Kemunculan Kai

889 Kata
"Iya, Pak," sahut Safira, sebelum itu dia mematikan kompor terlebih dahulu, baru kemudian datang menghampiri Januar. "Perlu apa, Pak?" tanyanya begitu berdiri di hadapan ayahnya yang duduk sambil menengadahkan kepala. "Buatin bapak kopi," titah Januar. "Iya, Pak." Safira kembali ke dapur, lalu bergegas membuatkan kopi. Setelah kopi tanpa gula itu siap, dia membawanya ke ruang tamu. "Kopinya, Pak." "Taruh aja di meja." Januar sama sekali tidak menatap anak perempuan satu-satunya itu. Efek minuman masih menguasai akalnya. Kepalanya juga masih agak berat dan pusing. "Safira ke dapur lagi, Pak." "Hmm." Safira kembali ke dapur untuk menyelesaikan masakannya. Dan kurang dari satu jam masakan telah siap dan tersaji di meja makan. Januar pun sudah terlihat segar setelah keluar dari kamar. "Makan dulu, Pak," ajak Safira. Dia mengisi piring kosong dengan nasi beserta lauknya untuk Januar. Sementara Januar hanya bungkam. Sesekali dia menatap putrinya yang beberapa hari ini tidak berada di rumah. Mereka makan dalam diam. 'Habis ini aku tanya aja ke Bapak. Biar selesai makan dulu.' Safira membatin sambil menyuapkan nasi ke mulut. Memikirkan hal pertama yang akan dia tanyakan pada sang ayah. Beberapa saat kemudian, makan malam pun telah selesai. Safira membereskan meja makan. Mencuci sekalian piring dan gelas bekas pakai. Sedangkan Januar memilih duduk di ruang tamu sambil merokok. Urusan dapur sudah beres. Saatnya Safira bertanya pada Januar mengenai uang pinjaman dari Kai. "Pak, ada yang mau Safira tanyain ke Bapak." Pertanyaan itu terlontar saat Safira sudah duduk di sofa—berseberangan dengan Januar. Manik Januar memicing, seraya menekan puntung rokok di asbak. "Mau nanya apa kamu?" Dari cara bicaranya, Safira sudah bisa membaca isi pikiran Januar. "Ini soal uang dari Kai," ucapnya dengan tangan saling menaut di atas paha. "Orangnya tadi nanyain ke Fira." Diingatkan soal uang tersebut tanggapan Januar malah berdecak kencang sekali. "Kenapa memangnya? Kamu gak percaya sama bapak?" tanyanya dengan nada terdengar tidak terima. "Bukannya gitu, Pak. Itu uang jumlahnya gak sedikit. Bapak bilang ke dia kalo mau buka usaha. Makanya dia kasih. Terus, sekarang dia nanyain, Pak. Karena sampe sekarang Bapak belum ada niat baik untuk buktiin ucapan Bapak." "Uangnya udah habis." Januar menyahut santai. Lantas menyelipkan rokok baru di sela-sela bibir dan menyulutnya dengan korek. Dia mengabaikan reaksi Safira yang ternganga. "Pak. Bapak serius? Bapak serius kalo uang itu udah habis?" tanya Safira memastikan, meski dia sudah tahu jawabannya. "Cerewet! Kalo bapak bilang habis, ya, habis! Pakek kaget segala!" sahut Januar. "Tapi, Pak. Kai ngasih uang itu 'kan buat modal usaha." Rasanya Safira ingin sekali berteriak. Tetapi, dia harus menekan keinginan itu karena masih memiliki adab. Biar bagaimanapun sosok yang ada di depan matanya saat ini adalah ayah kandungnya. Safira melanjutkan ucapannya, "Memang uangnya buat apa, sih, Pak? Sepuluh juta, Pak. Bapak bisa pakek uang itu buat jualan atau paling enggak beli motor bekas buat ngojek." Ketakutannya pun akhirnya terjadi. Januar tidak benar-benar menggunakan uang dari Kai sesuai janjinya. Sekarang, Safira semakin nelangsa dengan kenyataan tersebut. Total utangnya bukannya berkurang, tapi malah menjadi semakin banyak. "Uangnya habis buat—" "Buat judi?" sela Safira yang sudah tidak bisa menahan diri lagi. Dia sangat marah sekaligus kecewa. "Iya! Uangnya habis buat judi. Puas kamu!" Januar pun murka, merasa tak terima jika Safira tidak menghargainya. "Sama buat pesta minuman 'kan, Pak? Bapak bikin rumah ini panas! Fira bener-bener gak habis pikir sama Bapak. Kenapa, Pak? Kenapa? Kenapa Bapak gak gunain uang itu untuk hal yang bermanfaat." Tak terbendung air mata di pelupuk. Safira menangis karena perasaannya saat ini tengah campur aduk. "Kamu ini kenapa berlebihan gitu? Mau bapak pakek uang itu untuk apa, bukan urusan kamu. Kai ngasih itu juga buat bapak bukan buat kamu!" hardik Januar, yang kemudian beranjak dari tempatnya, berdiri di depan Safira sambil berkacak pinggang. Matanya menyorot tajam. Kepala Safira mendongak, menatap wajah ayahnya dengan tatapan mengabur karena tertutup air mata. Dia berkata serak, "Iya, Pak. Kai memang kasih itu ke Bapak. Tapi Fira yang harus bayar! Fira yang harus ganti uang itu." "Ya itu urusan kamu! Bukan urusan bapak! Masa' bayar utang bapaknya aja, kamu gak mau." Oh, astaga... Kenapa begitu enteng orang ini berkata seperti itu. Apa dia pikir, uang itu tinggal metik dari pohon? Safira memejam sesaat, menghirup napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya perlahan. Air mata sudah membanjiri wajahnya yang pucat. 'Tenang, Fira... Tenang.' Safira membuka kelopak matanya setelah mulai merasa tenang. Mengusap pipinya yang basah bergantian dengan punggung tangan, lalu berdiri. "Kamu berani melotot sama bapak, hah! Kamu mau jadi anak durhaka! Iya!" hardik Januar makin murka saat Safira menatapnya nyalang. "Fira gak akan kayak gini kalo Bapak bisa sedikit aja ngehargain usaha Fira. Fira itu capek, Pak! Fira capek! Selama ini Fira kerja pagi siang malem cuma buat lunasin utang-utang Bapak. Tapi apa, Pak? Bapak gak pernah mau tau atau sedikit pun tanya sama Fira. Yang ada, Bapak tambahin terus. Mau sampe kapan? Sampe kapan?" Habis sudah kesabaran Safira. Dia mengeluarkan uneg-uneg yang selama ini menjadi racun di hatinya. "Argh! Kamu ini terlalu cerewet!" Januar sudah mengangkat tangannya tinggi-tinggi, hendak menampar Safira. Sementara Safira sudah pasrah dengan apa yang akan dia terima dari Januar. Dia sontak memalingkan wajahnya seraya memejamkan mata erat-erat. Namun, hingga beberapa detik berlalu, tamparan Januar tak kunjung melayang di pipinya. Karena merasa penasaran, Safira memberanikan diri untuk membuka mata. Saat itu juga maniknya yang memerah dan basah melebar sempurna ketika mendapati Kai berdiri di hadapannya sambil menahan pergelangan tangan Januar. "Kai?" _ bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN