Hinaan Januar

1188 Kata
Tengah malam Safira baru saja tiba di rumah setelah bekerja sambilan di Bar. Di Weekend seperti sekarang harusnya dia bisa santai. Namun pada nyatanya hal tersebut tidak berlaku di kehidupan perempuan berusia dua puluh lima tahun itu. Dia langsung menuju ke kamar sederhana yang menjadi saksi bisu selama hampir dua puluh lima tahun terakhir. Semenjak sang ibu pergi lima tahun yang lalu, Safira hanya hidup bersama sang ayah di rumah itu. Dan semenjak kepergian ibunya, Safira pun harus kehilangan sosok ayahnya yang baik. Ayah Safira berubah menjadi sosok yang berbeda setelah ditinggal pergi istri tercinta. Yang mulanya rajin bekerja menjadi pemalas serta sering marah-marah tidak jelas kalau sedang tidak punya uang. Menjengkelkannya lagi, ayahnya Safira juga menjadi seorang penjudi dan hobi mabuk. Itulah kenapa, Safira bisa mempunyai utang yang jumlahnya begitu besar tanpa dia pernah merasakan memakai uang tersebut. Keadaan yang telah memaksanya mengambil tawaran Danis kala itu agar bisa mencicil sedikit demi sedikit utang senilai ratusan juta rupiah, dengan bekerja di Bar miliknya. Mengandalkan gaji SPG juga sangatlah tidak mungkin. Biaya hidup di jaman sekarang serba mahal dan apa-apa harus pakai uang. Ya ... Walaupun dia bekerja di pusat perbelanjaan milik keluarga calon suaminya. Hal tersebut tak serta merta turut memperbaiki keberlangsungan hidup Safira. Memilih menutup rapat-rapat perihal masalah hidup yang menderanya, Safira tidak mau Arkana mengasihaninya. "Fira! Safira! Di mana kamu!" Januar berteriak memanggil Safira ketika baru saja masuk dalam keadaan setengah mabuk. "Fira!" Pria paruh baya yang keadaan bajunya berantakan itu duduk bersandar di sofa ruang tamu, dengan kepala menengadah. Merasa namanya dipanggil, Safira yang tengah membersihkan riasan di wajahnya lekas menyahut, "Iya, bentar!" Lalu, membuang kapas bekas ke tempat sampah yang ada di sisi meja rias. Safira pun bergegas keluar kamar untuk menemui ayahnya yang berada di ruang tamu. Ukuran rumah bercat putih gading itu tidaklah terlalu luas, hanya ada dua kamar, ruang tamu mini, dapur seadanya, serta kamar mandi satu yang terletak di samping kamar Safira. Seketika Safira mengernyitkan hidungnya karena bau alkohol yang menyengat. Januar menoleh sekilas, lalu berkata ketus, "Lelet banget kamu! Ngapain aja, sih?" "Fira baru pulang kerja, Pak. Tadi baru beberes. Bapak butuh apa?" sahut Safira sopan. Meskipun Safira tidak menyukai sifat ayahnya yang sekarang, tetapi dia tidak menghilangkan rasa hormatnya pada lelaki paruh baya ini. Biar bagaimanapun, Januar dulu adalah sosok ayah yang sangat Safira kagumi. "Buatin bapak mi rebus sama telornya dua! Terus jangan lupa dikasih cabe rawit lima biji sama sayuran kalo ada," titah Januar layaknya bos yang harus dilayani dengan penuh hormat. "Cepetan!" "Iya, Pak." Safira mengangguk sekali, dan lekas melaksanakan perintah ayahnya. Berbalik, lalu segera menuju dapur untuk membuatkan mi rebus sesuai permintaan Januar. Lelahnya untuk sementara dia kesampingkan. "Hfft ..." Beberapa saat kemudian, mi rebus pun sudah matang. Safira membawanya ke meja makan kayu yang sebenarnya sudah tidak layak pakai. Setelah meletakkan mangkok berisi mi, Safira memanggil ayahnya yang menonton televisi. "Mi rebusnya udah mateng, Pak." Safira memanggil Januar dengan nada pelan. Berdiri di sisi sofa tunggal dengan perasaan tidak enak, karena Januar menatapnya dengan tatapan tidak terbaca. Jika sudah seperti itu, maka Safira sudah bisa menebak, isi kepala Januar. "Tadi bapak kalah judi lagi. Kamu bayarin utang itu," ucap Januar sambil beranjak dari sofa, kemudian melenggang santai di hadapan Safira menuju ke dapur. Mengikuti ayahnya ke dapur, Safira berkata, "Pak. Utang Bapak aja yang kemarin belum bisa aku bayar. Ini malah Bapak tambahin lagi jumlahnya. Kalo caranya begini kapan lunasnya? Fira capek, Pak. Capek ...." Apa selamanya akan seperti ini? Hidupnya hanya menjadi mesin pelunas utang ayahnya? Safira sudah lelah berurusan dengan utang sekaligus dengan Kai. Gara-gara uang, hidupnya jadi dikendalikan oleh dua orang yang tidak mempunyai perasaan. "Kamu 'kan bisa tinggal minta ke Arkana. Dia duitnya banyak. Lagian, duit segitu, mah, gak ada apa-apanya buat dia," sahut Januar dengan enteng tanpa memikirkan perasaan anak yang dulu begitu mengaguminya. Januar menenggak air putih dari botol kaca yang diambilnya dari kulkas dengan berdiri. Setelah minum, dia duduk, meletakkan botol kaca ke meja dan mulai memakan mi rebusnya. Perutnya hanya diisi minuman sejak tadi sore, dan sekarang sangat merasa lapar. Enak saja minta Mas Arkana, pikir Safira sambil memejamkan mata sejenak, seraya mengatur emosi. "Enggak bisa gitu, dong, Pak. Mas Arkana belum jadi suamiku. Aku gak ada hak minta duit sama dia. Lagi pula, dia juga belum berkewajiban nanggung biaya hidupku." Safira memberanikan diri untuk melontarkan protesnya. Biar Januar membuka mata dan pikirannya agar segera sadar akan kesalahannya. Brakk! Januar menggebrak meja tua itu cukup keras, sampai Safira berjengit kaget. Lalu botol minum yang terbuat dari kaca terjatuh, dan menggelinding ke bawah hingga pecah. Isinya pun tumpah membasahi lantai keramik. "Makanya cepetan minta dinikahin! Jadi perempuan itu yang pinter dikit, napa? Gini-gini bapak juga udah gak sabar pengen besanan sama orang kaya. Percuma punya muka cantik kalo gak dimanfaatin, ck! Bodoh!" Umpatan Januar terdengar sangat tajam. Dia bahkan tak segan bicara kasar kepada Safira. Hati anak mana yang tidak terluka apabila mendengar kalimat tidak pantas dari mulut ayah kandungnya. Safira sungguh tidak mengenal sosok yang tengah makan di meja sana. Ke mana perginya sang ayah yang dulu begitu sangat penyayang? "Maksud Bapak apa? Bapak kenapa selalu desak Fira? Nikah itu juga butuh uang, Pak? Butuh modal. Sementara aku belum ada uang untuk biaya nikah. Keluarga Mas Arkana bukan dari keluarga sembarangan." "Kan, Arkana pernah bilang sama bapak. Dia yang bakal biayain semuanya. Kenapa kamu yang bingung? Tinggal nikah. Udah beres. Gitu aja dibikin pusing!" Januar berdecak seraya meletakkan sendok bekas makan dengan kasar ke mangkok yang sudah kosong. Januar terdiam sejenak, otaknya tengah berpikir keras. Bagaimana caranya dia bisa mendapatkan uang banyak untuk melunasi utang-utangnya di Bar. Sementara Safira tidak mau meminta bantuan pada Arkana. Seringai licik terbit di sudut bibir Januar. Lantas, dengan entengnya dia berkata, "Apa perlu bapak yang ngomong ke Arkana? Bapak minta duit ke dia buat lunasin utang-utang bapak. Gimana?" Bola mata Safira membulat mendengar hal itu. Menggeleng, lalu Safira memohon, "Enggak! Bapak gak boleh minta uang ke Mas Arkana. Fira mohon ...." Mau ditaruh di mana mukanya? Arkana sudah sangat baik padanya selama ini. Safira tidak mau merepotkan calon suaminya itu. Tak tersentuh dengan kalimat permohonan Safira, Januar malah tertawa. "Kamu itu memang bodoh, Fir. Punya pacar kaya gak pernah dimintain duit. Kerja siang malem tapi gak bisa lunasin utang-utang. Gak berguna banget kamu jadi anak," ketus Januar, yang lantas berdiri, lalu beranjak. Perut sudah terisi, kini waktunya dia tidur. Saat melintas di hadapan Safira, Januar mendengkus tak acuh. Tak memedulikan tatapan nanar putrinya yang hampir menangis. Pria paruh baya yang rambutnya sebagian beruban itu segera masuk ke kamar, lalu membanting pintunya. "Kalo Fira gak berguna, buat apa Fira capek-capek kerja siang malem, Pak? Apa selama ini usaha Fira gak pernah berarti di mata Bapak?" Lelehan bening nan hangat menetes di pipi Safira, tetapi lekas-lekas dia menghapusnya agar tak berjejak. "Sabar, Fir ... Sabar ...." Safira mengelus d**a. Sebelum masuk ke kamar, Safira membereskan meja makan dan pecahan botol di lantai. Mengepelnya, lalu mencuci mangkok di bak cuci piring. Tubuhnya sudah merasa sangat lelah, dan ingin cepat-cepat menyelesaikan kekacauan ini. Istirahat di kasur, kemudian tidur. Dengan begitu kesialan yang datang bertubi-tubi hari ini bisa segera dia hapus dari ingatan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN