Aib keluarga

1523 Kata
Tentang jaminan itu, Safira sungguh tak pernah ingin memberikan apa pun untuk dijadikan sebagai jaminan, seperti yang dimaksud oleh Kai. Bukan dia yang meminta Kai untuk melunasi utang-utangnya pada Danis melainkan pemuda itu sendirilah yang dengan sukarela memberikan bantuan. Safira pikir, Kai akan melupakan masalah tersebut, dan tidak akan pernah lagi mengungkitnya. Kalau Kai meminta Safira untuk mencicilnya itu tidak masalah, sebab biar bagaimana pun utang tersebut adalah tanggung jawabnya. Jumlahnya yang terlampau besar menyebabkan Safira tidak bisa membayarnya sekaligus. "Fir." Kai menegur perempuan yang belum ada niatan untuk membuka mulutnya. "Kenapa diem? Padahal, elu tinggal jawab. Simpel." Manik Safira melotot tak percaya. "Simpel? Kamu bilang simpel?" Dia meletakkan sendok bekas mengaduk kopi dengan kasar, lalu menghampiri Kai. "Yang kamu minta sebagai jaminan itu tubuh aku, Kai. Dan kamu bilang itu simpel? Ck, gak waras kamu!" "Gue emang udah gak waras," sahut Kai. "Kalo gue waras, gak mungkin gue ada di sini. Gue pasti udah duduk manis di bangku perusahaan bareng tunangan lu." "Dia kakakmu," sanggah Safira. "Kamu gak bisa apa, bersikap sopan sama dia? Semalem dia habis nemuin kamu 'kan?" Kai mendengkus, dan tidak terkejut saat Safira mengungkit kedatangan Arkana semalam ke apartment-nya. Dia justru merasa terganggu dengan ucapan Safira yang menyinggung soal sikapnya terhadap Arkana. "Gak usah ngajarin gue soal sopan santun." Sebab rasanya sangat mustahil, Kai bersikap demikian kepada orang yang membuat hidupnya seperti sekarang—merasa seperti orang asing meski berada di rumahnya sendiri. "Tapi kelakuan kamu itu memang gak pernah layak sebagai seorang adik dan anak." Safira berkacak pinggang. "Kamu gak mau bantu kakakmu yang susah payah terusin bisnis keluarga. Mas Arkana udah minta baik-baik ke kamu buat pulang ke rumah, tapi kamu gak mau." "Terus, apa urusannya sama lu?" Raut Kai berubah dingin. Dia tidak pernah suka jika ada orang yang mencampuri urusannya. "Mau gue pulang atau enggak, itu bukan urusan lu, Fir. Tugas lu di sini cuma buat nurutin perintah gue, bukan ceramahin gue. Ngerti?" Seperti inilah Kai yang Safira kenal. Angkuh, sombong, egois, dan selalu seenaknya. "Ngomong sama kepala batu memang gak ada gunanya, ck!" ketus Safira, hendak berlalu dari hadapan Kai, dan melanjutkan membuatkan kopi. Namun … tiba-tiba pergelangan tangan Safira ditarik oleh Kai, sehingga spontan tubuhnya bertubrukan dengan tubuh menjulang sang calon adik ipar. "Lepasin aku, Kai!" Safira berontak, sekuat tenaga menyingkirkan lengan Kai yang membelit pinggangnya. "Kamu gak bisa giniin aku. Lepas!" Dia sungguh merasa sangat sesak sebab Kai begitu erat memeluknya. "Ini hak gue, Fir. Elu itu 'kan udah jadi milik gue. Jadi, suka-suka gue mau ngapain elu," ujar Kai mengingatkan. "Lagian, lu itu tinggal nurut aja apa susahnya, sih?" Kai mulai bertindak sesukanya tanpa memikirkan umpatan Safira. "Kai …." Sekujur tubuh Safira meremang akibat tiupan bibir Kai di perpotongan lehernya. "I-ini salah! Ini gak boleh!" Safira terus berusaha menghindar dari serangan bibir Kai. Dia sangat tidak menyukai cara Kai memperlakukannya. Ini sudah sangat keterlaluan. Safira benar-benar tidak tahan dengan sikap Kai yang semena-mena seperti ini. "Kai." Penolakan Safira tak lantas membuat Kai mundur dan urung. Awalnya dia memang hanya ingin menggertak perempuan ini. Akan tetapi, sifat Safira yang sok jual mahal, justru menantang adrenalin seorang Kai yang selama ini terkenal sebagai penakluk wanita. Kai ingin mendapatkan Safira bukan karena dia mulai tertarik dengan calon kakak iparnya. Akan sangat menyenangkan bila dia bisa mendapatkan Safira terlebih dahulu sebelum Arkana menikahinya. Rencana yang telah dia susun untuk menghancurkan hati kakak tirinya yang sangat dia benci. Pertahanan Safira lagi-lagi runtuh, sebab tenaganya tidak sebanding dengan tenaga yang dimiliki Kai. Safira sudah pasrah dengan apa yang akan terjadi selanjutnya. Mungkin, jalan hidupnya memang seperti ini. Dilecehkan oleh calon adik iparnya sendiri. Merasa sudah tidak mendapat penolakan, Kai menyeringai puas. Lalu dia pun berpikir, jika Safira sama saja dengan perempuan-perempuan di luaran sana yang begitu mendambakan sentuhannya. Saat Kai bersiap mencium bibir Safira, dan akan bertindak jauh. Safira menajamkan tatapannya, seraya melontarkan kalimat yang amat sangat tak terduga. "Silakan kamu lakukan apa maumu, kalo itu bisa memuaskan keinginanmu. Karena aku memang gak punya apa pun untuk melunasi utangku, selain kehormatan yang kujaga mati-matian selama dua puluh lima tahun. Jadi, silakan lakukan. Lakukan, Kai …." Cengkeraman tangan Kai pada tengkuk Safira sontak terlepas, dia seperti tertampar dengan kalimat itu. Ditambah dengan lelehan bening yang mengalir di pipi Safira, membuat kaki Kai mundur dengan sendirinya. Maniknya menatap nyalang wajah Safira yang dipenuhi amarah sekaligus kebencian terhadap dirinya. Dan, anehnya Kai merasa ada sesuatu yang terasa sangat nyeri saat menatap wajah putus asa itu. Entah apa itu. Namun, Kai tidak ingin terlampau jauh memikirkan hal yang menurutnya tidak penting. "Pergi, Fir," titah Kai, lalu bergeser menjauh, dan melangkah menuju kulkas. Perasaan Kai menjadi tidak karuan, sambil menenggak botol air yang baru saja dia ambil, pikirannya terus berkecamuk. Sementara Safira masih tak bergeming di tempatnya. Kedua kakinya seolah-olah terpaku, tak bisa digerakkan.Yang bisa dia lakukan hanyalah berjongkok, lalu menutup wajahnya dengan telapak tangan, dan menangis sejadi-jadinya. Isakan Safira mengusik pikiran Kai yang sedang kacau. Pemuda itu mendesah panjang, lalu mengembalikan botol ke dalam kulkas, dan menutupnya dengan kasar sampai menimbulkan bunyi yang cukup mengagetkan. Kai menghampiri Safira, berdiri di hadapan perempuan yang sesenggukan. "Fir." Kai berkacak pinggang, memandang Safira yang terus saja menangis. "Jangan nangis di sini. Berisik!" Tak menghiraukan perkataan Kai, Safira malah semakin mengencangkan tangisannya. Apa yang baru saja terjadi sungguh membuat Safira takut. Takut dalam arti lain. *** Safira lekas berlarian, begitu turun dari ojek yang selalu mengantarnya berangkat bekerja. Ini semua gara-gara ulah Kai. Andai saja adik dari Arkana itu tidak membuatnya harus bolak-balik ke apartment, dan melakukan pekerjaan layaknya seorang pembantu. Safira pasti bisa tepat waktu datang ke tempat ini seperti hari-hari lalu. Melelahkan sebenarnya. Tetapi, dia pun tidak bisa berbuat apa-apa. "Fir!" Panggilan dari seseorang yang sangat Safira kenal sontak menghentikan langkah kakinya yang sedari tadi sudah diburu waktu. Safira berbalik, dan melihat Arkana yang tersenyum lembut sambil menghampiri. "Mas?" Arkana tidak pernah malu meski orang-orang di sekitarnya selalu memerhatikan kedekatannya dengan Safira. Arkana justru merasa senang dan bangga mempunyai calon istri yang mandiri dan pekerja keras seperti Safira. "Kamu … keliatannya lagi buru-buru?" tanya Arkana, yang sekilas memerhatikan kegugupan dari manik Safira serta rasa tidak nyaman. "I-iya, Mas." Safira menjawab sambil menatap jam tangannya sekilas. "Aku udah terlambat." Arkana mengangguk paham. Ada rasa tidak tega sebenarnya melihat Safira harus bekerja menjadi SPG dengan gaji yang minim. Seandainya Safira menerima tawaran pekerjaan yang pernah ditawarkannya. Mungkin perempuan ini tidak perlu susah payah mengejar target penjualan setiap harinya. "Mas." Safira sungguh tidak ada waktu lagi. "Iya, Fir?" "Maaf, Mas. Aku … Duluan, ya? Udah terlambat soalnya. Gak enak sama yang lain." "Oh, oke-oke. Silakan. Nanti malem kita pulang bareng. Aku tunggu di tempat biasanya." "Iya, Mas. Nanti aku ke sana." Safira pun segera berbalik begitu mendapat anggukan dari Arkana. Melanjutkan langkahnya, dan bergegas menuju ke lantai dua. Arkana juga ikut berlalu dan melanjutkan tujuannya yang sempat tertunda karena melihat Safira. Pria berjas biru muda itu akan pergi ke luar untuk menemui seseorang dengan didampingi asisten pribadinya. *** Jam pulang akhirnya tiba juga. Tepat pukul tujuh Safira keluar dari pusat perbelanjaan terbesar di kota itu dan langsung pergi menuju cofee shop di mana Arkana sudah menunggu. Tempat itulah yang menjadi saksi pertemuan pertama keduanya. Arkana yang lebih dulu jatuh cinta pada Safira, hingga memiliki keinginan untuk memperistrinya. Sebelum Safira datang, Arkana sudah lebih dulu memesan minuman dan makanan kesukaan calon istrinya itu. Mereka makan malam sambil mengobrol seperti biasa. Menceritakan hal apa pun termaksud masalah yang saat ini tengah menimpa keluarganya. Arkana terlihat sedih ketika menceritakan soal penolakan dari Kai yang tidak mau pulang. Pria itu juga mengeluh, dan mengatakan sudah kehabisan cara untuk membawa adiknya itu kembali ke rumah. "Aku gak tau mesti pakai cara apa lagi, Fir. Sampe sekarang aku juga gak sepenuhnya ngerti sama apa yang Kai mau. Tiga tahun ini dia jauh dari kami. Masalah yang ada makin rumit setelah dia memutuskan untuk pergi dari rumah." Safira tidak bisa berkomentar banyak pada masalah yang tengah dihadapi tunangannya. Namun, dia cukup prihatin dengan kondisi calon ayah mertuanya yang sakit-sakitan. Pada kenyataannya memiliki harta melimpah tak selamanya menjamin kita bisa merasakan kebahagiaan secara utuh. Entah dosa apa yang dilakukan oleh ayahnya Arkana di masa lalu, hingga harus menanggung kebencian dari putera kandungnya sendiri. "Maaf, Mas. Sebelumnya aku memang gak tau masalah apa yang terjadi di keluarga kamu. Tapi selama kamu cerita ke aku soal Kai yang gak mau pulang. Aku jadi ingin tahu alasan di balik penolakan adik kamu. Aku pikir, masalah yang menimpa keluarga kalian cukup serius. Sampai-sampai kamu keliatan frustrasi kayak gini. Sekali lagi maaf, Mas … Kalo misalkan aku lancang." Arkana tersenyum dan menggeleng. "Kamu … berhak tau, Fir. Karena sebentar lagi kamu akan jadi bagian keluargaku." Dia meraih tangan Safira, menggenggamnya begitu erat. "Sebenarnya ini adalah aib keluargaku. Tapi—" Safira lekas memotongnya. "Kalo gitu, lebih baik gak usah, Mas. Gak baik juga mengumbar aib keluarga sendiri." "Gak apa-apa, Fir." Arkana tersenyum, dan sudah bersiap menceritakan aib ayahnya. Safira pun hanya bisa memberi respon dengan anggukan kepala. Sebisa mungkin dia menghargai keputusan Arkana. "Sebenarnya, Kai itu anak dari hasil hubungan gelap Papiku sama sekretarisnya," ungkap Arkana dengan gamblang, lalu menghela napas lega karena beban di pundaknya sedikit berkurang.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN