembus  jajaran mahasiswa berprestasi sebab ambisiusnya. Hidup jauh dari rumah dan tidak selalu mendapatkan perhatian dari orangtua semenjak masuk kuliah, Niar justru belajar banyak untuk menjadi gadis mandiri yang mampu mengatasi masalah hidupnya sendiri. Ibu dan ayahnya selalu menelepon untuk mengabarkan keadaannya. Terkadang menanyakan sudah makan atau belum. Semalam tidurnya nyenyak atau tidak. Ada kekurangan apa di indekos atau di kampus yang mungkin dapat mereka bantu. Baginya, perhatian-perhatian kecil seperti itu sungguh membuatnya merasa masih dekat dengan keluarganya sehingga tak pernah merasa kesepian. Apalagi teman-teman sesama mahasiswa di indekos tersebut sangat setia kawan dan saling membantu apa pun kesulitan yang dihadapi. Meski teman-teman di indekos tersebut ada juga yang berlainan kampus, masing-masing saling berteman dengan akrab dan seperti keluarga. Bagi Niar, mereka sudah seperti keluarga keduanya di kota Malang ini. Kebiasaan Niar yang paling disukai teman-temannya adalah mengajak berkumpul di hari Minggu, saat beberapa teman ada yang memilih pulang ke kampung, beberapa yang tinggal sering diajaknya membuat kegiatan seru seperti jalan-jalan atau piknik low budget dan juga bersepeda ria menyewa sepeda onthel yang memang disediakan di rental untuk berolahraga pagi. Bukan tak ingin Niar pulang setiap Minggu ke rumah. Toh, perjalanan dari Malang ke Jombang hanya sekitar empat jam perjalanan menggunakan bus umum. Hanya saja, ia ingin meminimalkan ongkos perjalanan dan juga menghemat tenaga agar saat Seninnya di mana jam kuliah efektifnya lumayan padat, ia tak lelah sebab lama di perjalanan. Selama di indekos, ia juga terkenal paling tomboy, ceria serta ringan tangan dalam membantu pun dalam menjahili seisi indekos. Siapa saja sudah pernah  kejahilannya. Ada saja ide kocaknya untuk mengganggu mereka. [Jangan pergi sebelum aku datang, ya! Ini penting! Kalau nggak, Bu Waskito bisa marah besar.] Isi pesannya yang ia broadcast ke seisi indekos yang terdiri dari dua belas mahasiswi itu. Spontan teman-temannya panik dan bertanya-tanya apa yang terjadi. Apalagi setelah mengirim pesan tersebut, ponselnya langsung dimatikan. Beberapa dari mereka bahkan sampai benar-benar tak berani keluar dari rumah. Takut peringatan Niar yang entah apa maksudnya itu benar terjadi. Itu memang hari Minggu di mana Niar tahu memang teman-temannya yang tidak pulang ke kampung sedang tidak ada kegiatan keluar yang urgent. Esti, temannya yang paling panikan, malah mencoba mencari tahu dengan menelepon Bu Waskito menanyakan ada apa gerangan sehingga mereka dilarsng keluar hari itu. Betapa terkejut Bu Waskito mendengar laporan seaneh itu. Ia tak merasa menyampaikan ultimatum seperti itu kepada Niar. Alih-alih menyadari bahwa itu hanya satu dari kejahilan anak kosnya yang paling absurd itu, Bu Waskito malah ikut cemas dan sengaja datang ke indekosnya untuk memeriksa keadaan di indekosnya. Siapa tahu ada bahaya yang terlewat dari pengawasannya. Walhasil, saat Niar pulang ke indekos membawa banyak cemilan yang katanya berasal dari seorang ibu-ibu yang dibantunya saat dompetnya terjatuh di warung, semua mata di indekos tertuju ke arahnya dengan tatapan yang entah. Gadis bermata sipit itu juga begitu kaget melihat keberadaan sang ibu kos, Bu Waskito di sana. Padahal kan bukan tanggal membayar kos? pikirnya kala itu. Dengan tampang tak bersalah, ia hanya berujar, "Wah, pada kumpul, ada apa, nih?" Mereka semua saling berpandangan tanpa ada yang mendahului menjawab pertanyaan tak terduga dari sang pembuat onar. ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN