"Saya sudah mengirimkan data yang Anda inginkan, Pak." Seseorang menghubungi Malvis yang saat ini tengah memperhatikan Jessy yang melangkah putus asa di jalanan.
Malvis memutuskan sambungan telepon yang baru saja ia terima. Pria itu segera membuka surelnya. Memeriksa data yang baru saja dikirimkan oleh orangnya.
Iris coklat terang Malvis memindai data di ponselnya. Membaca baris demi baris, kata demi kata. Senyum Malvis mengembang, ternyata tidak butuh waktu lama baginya untuk menemukan wanita yang cocok dijadikan istri kontrak sang sahabat.
Malvis menghentikan mobil sport miliknya. Ia mendekat ke arah Jessy yang kini sedang duduk di bangku taman dengan kedua tangan menangkup wajahnya yang basah.
"Aku bisa membantumu." Suara Malvis mengejutkan Jessy. Jessy yakin tadi ia sendirian di taman itu.
Jessy membuka tangan yang menangkup wajahnya. Menghapus air mata yang membasahi pipi lalu mendongak, menatap sosok di depannya. Pria itu berwajah tampan, bola matanya berwarna coklat terang. Pantulan cahaya bulan membuat bola matanya terlihat sangat indah. Bibir pria itu tipis, berwarna merah pucat. Hidungnya mancung kokoh. Alisnya lebat dan hitam. Jessy pikir pria ini sepertinya aktor atau model, ia merasa tidak asing dengan wajah itu. Ya, ia pasti pernah melihat wajah itu di televisi atau majalah mode.
"Aku bisa memberikan kau uang berapa pun yang kau butuhkan." Malvis bersuara lagi.
Jessy menatap Malvis bingung. Dari mana pria ini tahu bahwa dirinya membutuhkan uang.
"Aku tadi berada di bar yang kau datangi, dan aku dengar kau membutuhkan sejumlah uang."
"Jadi, Anda mau membeli tubuhku?" Jessy akhirnya bersuara. Menatap Malvin dengan tatapan malu sekaligus berharap.
"Bukan aku, tapi bosku."
Jessy melihat ke berbagai arah. Ia tidak melihat ada orang lain di sana.
"Ikut denganku. Kau akan bertemu dengannya."
Jessy tampak ragu. Bisa saja pria di depannya adalah seorang penipu berwajah malaikat. Bagaimana jika dirinya dibawa ke perdagangan manusia dan tidak akan bisa menemui ibunya kembali.
"Hilangkan keraguanmu jika kau benar-benar membutuhkan uang itu." Malvis mengerti maksud dari mimik wajah Jessy.
Jessy menelan keraguannya. Ia harus mengambil kesempatan ini apapun resikonya. Yang terpenting baginya adalah uang untuk biaya pengobatan ibunya.
Jessy akhirnya melangkah mengikuti Malvis. Ia berdiri mematung melihat mobil sport Malvis. Mungkin harga mobil sport itu sama dengan harga gedung flat tempat ia tinggal.
"Masuklah." Malvis membukakan pintu untuk Jessy.
Jessy tersadar. Ia segera masuk ke dalam mobil mewah yang hanya pernah ia lihat di majalah atau televisi. Jessy sungguh mengagumi mobil itu, interior yang mewah dan sangat menawan. Bau wewangian kayu tercium di dalam sana. Sungguh pria maskulin, pikir Jessy.
"Ehm, Tuan, kira-kira bosmu tua atau muda?" Jessy bertanya hati-hati. Jemarinya bertaut gelisah. Ia takut jika yang ia layani nanti adalah pria tua berperut buncit dengan gigi kuning. Jessy sangat tidak suka dengan jenis pria seperti ini. Mengingatkannya pada lelaki m***m yang hampir saja menodainya ketika ia kembali dari bekerja larut malam.
"Kau akan tahu nanti. Memangnya kenapa jika dia tua?" Malvis memiringkan wajahnya, sedikit tersenyum pada Jessy yang berwajah kaku kemudian fokus pada jalanan lagi.
Jessy diam. Sepertinya pria yang akan ia layani memang pria tua.
"Kau akan pilih-pilih pelanggan?" tanya Malvis lagi.
Jessy meneguk ludahnya susah payah. Ia tidak ingin salah bicara dan kehilangan kesempatan mendapatkan uang banyak. Persetan dengan tua atau muda. Toh, ia hanya akan melakukannya satu kali saja.
"Tidak. Aku tidak bermaksud begitu." Jessy membalas gugup.
Malvis tertawa kecil. Wanita di sebelahnya jelas sekali terlihat takut. Malvis pikir Jessy benar-benar naif. Mana mungkin pria muda dan kaya ingin bermain dengan p*****r, mereka pasti lebih memilih menikmati tubuh kekasih mereka atau teman one night stand. Sangat menggelikan mengingat wanita ini berniat menjual diri pada mucikari yang pelanggannya yang kebanyakan pria tua.
"Rapikan rambut dan riasanmu. Berikan kesan yang bagus pada bosku dengan begitu kau bisa mendapatkan uang yang lebih banyak dari yang kau inginkan." Malvis tidak mungkin membawa Jessy dengan wajah kacau seperti saat ini.
"Ah, aku lupa memperkenalkan namaku. Aku Malvis." Malvis memiringkan wajahnya lagi, menatap ramah Jessy yang terpana pada sosok di sebelahnya.
"Aku Jesslyn Scott. Anda bisa memanggilku Jessy," balas Jessy.
Malvis tersenyum kecil. "Baiklah, Jessy."
Jessy merasa udara di dalam mobil itu menipis. Bagaimana bisa senyum seseorang bisa memberikan efek seperti ini. Jessy menggelengkan kepalanya, berhenti kagum pada lawan jenisnya yang duduk tepat di sebelahnya. Pria tampan hanya akan membuat wanita berakhir menyedihkan, dan Jessy tidak ingin berakhir mengenaskan seperti itu lagi. Jatuh cinta adalah hal yang sangat Jessy hindari saat ini. Ia tidak mau menderita lebih jauh.
Sudah cukup bagi Jessy melihat bukti bahwa pria hanya akan membuat sengsara. Mr. Mckell, ayah Anneth, Revano dan beberapa pria lain yang ia ketahui hanya menjadikan wanita sebagai pelampiasan dan pemuas nafsu saja. Jessy tidak ingin menjadi salah satu dari wanita bodoh yang mencintai pria dengan segenap jiwa dan raga.
Jessy memilih untuk membuka tas yang ia beli tahun lalu, mengeluarkan sisir dan alat make upnya yang rata-rata hampir habis. Jessy bahkan tidak memiliki cukup uang untuk membeli alat make up yang baru. Ia menyapu wajahnya dengan bedak, kemudian memoles bibirnya dengan lipstik berwarna merah muda yang senada dengan warna asli bibirnya.
Sambil merapikan rambutnya, Jessy mendengar percakapan Malvis yang baru saja menghubungi seseorang yang diyakini oleh Jessy adalah bos Malvis.
Isi dari percakapan itu sangat singkat. "Aku akan datang sebentar lagi bersama wanita yang kau butuhkan."
Dan setelahnya Malvis memutuskan sambungan telepon itu. Jessy pikir Malvis terlalu santai bicara dengan bosnya. Atau mungkin mereka memang cukup dekat hingga bisa bicara non formal seperti tadi.
Mobil Malvis membelah jalanan kota London. Membawa Jessy sampai di depan sebuah bangunan mewah bergaya Eropa yang bahkan lebih besar dari kediaman keluarga McKell. Jessy tidak bisa membayangkan berapa banyak uang yang digunakan untuk membuat rumah semewah dan semegah seperti yang ada di depannya.
Pilar-pilar besar menyanggah bagian teras kediaman berlantai 2 itu. Lampu-lampu kristal menerangi setiap sudut yang tertangkap oleh mata Jessy. Di malam hari saja kediaman ini terlihat sangat menawan, bagaimana dengan penampakannya di siang hari? Jessy tergelitik ingin mengetahuinya.
"Turunlah, atau kau mau tetap berada di dalam mobil ini sampai besok pagi?" Suara Malvis membuyarkan kekaguman Jessy akan kediaman itu.
Jessy berdehem kikuk, setelahnya ia segera turun dari mobil. Melangkah memasuki kediaman itu bersama dengan Malvis yang membimbingnya.
Sekali lagi Jessy terkesima pada tempat itu. Bagian dalam bangunan itu lebih mengesankan lagi. Lukisan-lukisan mahal, serta perabotan yang mengkilap menyita perhatiaan Jessy. Lantai marmer yang saat ini Jessy pijaki juga tak luput dari rasa kagumnya. Nampaknya pemilik rumah ini benar-benar penyuka keindahan. Terlihat dari bagaimana menakjubkannya kediaman itu.
Jessy hampir saja terjatuh karena menabrak tubuh Malvis yang berhenti melangkah. Buru-buru gadis itu meminta maaf atas kecerobohannya.
Malvis mengetuk pintu raksasa yang terbuat dari kayu terbaik. Setelah tiga ketukan, Malvis membuka pintu mengkilap itu. Jessy yang berada di belakang Malvis terlihat kembali ragu. Harga diri Jessy berteriak enggan memasuki ruangan itu, tapi kaki Jessy mengkhianati harga diri Jessy. Jessy butuh uang, dan ia tidak akan bisa dapatkan satu sen pun jika ia mengikuti harga dirinya yang sebentar lagi akan dibeli oleh orang yang berada di dalam ruangan.
Kepala Jessy tertunduk ketika ia memasuki ruangan bernuansa cokelat itu. Ia meremas jemarinya sendiri, mengusir rasa takut yang kini menjebaknya. Jessy takut jika pria yang akan ia layani nanti melakukan tindak kekerasan padanya.
"Jadi ini wanitanya?" Suara bariton itu membuat Jessy terkejut. Dari suaranya Jessy bisa menilai bahwa pria yang akan membelinya tidak setua yang ia pikirkan.
Malvis mendekat ke arah sahabatnya. Membiarkan Jessy sendiri beberapa di depan meja kerja Earth.
"Aku sudah mengirimkan data pribadinya ke emailmu." Malvis kini berdiri tepat di kursi kerja Earth.
"Di mana kau menemukannya?" Earth menilai penampilan Jessy yang sangat sederhana. Yang pasti bukan dari tempat pelacuran, karena Earth tahu bukan seperti ini penampilan wanita yang hendak menjajakan diri pada pelanggannya.
"Di Ell Bar," jawab Malvis, kemudian ia mendekatkan bibirnya ke telinga Earth. "Dia baru saja berniat menjual dirinya. Dan ya, nilai plus-nya dia adalah perawan," bisik Malvis menggoda Earth.
Perawan? Earth masih menatap Jessy menilai. Ternyata masih ada wanita perawan di usia seperti wanita di depannya. Sejujurnya Earth tidak peduli tentang perawan atau tidak, tapi mengetahui Jessy perawan itu cukup bagus untuknya meski ia juga tidak akan menghancurkan keperawanan itu. Artinya Jessy wanita baik-baik, setidaknya sampai malam ini sebelum Jessy mencoba menjual diri pada mucikari di Ell Bar.
"Jessy, angkat kepalamu. Aku yakin ujung sepatumu tidak lebih menarik dari bosku," seru Malvis sembari tertawa geli karena tingkah Jessy yang seperti bandit kecil yang ketahuan mencuri.
Jessy mengumpulkan semua keberaniannya. Mengangkat wajahnya dan melihat ke pria yang tengah duduk di meja kerja sembari merangkum tangan. Manik biru Jessy bertemu dengan manik abu-abu Earth. Terperangkap di sana tanpa bisa beralih. Pria di depannya berkali lipat lebih tampan dari Malvis. Mungkinkah pria ini keluar dari sebuah lukisan karya tangan terbaik pelukis dunia? Jessy tidak bisa untuk tidak mengagumi pria di depannya. Pria itu mempesona tanpa harus tersenyum padanya. Dan ya, dia bukan pria tua sama sekali. Tidak bergigi kuning atau berperut buncit. Bisa Jessy pastikan bahwa tubuh pria itu pasti seperti para model, atau mungkin lebih indah lagi.
"Kau sudah menjelaskan padanya tentang apa yang harus dia lakukan?" tanya Earth memecah keheningan di ruangan itu.
Malvis menggeleng. "Belum, aku pikir kau sendiri yang ingin menjelaskannya."
"Baguslah. Kau bisa keluar sekarang. Aku akan bicara dengannya empat mata."
"Jangan terlalu kasar padanya, Earth." Malvis menggoda Earth. Ia memegangi bahu sahabatnya sekilas lalu pergi.
"Berhati-hatilah, wajah tampannya tidak menjamin bahwa ia pria lembut." Malvis tidak lupa menakuti Jessy.
Mendengar bisikan Malvis, Jessy tiba-tiba seperti disergap angin yang sangat dingin. Bulu-bulu halus di tubuhnya tiba-tiba berdiri. Mungkinkah pria tampan di depannya akan bermain menggunakan cambuk seperti di film-film biru yang pernah ia tonton semasa sekolah menengah atas?
Setelah Malvis keluar dari ruangannya, Earth memeriksa data yang dikirimkan Malvis melalui ponselnya. Tak ada masalah dengan data diri Jessy. Wanita itu hanya memiliki ibu sedang ayahnya sudah meninggal. Dan dia bekerja sebagai seorang pramuniaga di salah satu toserba miliknya.
Jessy mengamati wajah serius Earth. Ia tidak tahu apa yang sedang dipikirkan oleh pria itu. Jessy diam, menunggu pria di depannya selesai dengan ponselnya.
"Berapa banyak uang yang kau inginkan?" Earth meletakan ponselnya di meja, lalu kembali menatap Jessy.
Jessy meremas jarinya. Ragu untuk menyebutkan jumlah yang ia butuhkan karena ia sendiri berpikir keperawanannya tidak semahal itu. Namun, pada akhirnya ia tetap menjawab, "50.000 dollar, Tuan."
"50.000 dollar?" Earth mengulang ucapan Jessy. Wanita di depannya benar-benar naif atau hanya pura-pura naif? Wanita itu bahkan bisa meminta jutaan dollar padanya.
Jessy mulai gugup lagi. Sepertinya jumlah yang ia sebutkan terlalu besar. "Aku akan melayani Tuan kapanpun Tuan ingin, tapi tolong bayar aku dengan 50.000 dollar." Nada bicara Jessy kini terdengar memohon.
"Kau mengejekku dengan hanya meminta sejumlah uang itu, Nona Jessy."
Jessy mencerna kembali ucapan Earth, dan ia masih tidak mengerti maksud pria itu. Mengejeknya? Ia sedang memohon bukan mengejek.
"Dan ya, aku tidak membayarmu untuk tidur denganku, tapi untuk melakukan pernikahan kontrak denganku."
"Pernikahan kontrak?" Mata polos Jessy mengerjap bingung.
"Ya. Pernikahan kontrak selama 2 tahun."
Jessy diam. Kedatangannya ke tempat ini bukan untuk terikat dalam sebuah pernikahan, ya meskipun itu pernikahan kontrak. Jessy tidak ingin menikah. Bahkan tidak pernah ada dalam otaknya ia memikirkan tentang pernikahan. Ia hanya datang untuk menjual diri satu kali lalu berhenti.
"Aku akan membayarmu 1 juta dollar untuk satu tahun kontrak."
Mata Jessy nyaris keluar. "B-berapa?" tanyanya terbata.
"Satu juta dollar untuk satu tahun." Earth mengulang meski ia sangat tidak suka mengulangi ucapannya.
Satu juta Dollar? Jessy mengerjap tidak percaya. Dalam mimpi pun ia tidak pernah membayangkan uang sebanyak itu.
"Aku akan memberikanmu uang belanja tiap bulannya, dan uang itu tidak termasuk dari satu juta dollar yang aku janjikan."
Kepala Jessy berdenyut pusing. Setelah mendapatkan satu juta dollar ia masih akan mendapatkan uang bulanan. Demi Tuhan, apa pria di depannya sudah gila? Membayar sebanyak itu untuk pernikahan kontrak dengannya.
"Apa saja persyaratan dari pernikahan kontrak itu?" Pikiran Jessy mengabur karena jumlah uang yang ditawarkan oleh Earth. Persetan dengan pernikahan kontrak, ia akan menjalaninya. Lagipula itu hanya untuk 2 tahun. Lalu setelahnya ia akan hidup dengan uang jutaan dollar. Ia bisa membuka sebuah rumah makan dengan uang itu, dan lagi ia bisa membiayai pengobatan ibunya sampai selesai.
Earth meraih sebuah berkas. "Baca ini."
Jessy dengan cepat melangkah. Meraih berkas yang Earth berikan. Berkas itu adalah surat perjanjian pernikahan kontrak. Jessy membaca tiap butirnya. Isi dari perjanjian itu sepenuhnya memudahkan Jessy.
Point pertama perjanjian itu adalah bahwa pihak kedua tidak boleh mencampuri urusan pribadi pihak pertama yang tak lain adalah Earth.
Point kedua perjanjian itu adalah pihak kedua tidak boleh jatuh cinta pada pihak pertama.
Point ketiga, pihak kedua tidak perlu melakukan tugas sebagai seorang istri dalam hal ini dimaksudkan melayani di atas ranjang.
Point keempat, pihak kedua harus mengembalikan 2 juta dollar apabila melanggar perjanjian. Dan ia harus siap menghadapi tuntutan dari Earth.
Jessy tidak percaya bahwa ia melakukan pernikahan kontrak dengan nilai jutaan dollar hanya dengan menuruti perjanjian seperti ini. Benar-benar terlalu mudah.
Jessy bukan tipe wanita yang suka mencampuri urusan orang lain. Ia juga tidak akan jatuh cinta pada Earth meski Earth begitu menggoda dan tampan. Dan terakhir, ia akan dengan senang hati menuruti point ketiga karena itu sangat ia inginkan, ya meskipun ia tidak keberatan melayani Earth di ranjang karena bayaran yang fantastis. Dan point ke empat, Jessy jelas tidak akan pernah mengembalikan 2 juta dollar karena ia tidak akan melanggar perjanjian.
Kening Jessy tiba-tiba berkerut. Melihat isi perjanjian itu membuat Jessy berpikiran nakal. "Apakah Tuan gay?" tanya Jessy hati-hati.
Tawa Earth meledak karena pertanyaan konyol Jessy. Bagian mana dirinya yang terlihat seperti pria gay? Bukankah terlalu sia-sia jika kesempurnaan yang ia miliki jika ia ternyata seorang penyuka sesama jenis.
"Kau benar-benar konyol," seru Earth di tengah tawanya.
Jessy menatap Earth heran. Jika pria di depannya tidak gay lalu kenapa membuat perjanjian yang tidak meguntungkannya sama sekali?
"Lalu, apa alasan surat kontrak ini?" tanya Jessy ingin tahu.
Earth berhenti tertawa. Tatapan seriusnya tadi hilang berganti dengan tatapan santai. "Aku hanya tidak ingin dijodohkan dengan wanita pilihan kakekku, wanita itu akan membatasi kehidupanku. Dan satu-satunya cara agar kakekku berhenti mencarikan aku wanita adalah dengan membawa calon sendiri."
Jessy yakin Earth menjawab jujur. Lagipula tidak ada untung bagi Earth untuk membohonginya. Apapun alasan Earth toh bukan urusannya.
"Baiklah. Kapan kita akan menikah?" tanya Jessy. "Bisakah aku mendapatkan bayaran dimuka? Ya setidaknya 50.000 Dollar," sambungnya.
"Kau bisa dapatkan 500.000 Dollar dimuka. Dan kapan kita akan menikah, hal itu akan kau ketahui setelah pertemuan dengan kakekku."
Jessy tidak menangkap hal lain yang Earth bicarakan setelah mendengar uang muka yang akan ia terima. Bukankah Earth sangat murah hati?
"Baiklah."
"Kau akan bertemu dengan pengacaraku bersama dengan Malvis. Setelah kau menandatangani surat perjanjian pernikahan maka kau akan mendapatkan uang muka. Kau mau cash atau dikirim ke rekeningmu?" tanya Earth.
"Ke rekeningku saja," jawab Jessy cepat.
"Baiklah. Urusan kita selesai. Kau bisa pergi sekarang."
Jessy masih berada di tempatnya. Meski merasa tidak enak ia tetap membuka mulutnya. "Bisakah aku menandatangi perjanjiannya malam ini juga?"
"Oh, Jess. Pengacaraku mungkin sedang menikmati malamnya. Kau bisa menemuinya besok pagi."
"Tapi besok aku bekerja."
"Kau tidak butuh bekerja lagi, Jess. Mulai besok aku yang menjamin hidupmu."
Jessy melongo tidak percaya. Ia dan pria di depannya belum menikah, tapi hidupnya sudah akan dijamin oleh pria ini mulai besok pagi. Jessy benar-benar tidak tahu harus berkata apa lagi. Earth adalah dewa penolongnya.
"Pulanglah. Besok pagi Malvis akan menjemputmu."
Jessy menganggukan kepalanya. "Terima kasih, Tuan. Aku sungguh tidak bisa mengatakan apapun selain terima kasih."
Earth berdeham sebagai jawaban. Lalu Jessy pergi keluar dari ruang kerjanya.
Earth akhirnya bisa bernapas lega. Ia telah menemukan solusi untuk masalah yang memuakan baginya. Dengan menikahi wanita seperti Jessy maka kebebasan hidupnya tidak akan terganggu, terlebih lagi hubungannya dengan Caroline.
Earth tidak peduli berapa banyak ia harus mengeluarkan uang demi tetap bisa bersama Caroline. Baginya uang tidak pernah jadi masalah, berbeda dengan Jessy yang selalu bermasalah dengan uang. Oleh karena itu, Earth yakin Jessy tidak akan melanggar perjanjian karena tidak akan sanggup mengembalikan uang kontrak perjanjian pernikahan.
Earth akan melimpahi Jessy dengan uang dan kemewahan, sebagai gantinya ia akan dapatkan kebahagiaan yang dia inginkan. Bukankah tidak ada yang merugi dalam pernikahan itu?