Pagi ini, di ruang makan nampak Malikha terlihat murung. Adrian yang peka tahu kalau hati istrinya pasti sedih, sebab semalam lelaki itu telah membentak Malikha untuk pertama kalinya.
"Sayang ... apa kamu masih sedih, karena ucapanku semalam?'' tanya lembut Adrian, sembari meraih telapak tangan mungil Malikha.
Merasakan genggaman suaminya, biasanya terasa hangat saat ini rasa hangat itu sudah tidak Malikha rasakan lagi. Apalagi, saat ia mengingat noda lipstik dan juga parfum wanita di kemeja suaminya.
"Aku sudah tidak marah, kok, Mas. Sekarang makanlah, nanti keburu siang kalau ke kantor, kamu juga belum bersiap 'kan?" Malikha sengaja mengalihkan pembicaraan, ia juga sengaja menarik tangannya kasar lalu mengambilkan makanan beserta lauk pauknya.
"Tapi ... kamu masih terlihat murung, Sayang?''
"Aku tidak apa-apa, Mas," tegas Malikha dingin, lalu ia duduk di kursi yang biasa ia duduki.
Adrian mulai menyuapkan makanan ke dalam mulutnya, sementara Malikha sama sekali tidak bernafsu makan. Merasa sunyi, dan dingin suasana di ruang makan. Akhirnya Malikha menanyakan perihal sahabatnya, yang seminggu ini bekerja di kantor Adrian.
"Oh, iya, Mas. Gimana kabar Eliza di kantor, dia cepat menguasai 'kan pekerjaan yang kamu berikan padanya. Mudah-mudahan dia bisa, biar dia bisa bekerja dengan baik membantumu di kantor," tanya Malikha, seraya memainkan makanan di atas piring.
Adrian mendengar nama Eliza disebut Malikha seketika ia tersedak, kemudian terbatuk. Ia nampak terkejut, karena tidak biasanya Malikha bercerita tentang Eliza apalagi disaat momen sarapan seperti ini. Melihat suaminya wajah merah, karena tersedak makanan buru-buru Malikha mengambilkan minum untuk suaminya.
"Mas ... kamu tidak apa-apa 'kan, kenapa sampai tersedak, sih?''
"Apa kamu terkejut saat aku bertanya soal Eliza, ya?'' heran Malikha, seraya mengulurkan segelas air putih pada Adrian.
Adrian menerima minuman itu, lalu meneguknya buru-buru.
"Apa-an, sih, kamu! Siapa juga yang terkejut, aku tersedak memang tadi aku makan buru-buru," elak Adrian beralasan.
"Sudah, ah, lebih baik aku ke kamar saja dan bersiap ke kantor," sambung Adrian, lalu pergi begitu saja.
Hal itu, tentu saja membuat Malikha curiga dengan sikap Adrian. Apalagi, setelah ia dan suaminya membicarakan nama Eliza.
'Kenapa Mas Adrian jadi aneh, sih? Apalagi, setelah aku bicara soal Eliza. Apa jangan-jangan mereka ada sesuatu, ya?'
'Ah ... tidak mungkin, aku yakin Eliza bukan wanita seperti itu. Karena selama ini, dia itu adalah wanita yang baik,' tepis Malikha, menyangkal kecurigaannya.
***
Ketika Malikha mulai menaruh curiga pada suaminya, di sebuah rumah sederhana. Terlihat seorang wanita paruh baya, bernama Bu Susan, wanita itu baru saja selesai memasak. Seperti rutinitas kesehariannya, ia berjalan ke arah kamar putrinya.
Di depan kamar itu, Bu Susan langsung menatap seorang wanita masih muda yang mengenakan gaun tidur di atas lutut. Wanita itu adalah Eliza Fadhila, ia terlihat tinggi proposal, wajahnya juga sangat cantik. Rambut panjang, di kerli bawahnya membuat wanita itu terlihat semakin mempesona.
Namun, wajah cantiknya tidak bisa menutupi perasaan tidak tenangnya. Ya, sudah semalaman ia menunggu jawaban pesan dari seseorang. Tapi, sampai pagi ini ia sama sekali tidak mendapatkan kabar dari lelaki yang tidak lain, adalah Adrian Bos-nya di kantornya.
"Kenapa Mas Adrian tidak membalas pesanku, sih, ponselnya juga tidak aktif lagi?! Kalau seperti ini, bagaimana aku bisa menghubungi dia," kesal Eliza dalam gumamnya, yang bisa di dengar oleh Bu Susan.
Bu Susan yang penasaran langsung menghampiri putrinya, ia tidak bisa membendung rasa ingin tahunya dengan siapa Eliza berkirim pesan.
"Siapa yang tidak membalas pesan kamu, Nak?" tanya lembut Bu Susan, dan langsung merangkul Eliza dari samping.
"Ibu, ngagetin aku saja!"
"Lho ... kamu sampai terkejut, Nak. Maafkan Ibu, ya, Ibu telah mengagetkanku," sesal Bu Susan.
Eliza yang kesal, langsung melepaskan tangan ibunya, sempat berada di pundaknya.
"Ya kagetlah ... Ibu tiba-tiba datang, dengan pertanyaan yang tidak bermutu itu. Sudah, ah, lebih baik Ibu keluar kamarku," ketus Eliza, sembari mendorong tubuh Bu Susan.
Bu Susan merasakan sikap kasar dari Eliza hanya mampu menghela nafas panjang, meskipun selama ini ia sudah terbiasa dengan perlakuan Eliza yang kasar padanya.
Di luar kamar, yang telah di tutup dengan kasar oleh Eliza Bu Susan hanya menatap sedih pintu bercat cokelat itu.
'Kenapa sifatmu tidak pernah berubah, Nak? Padahal sekarang kamu sudah menjadi seorang ibu, harusnya kamu bisa menghilangkan sifat kasarmu itu pada Ibumu ini.'
'Apalagi dengan semua yang terjadi pada dirimu, apa kamu tidak bisa mengambil hikmah di balik semua itu, Nak?' batin Bu Susan sedih.
Wanita paruh baya itu, hanya bisa menyadarkan hatinya dengan cara mengelus dadanya sendiri. Karena ia tidak ingin berlarut dengan kesedihannya, lalu Bu Susan melangkah ke kamarnya di dalam kamarnya ada Putri, anak kandung Eliza.
***
Waktu kini menunjukkan pukul 06:30. Sarapan sudah tertata rapi di atas meja makan, begitu juga bekal untuk Putri.
Ketika Bu Susan sedang menyapu, tiba-tiba Eliza baru saja keluar dari kamarnya dengan pakaian rapi. Eliza merasa tubuhnya sudah wangi, dan cantik nampak terganggu sama debu ditimbulkan oleh ibunya.
"Ibu! Bisa tidak, kalau Ibu menyapu lantai itu nanti saja! Sepatuku jadi kotor 'kan, kena debu ini," bentak Eliza.
Bu Susan sangat terkejut, wanita paruh baya itu memang sedang fokus menyapu lantai dengan posisi menunduk. Jadi, ia tidak tahu kalau Eliza akan lewat.
"Maafkan Ibu, Nak. Ibu tidak melihatmu tadi, ini Ibu menyapu karena Ibu sudah tidak memiliki pekerjaan lagi di dapur. Makanya, Ibu menyapu saja sambil menunggu kamu keluar dengan Putri," ucap Bu Susan lembut.
Meskipun begitu, Eliza tetap menyalahkan ibunya. Entah mengapa, dia selalu kasar pada Bu Susan. Padahal selama ini, segala sesuatu dan pekerjaan rumah ibunya yang selalu mengerjakan sendiri.
"Ah, sudah. Ibu jangan banyak bicara, sana ke kamar. Putri sudah bangun, dan sudah mandi. Ibu kasih ganti baju, aku mau makan," perintah Eliza, seolah memerintah seorang pembantu.
"Oh, iya, lain kali kalau pagi Putri jangan biarkan ke kamarku. Mengganggu saja, aku 'kan jadi repot," sambung Eliza bernada kesal.
Bu Susan mendengar itu hanya mengangguk, sebelum ia ke kamar Eliza ia menaruh sapu di tangannya di sandaran dinding.
Ketika Eliza melewati ibunya, wajahnya terlihat begitu masam.
'Ini semua gara-gara dia yang tidak mau membalas pesanku, awas saja kalau dia merengek memintaku menemaninya,' gumam Eliza lirih.
Ketika Eliza membuka tudung saji, ia melihat menu makanan yang membuat napsu makannya tiba-tiba hilang.
Akhirnya Eliza memutuskan, untuk mendatangi seseorang yang telah membuat tidurnya menjadi terganggu dan emosinya tidak teratur pagi ini.
'Lebih baik aku pergi ke rumah Mas Adrian saja, aku tidak peduli bagaimana reaksi dia saat aku datang ke rumahnya. Yang penting, aku harus menanyakan kenapa dia mematikan teleponnya,' putus Eliza.
Eliza merapikan tatanan rambutnya, lalu ia mengambil tas selempangnya. Span di atas lutut dan baju kantor, yang terlihat ngepres body. Membuat dadanya terlihat menonjol, tapi, terlihat seksi. Tampilannya yang begitu sempurna, hingga siapa saja melihat pasti akan jatuh dalam pesonanya.
Hingga siapapun tidak akan menyadari, kalau sebenarnya Eliza pernah melahirkan, dan ia sudah memiliki seorang putri cantik, yang kini telah berusia 6 tahun.
Saat Eliza tengah bersiap ke kantor, Bu Susan telah mengganti pakaian Putri. Kini gadis kecil itu terlihat cantik, dengan pakaian sekolahnya. Tidak lama, Bu Susan menggandeng tangan Putri, berniat mengajak pergi ke meja makan untuk sarapan.
Bertepatan saat Eliza akan pergi ke kantor, wanita muda dan cantik itu tidak mau mengantar putrinya ke sekolah. Eliza sengaja meminta ibunya, yang mengantar ke sekolah Putri.
"Nak, kamu mau pergi ke mana? Kamu tidak sarapan dulu, nanti kamu sakit kalau tidak sarapan," tanya Bu Susan penuh perhatian.
Yang dikasih perhatian, bukannya menjawab lembut malah menjawab kasar pertanyaan ibunya.
"Apa Ibu tidak lihat pakaianku, huh?"
"Kalau pakai pakaian seperti ini, ya, pergi ke kantorlah, Bu. Aku sudah bukan pengangguran lagi, sekarang aku sudah bekerja. Jadi, aku tidak mau makan makanan seperti yang ada di meja itu. Sebenarnya tadi aku mau sarapan, tapi, lihat menu sarapan seperti itu, mana mau! Yang ada hilang sudah selera makanku pagi ini."
Bu Susan, dan Putri hanya bisa menatap Eliza dengan tatapan penuh arti.
"Oh, iya, satu lagi. Ibu antar saja Putri ke sekolahnya, sekarang aku tidak mau lagi mengantar Putri ke sekolah. Satu lagi, aku tidak mau orang-orang tahu kalau aku sudah memiliki seorang anak. Jadi, aku minta sama Ibu jangan pernah sekali-kali bilang ke orang-orang kalau Putri ini anakku, apa Ibu mengerti?'' peringat Eliza, tanpa mau dibantah.
"Lho, kamu ini aneh. Kan Putri ini memang anakmu, Nak. Kenapa kamu sekarang tidak mau mengakuinya, dosa, lho, Eliza? Kalau kamu mengabaikan kodratmu sebagai seorang ibu, dosa beneran," nasehat Bu Susan, yang sama sekali tidak di gubris oleh Eliza.
Mendengar nasehat ibunya, Eliza malah semakin marah. Sekali lagi, ia memberikan peringatan pada ibunya agar mau merahasiakan tentang identitas Putri pada orang-orang di luar sana.
"Jangan menasehatiku lagi, Bu. Sudah cukup selama ini aku hidup seperti orang lugu, dan bodoh. Sekarang aku ingin menikmati hidupku, dan juga kebebasanku."
"Aku mau menjadi wanita karir, lalu memiliki kekasih tampan dan kaya raya. Aku tidak mau terbebani oleh kehadiran anak, aku mau hidupku seperti gadis kota."
"Jadi, aku peringatkan Ibu sekali lagi. Ibu jangan pernah bilang-bilang lagi ke orang-orang di luar sana, kalau Putri ini anakku. Aku tidak mau memiliki anak, kalau Ibu mau anggap Putri anak Ibu, silahkan! Asal jangan lagi bilang kalau Putri ini anakku, titik!" peringat Eliza masih dengan kata kasarnya.
Ucapan kasar Eliza itu di dengar oleh Putri, nampak Eliza tidak melihat raut wajah, dan yang dirasakan Putri.
'Ma--ma ... Mama kenapa tidak aku mengakui aku ini putrinya, apakah Mama marah karena aku nakal, ya?' batin Putri polos, dan menyalahkan dirinya sendiri.
Sementara Eliza mulai melangkah pergi begitu saja, tanpa tahu kalau saat ini putrinya sedang menangis. Karena merasa tidak dianggap oleh ibunya sendiri. Hati gadis kecil itu begitu pilu, sebab ia tidak bisa merasakan kasih sayang seorang ibu dari Eliza ibu kandungnya sendiri.