Safira Demam

1320 Kata
"Elu gak usah kerja di bar lagi." Kai mengulang ucapannya dengan satu alis terangkat tinggi, dan membuat Safira semakin ternganga. "Kenapa? Kenapa aku ga boleh kerja di sana lagi? Kalo, aku gak kerja sambilan di sana, utangku gak akan lunas-lunas," ucap Safira, tak mengerti dengan permintaan tak masuk akal Kai. Bekerja sambilan saja dia belum tentu bisa melunasi utang-utang itu dengan cepat. Apalagi tidak bekerja sambilan? pikir Safira. "Elu tinggal nurut aja, apa susahnya, sih? Udah gue minta baik-baik tapi elunya gak mau." Kai membuang napas kasar. Lalu lanjut bicara, "Harusnya elu seneng, karena gak perlu capek-capek kerja malem lagi. Ini malah nolak. Sok, banget, sih, lu!" "Ini bukan masalah aku nolak atau sok," sahut Safira tak terima dicibir. "Aku 'kan tadi bilang, kalo aku gak kerja sambilan, utangku gak akan lunas. Kalo aku andelin gaji SPG gak akan cukup. Kamu paham, gak, sih, aku ngomong?" "Ya udah, cari kerjaan lain aja. Susah banget!" Kai berdecak, lalu bersedekap. "Kerja yang gajinya gede sekalian. Jadi lu bisa bayar utang-utang lu." "Nyari kerjaan, tuh, gak gampang, ya!" "Kalo lu mau, banyak, kok. Gak perlu lu capek-capek kerja siang malem. Lu bisa dapet duit banyak." Manik Safira memicing. "Kerja apa? Kerja apa yang bisa dapet duit banyak?" Dia curiga dengan Kai yang tersenyum miring. Kai beringsut maju, sementara Safira sontak beringsut mundur. "Ka-kamu ... Jangan maju-maju bisa, gak, sih?" Satu sudut bibir Kai semakin naik. "Kenapa? Elu takut gue lecehin lagi?" Maniknya menatap wajah Safira yang agak pucat. "Elu sakit? Muka lu pucet." Kening dan alis Safira seketika menaut bersamaan. "Eng ... gak, tuh!" sahutnya menggeleng pelan. Kai menempelkan punggung tangan ke kening Safira cukup lama. "Kayaknya lu demam, Fir." Karena gugup, dan tak merasa nyaman saat kulit punggung tangan Kai bersentuhan dengan kulitnya, Safira reflek menepis tangan pemuda itu. "Gak. Aku, gak pa-pa. Aku gak demam." Punggung Safira menegak ketika Kai beringsut mundur, menjauhi. "Ck, terserah lu!" Dia memegang roda kemudi, bersiap membawa mobilnya pergi dari sana. Sementara Safira duduk bersandar sambil memegang keningnya sesaat. 'Memang agak panas, sih.' Dia membatin menyadari jika dugaan Kai tidak salah. Safira memang merasa agak pusing sejak pagi. Tetapi, dia pikir itu mungkin hanya kurang istirahat. Mobil sudah terparkir di basemen parkir. Kai melepas sabuk pengaman bersiap turun. Namun, ada yang aneh karena sejak perjalanan ke sini, Safira sama sekali tak bersuara. Kai pun yang merasa penasaran, lantas berbalik menatap calon istri kakaknya itu yang ternyata tertidur sangat pulas. Kai menghela pendek, kemudian mengecek suhu tubuh Safira dengan punggung tangan. "Panas banget. Dia emang demam kayaknya." Situasinya cukup membingungkan sekarang. Kai tidak tega membangunkan Safira yang sedang sakit. Membawanya ke rumah sakit pun sepertinya bukan ide yang bagus. Kai paling benci bau rumah sakit. "Gue tinggal dulu di sini gak pa-pa kali, ya? Gue beli obat ke apotek dulu." Tanpa ingin menunggu lama lagi, Kai turun dari mobil, dan segera menuju ke apotek yang kebetulan berada dekat di sekitar gedung apartment. Dia berlarian supaya cepat sampai. Begitu sampai, Kai langsung meminta pada apoteker obat penurun panas dan vitamin. "Untung bukanya dua puluh empat jam," gumam Kai saat pergi dari sana setelah mendapatkan obat yang dimaksud. Tiba di parkiran lagi, dia bergegas membuka pintu mobilnya. Lalu tanpa membangunkan sosok yang tengah tertidur pulas, Kai membungkuk, dan menyelipkan lengannya di balik lutut serta punggung Safira. Kai mengangkat perlahan-lahan tubuh Safira, berusaha mengeluarkannya dari mobil. Kai sudah mengira jika tubuh Safira tidak terlalu berat. Dengan posturnya yang menjulang tentu sangat mudah baginya menggendong perempuan itu. Kai pikir, Safira itu terlalu kurus. Apalagi tingginya yang tak seberapa jika dibandingkan dengan Eve. Mungkin juga karena tuntutan pekerjaan yang mengharuskan Safira mempunyai tubuh yang langsing. "Ada yang bisa saya bantu, Mas Kai?" tanya security yang kebetulan lewat. Dari kejauhan tadi, dia memerhatikan Kai yang terlihat kesulitan. Kemudian dia memutuskan untuk mendekat. Dan ternyata, dugaannya benar. Bapak security yang name tag-nya bernama Darman itu menatap Safira yang berada di gendongan Kai. Dia pun bertanya lagi. "Pacarnya kenapa, Mas? Pingsan, ya?" "Ah, enggak, kok, Pak. Dia demam. Jadi saya gak tega bangunin." Kai menjawab apa adanya dengan senyuman terukir di bibir, tetapi tidak menampik dugaan Pak Darman yang mengira Safira adalah kekasihnya. Pak Darman manggut-manggut dengan mulut membulat. "Jadi mau digendong sampe atas, Mas? Yakin?" Kai mengangguk, lantas meminta bantuan, "Pak, bisa minta tolong kunciin mobil saya? Kuncinya masih di dalem sana. Nanti anter ke unit saya, ya? Masih hapal 'kan?" "Oh, siap-siap, Mas. Biar saya urus mobilnya. Mas Kai bawa pacarnya aja ke atas. Kasian. Semangat, Mas." Pak Darman melipat bibir. Antara terharu sekaligus ingin tertawa dengan perlakuan Kai kepada Safira yang dia pikir pacar pemuda itu. "Makasih, Pak. Saya naik duluan." Kai lekas berlalu, membawa Safira masuk ke gedung. "Anak muda." Pak Darman terkekeh sambil geleng-geleng kepala. Tangan rasanya kebas ketika berhasil membawa Safira naik ke unitnya. Kai merebahkan Safira di tempat tidur yang biasa digunakan oleh perempuan itu. Sangat perlahan, nyaris tak menimbulkan suara. "Njir! Capek juga!" sungut Kai, dengan napas terengah-engah. Menatap Safira yang sudah terbaring di kasur sambil melipat tangan di d**a. Kai tengah berpikir, apa yang hendak dia lakukan untuk membantu Safira. "Gue malah bingung." Dia mengusap dagu. Suara bel pintu mengalihkan atensi Kai. Bergegas keluar kamar, dan segera menuju pintu. Saat membukanya Pak Darman sudah berdiri di sana. "Kuncinya, Mas." Pak Darman menyerahkan kunci mobil ke pemiliknya. Kai menerimanya. "Makasih, ya, Pak." Dia lantas merogoh kantung celana dan mengambil dompet. Menarik dua lembar uang ratusan, lalu memberikannya ke Pak Darman. "Buat beli rokok." Disodorkan uang ratusan ribu raut Pak Darman nampak semringah. "Waduh, makasih banyak, loh, Mas Kai. Harusnya gak usah repot-repot," ucapnya basa-basi, tetapi tak urung dia mengambilnya dari tangan Kai, dan buru-buru memasukkannya ke saku seragamnya. "Gak tiap hari ini, Pak." Kai menahan senyum. "Makasih, loh, Mas. Saya doain pacarnya cepet sembuh." Kai tersenyum lalu mengangguk. Setelah Pak Darman pamit, dia bergegas menutup pintu. Tujuannya saat ini adalah ke dapur untuk mengambil air minum serta air untuk mengompres. Melangkah ke kamar yang ditinggali Safira selama berada di sini, Kai meletakkan apa yang dia bawa ke atas nakas. Satu gelas air dan baskom berisi air hangat. "Obat dulu atau kompres dulu?" ucap Kai, kebingungan dengan tindakan apa yang tepat untuk mengurus orang demam. "Obat dulu kali, ya?" Dia garuk belakang kepala karena keder sendiri. Kai merogoh kantong celana, mengambil plastik berisi obat yang dibelinya di apotek. "Ck! Selama ini gue gak pernah ngurus orang sakit." Menduduki tepi tempat tidur, Kai lalu memasukkan satu butir obat penurun panas ke mulut Safira. Dengan satu tangannya yang menopang kepala Safira, tangannya yang lain mengambil gelas di nakas. Hati-hati Kai meminumkannya ke Safira. "Minum dulu, Fir." Safira bergumam, setengah sadar karena kepalanya terasa berdenyut. Membuka sedikit mulutnya yang terasa pahit lalu meminum air pemberian Kai pelan-pelan. "Kepalaku sakit," keluhnya. "Elu ngeyel, sih, jadi orang. Gue 'kan udah bilang kalo lu demam." Meski sambil mengomel, Kai tetap membantu Safira meletakkan kepala di bantal. Dalam keadaan seperti ini pun Kai sempat-sempatnya ngomel. Telinga Safira tentu dapat mendengar dengan baik. Sayangnya, rasa pusing yang mendera kepalanya membuat manik Safira enggan terbuka. Lalu, tak berselang lama, keningnya terasa ada sesuatu yang menempel. Basah dan hangat. "Kamu ngapain, Kai?" tanya Safira dengan suara yang sangat lirih, mirip gumaman. Tangan kanannya terulur ke kening, mencoba memegang benda apa yang menempel di sana. "Ini apa?" "Berisik! Tangan lu bisa diem, gak?" Kai memegang tangan Safira, mencegah perempuan itu yang hendak menarik kompresan di kening. Kemudian menurunkannya. "Elu itu lagi demam, Fir. Gue lagi coba buat ngompres. Siapa tau berhasil." "Gak usah repot-repot. Aku gak pa-pa. Aku mau berangkat kerja aja. Nanti kalo gak kerja, Pak Danis marah-marah. Terus, aku dipecat. Habis itu gak bisa bayar utang," ucap Safira panjang kali lebar disela-sela kesadaran yang menipis. Kai berdecak, karena tak habis pikir dengan perkataan Safira. "Bisa-bisanya mikirin kerjaan padahal lagi sekarat." "Aku harus kerja. Aku harus kerja." Safira tak berhenti bergumam, dengan mata yang kembali memejam. "A-ku ... harus kerja ...." "Sumpah! Nih, cewek emang aneh!" _ bersambung...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN