Terkejut

1150 Kata
Semenjak pertengkaran itu dan berakhir dengan ancaman. Safira semakin tidak bisa lepas dari genggaman seorang Kai. Dia sudah curiga jika semua akan berakhir seperti ini. Uang yang diminta ayahnya dari Kai, yang katanya untuk modal usaha, rupanya berujung menjadi utang. Jumlahnya pun tidak sedikit. Jika seperti ini, entah sampai kapan Safira bisa melunasinya. Safira sungguh tidak mengerti. Mengapa Kai sangat suka mempersulit keadaannya. Mengapa calon adik iparnya itu terobsesi untuk membuatnya menderita. Apakah di masa lalu Safira mempunyai kesalahan terhadap Kai, sehingga pemuda itu hobi sekali membuatnya sengsara? "Fir." Lolita masuk ke ruangan yang baru saja selesai dibooking oleh pelanggan. Menepuk pundak Safira yang dia perhatikan belakangan ini sering melamun. Terhenyak. Safira lantas menyahut, "Iya, Lit?" sambil melanjutkan pekerjaannya—menata botol-botol minuman yang sudah kosong di meja. Lolita memerhatikan Safira lalu berkata sambil membantu menata gelas-gelas bekas pakai pelanggan. "Aku perhatiin kamu ngelamun terus? Ada apa? Kangen, ya, sama Mas Arkana?" "Kangen, Lit. Udah seminggu aku sama dia gak ketemu. Gak tatap muka. Gak ngobrol bareng di kafe." Raut Safira seketika berubah riang. Maniknya juga nampak berbinar. "Gak teleponan?" Lolita mengusap punggung Safira sekilas. "Teleponan. Tapi udah dua hari ini dia belum telepon aku lagi." Helaan panjang berembus dari hidung Safira. Dia menatap Lolita. "Aku capek, Lit. Aku beneran capek sama semua ini." Karena tak bisa lagi membendung kesedihan, Safira memeluk Lolita dan menangis sejadi-jadinya. "Aku capek jalanin hidupku yang isinya kerja dan kerja buat bayar utang-utang Bapak." Isakan Safira membuat Lolita terenyuh apalagi ketika temannya itu mengeluhkan keadaannya yang makin rumit. "Sabar, ya, Fir. Aku yakin, kamu pasti bisa lewatin ini semua," ucapnya sambil menepuk-nepuk punggung Safira yang berguncang. "Kamu kenapa gak minta tolong aja sama Arkana?" Safira menggeleng, lalu mengurai pelukan. Wajahnya basah dan hidungnya memerah. "Aku malu, Lit. Aku malu sama dia." Dia mengusap cairan bening yang tak berhenti mengalir di pipi dengan punggung tangan. "Aku gak mau dibilang manfaatin dia." "Tapi, Fir. Justru dengan kamu bilang ke dia, siapa tau dia mau bantu. Dan pastinya gak akan ragu. Kamu calon istrinya. Arkana berhak tau keadaanmu yang lagi kesusahan kayak gini," saran Lolita merasa tidak tega melihat keadaan Safira. "Gak. Aku gak mau dia tau kalo calon mertuanya punya hobi berjudi. Aku gak mau bapakku malah manfaatin dia. Biarin aja, Lit. Aku kasian sama Mas Arkana. Bebannya udah banyak. Aku gak mau nambah-nambahin lagi." Safira cukup tahu diri dengan keadaan Arkana yang sudah pontang-panting sendiri di negeri orang demi memenuhi baktinya kepada papinya. Kalau sudah begitu, Lolita tak bisa memaksa lagi. "Ya udah, Fir. Terserah kamu." Tiba-tiba nama Kai terlintas di kepalanya. "Gimana urusan kamu sama Kai? Kayaknya hampir semingguan ini dia jarang ke sini." "Makin rumit, Lit." Safira membuang kasar napasnya. "Dia lagi di luar kota." Kening Lolita mengernyit. "Ngapain?" "Gak tau. Aku juga gak mau tau." Buat Safira keberadaan Kai tidak penting. Dia malah bisa bergerak bebas tanpa adanya campur tangan pemuda itu. Lolita mengangguk dan tak berniat untuk bertanya lebih banyak lagi mengenai Kai. "Pulang, yuk, Fir. Udah jam setengah satu," ajaknya lalu beranjak. "Ayuk!" Safira ikut beranjak. Sudah seminggu pula Safira harus tinggal di apartemen Kai. Pulang sesekali hanya untuk mengambil baju ganti dan melihat keadaan rumahnya. Januar selaku ayahnya tak pernah bertanya soal ke mana perginya Safira. Parahnya lagi, uang yang dipinjamkan Kai belum menunjukkan tanda-tanda sudah digunakan untuk usaha. Saat Safira bertanya mengenai usaha tersebut, Januar malah marah-marah dan memaki. Seketika itu Safira pun mengerti, jika Januar tidak pernah berniat menjalankan usaha. Safira tahu ke mana larinya uang tersebut. Suatu malam, Safira terpaksa terbangun karena mendengar suara-suara berisik yang berasal dari ruang tamu apartemen Kai. Suara orang tertawa serta orang meracau tidak jelas. "Apa Kai udah pulang?" gumam Safira, melirik jam dinding yang menunjukkan pukul dua pagi. Dia lantas memutuskan untuk beranjak dari tempat tidur, berjalan menuju pintu sambil terkantuk-kantuk. Ngomong-ngomong genap sepuluh hari Kai pergi ke luar kota, dan malam ini ada kemungkinan dia kembali. Selama itu pula Safira tidak pernah bertanya kapan pemuda itu pulang. Harapannya justru akan lebih baik jika Kai tak pernah pulang ke apartemennya lagi. Tak ingin gegabah, Safira hanya membuka pintu kamarnya sedikit. Mengintip dari celah pintu itu. Maniknya yang tadi terkantuk-kantuk, sontak melebar. "Astaga. Kenapa rame banget? Pantesan aja berisik!" sungutnya. Mulut Safira mengomel sendiri saat mendapati ruang tamu yang diisi oleh teman-temannya Kai. Dari penglihatan Safira, mereka semua sepertinya tengah minum-minum. Ada sekitar tujuh orang di sana, termasuk Kai dan pacarnya. Tiga orang laki-laki dan dua orang perempuan berbaju seksi. Rasanya dia ingin mengusir semua orang-orang kurang kerjaan itu. Mana ada tamu di jam dua pagi dan berbuat tak senonoh di rumah orang. Apalagi, si tuan rumah yang juga turut andil dalam pesta tak penting itu. "Nambah-nambahin kerjaan aku aja! Mending gak usah pulang sekalian!" Kepulangan Kai malah membuat Safira pusing, karena esok pagi dialah yang harus membereskan semua kekacauan tersebut seperti yang sudah-sudah. Memutuskan untuk menyudahinya, Safira menutup pintu kamarnya kembali dengan sangat hati-hati. "Bodo', ah! Mending aku tidur lagi aja." Safira merebahkan tubuhnya lagi di kasur, dan menutupi telinganya dengan bantal. Kebisingan di luar sana cukup mengganggu ketenangan Safira yang kelelahan dan butuh istirahat. Tidurnya otomatis tidak bisa nyenyak karena suara-suara aneh menjengkelkan sekaligus memuakkan. "Kalo ngeracun orang gak dipenjara, udah dari dulu aku racun semua orang-orang rese itu!" omel Safira berusaha untuk tertidur kembali ditengah-tengah keberisikan. Tak terasa malam pun telah berganti pagi. Bunyi alarm ponsel menggema di seluruh penjuru kamar. Safira yang baru beberapa jam bisa tertidur kembali terpaksa membuka mata. Rasa kantuknya belum sepenuhnya hilang, tetapi dia dipaksa untuk bangun karena tak ingin sang tuan rumah marah-marah. Dengan malas Safira bangkit, dan duduk bersandar di kepala ranjang. Mengumpulkan serpihan-serpihan kesadarannya, seraya menguap. "Cepet banget jamnya!" gerutunya sambil menyambar ponselnya dari atas nakas. Kemudian menonaktifkan alarm yang masih saja berbunyi. "Berisik!" Ponsel tak berdosa itu dia lempar begitu saja di kasur. Beberapa saat kemudian Safira keluar kamar, bersiap untuk membersihkan unit yang ditinggalinya selama sepuluh hari ini. Sebenarnya hari ini adalah hari liburnya. Akan tetapi, Safira harus tetap bekerja di tempat orang lain layaknya pembantu. Tunggu! Pemandangan di ruang tamu membuat Safira terkejut. Seharusnya, kondisi ruang tamu itu tidak seperti ini. Bukankah semalam teman-temannya Kai ke sini dan membuat kekacauan? "Kok, udah bersih?" Saking penasarannya, Safira sampai mengamati cukup lama ruangan tersebut. Sama sekali tak ada tanda-tanda bekas pesta minuman. Semuanya benar-benar rapi dan beres. "Gak ada bau rokok sama minuman pula?" Sekali lagi Safira memastikannya. Maka hal yang dia lakukan adalah menajamkan penciumannya. Hidungnya mengendus-endus seluruh udara yang masuk ke ruang tamu. Aroma lavender tercium di hidungnya. "Apa semalem itu cuma mimpi, ya?" Safira menggaruk pelipis, lalu berjalan menuju dapur untuk mengambil minum. Ketika tengah tenggelam dalam lamunan, suara pintu terbuka terdengar. Dan Safira tak perlu repot-repot menoleh karena dia sudah tahu siapa orangnya. Keyakinannya bahwa semalam Kai pulang makin menguat. Tak lama suara langkah kaki terdengar mendekat menuju dapur. Dari sudut mata Safira melihat Kai yang berjalan menghampiri. "Fir." Kai memanggil dan Safira menoleh. "Astaga! Kamu!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN