Ikut Mengintai

1015 Kata
"Zara, kenapa kamu ada di sini? Apa yang kamu lakukan dengan penampilan seperti itu?" tanya Zie yang sedikit terkejut dengan kehadiran gadis itu, tak di pungkiri. Zara memang gadis yang cantik, dia juga memiliki kepribadian yang baik serta sopan dalam bertutur kata. Namun melihat tampilan Zara yang sekarang ada di hadapannya membuat penilaian Azie akan sedikit berubah. Azie meneliti dari ujung kepala sampai ujung kaki gadis yang ada di hadapannya itu. Lihat saja gayanya seperti anak Punk. Bahkan ada tato bunga mawar di lehernya, sepertinya itu bukan tato permanen. Zara menggunakan kaos oblong berwarna hitam dengan celana jeans putih panjang dengan sobekan melintang di bagian pahanya. Ada tindik juga di bagian hidung kanannya. "Nggak usah liatin kayak gitu juga kali. Serem tau, nggak pernah liat cewek cantik ya!" Seloroh Zara seraya menyenggol lengan Azie. "Yang ada kamu tuh nyeremin, penampilanmu jadi kayak begini. Salah minum vitamin kamu ya hari ini?" Zie masih menatap penuh tanya. "Kagak lah, sesekali tampil beda ya nggak masalah lah." Saut Zara. "Eh di sini kamu rupanya. Ra kita jadi pergi nggak." Tegur seseorang yang berdiri di belakang Azie, Azie pun menengok ke belakang suara yang sangat ia kenal. "Biru. Kamu juga berpenampilan sama!" Ucap Zie yang bertambah terkejutnya. "Eh kamu di sini juga Zie. Nah kalau begitu sekalian aja kamu ikut kami berpetualang!" ajak Biru seraya merangkul pundak Zie yang masih bingung dengan dua sahabatnya itu. "Kalian mau pada ngapain sih, bukankah kalian anak orang kayak. Nggak mungkin kan kalian mau palakin orang?" tanya Zie ragu-ragu. Biru malah tertawa. "Ya nggak lah, kita mau ikut mantau olah TKP." Jawab Zara agar tidak membuat remaja satu itu terus dalam rasa keingintahuannya yang terpancar dari wajah polosnya itu. "Olah TKP?" Zie malah menggaruk kepalanya. "Yups kasus seorang ibu rumah tangga yang di laporkan gantung diri di dalam kamar setelah meracuni dua balitanya." Jawab Zara dengan santainya. "Eh serius?" Tentu saja berita itu membuat Zie sangat terkejut. "Ya lah masa becanda. Ayok ah kita pergi, mantau dari jauh aja biar nggak ketahuan sama polisinya!" Biru pun menuntun Zie untuk ikut bersama mereka. Ayah Zara memang seorang polisi, tak jarang Zara akan sering mengikuti sang ayah ketika bertugas dalam penyamarannya. Awalnya Zara hanya memantau dari jauh, tapi sejak ia kepergok oleh Biru disanalah mereka memulai misinya. Di tambah lagi dengan posisi biru yang merupakan anak orang kaya, membuat mereka sedikit bermain-main dan ikut campur dalam urusan para korban dan tersangka. "Kalian mau pada ikut-ikutan main jadi polisi-polisian gitu?" Azie masih bingung dengan kelakuan dua sahabatnya itu. "Tentu saja tidak, kami hanya memberikan sedikit pelajaran pada yang bersalah. Dan mencari kebenaran jika terjadi kecurangan atau ketidak Adilan." Tutur Zara. "Tapi bukankah kalian sama saja juga ikut melakukan tindakan kriminal namanya kalau sampai membalas tersangka dengan tindakan kekerasan." Azie tak setuju. "Oh tentu saja tidak sobat, kami hanya menggunakan sedikit uang untuk memberikan mereka pelajaran. Jadi kami tidak turun langsung menyentuh mereka." Tambah Biru dengan santainya. "Sudah lah Zie kamu ikut saja dan saksikan. Jangan terlalu banyak berkomentar dulu." Ucap Zara. Mereka pun memulai petualangan di kasus pertama mereka di lapangan. Ya itu memang kasus pertama Zara dan Biru dan ide itu berasal dari Biru. Sebelumnya Zara hanya menjadi pengamat dari kejauhan saja karena ia sangat penasaran tentang apa yang ayahnya akan kerjakan. Ayah Zara memang polisi biasa yang tak berpangkat tinggi hanya saja keluarganya berkat bisnis rumah sakit sang mamah. Setelah beberapa meter berjalan kaki, tiga remaja itu pun berhenti di sebuah warung yang jaraknya beberapa meter dari TKP. Biru memesan 3 teh botoh seraya menggali informasi di warung itu. "Bu maaf itu kok rumah di sana ada garis polisinya? Ada kasus apa Bu?" tanya Zara memulai seraya membuka tutup botol tehnya. "Ada ibu-ibu yang gantung diri nak, mana dua anak balitanya juga ditemukan tak bernyawa di bawah mayat sang ibu." Tutur ibu pemilik warung dengan raut wajah ibanya. "Itu seriusan dia gantung diri si ibunya?" Biru bertanya dengan wajah seriusnya. "Kalau menurut ibu sih kayaknya mereka semua di bunuh deh sama suaminya sendiri. Karena lakinya sering judi dan mabuk-mabukan. Sebelum mayat istri ditemukan, malam itu mereka sempat bertengkar juga. Istrinya juga di kenal ramah dan juga tak pernah memiliki hutang. Jadi tidak mungkin dia bunuh diri, bisa jadi memang suaminya yang sedikit gila." Ucap ibu itu sedikit berbisik, ketiga bocah remaja itu hanya mendengarkan dengan seksama. "Eh tapi kenapa kalian malah nanya-nanya masalah itu sih. Mana kalian masih remaja lagi. Sudah kalian pulang sana kerjakan PR kalian saja. Ini malah sibuk ngurusin orang." Gerutu ibu itu tiba-tiba. "Ya Bu, terimakasih sudah mengingatkan." Zie pun menarik kedua lengan temannya itu dan membawa mereka pergi dari sana. "Denger kan lebih baik kita belajar saja, pulang ke rumah sebentar lagi mau ujian." Ucap Zie seraya melihat satu persatu wajah teman-temannya. Biru dan Zara menghentakkan lengannya sehingga genggaman Zie terlepas. "Ini juga proses pembelajaran Zie. Kamu tidak dengan ucapan ibu tadi. Permainan baru saja di mulai kamu malah minta kami buat pulang." Protes Biru "Tau nih anak, kamu saja yang pulang Zie kita akan membalaskan dendam si ibu yang meninggal itu dulu." Tambah Zara mengusir Zie. "Waduh dari mana kalian tahu si ibu yang meninggal itu mau balas dendam. Ketemu sama kalian saja nggak, terus hantunya gitu yang datengin kalian buat bisikin di dalem mimpi dia mau balas dendam." Zie masih bersikeras mengembalikan kewarasan dua sahabatnya. "Nah itu pinter! Ayo Ra kita lanjut, aku juga sudah menduganya ibu itu pasti bunuh oleh suaminya. Kayaknya ini laki sudah lama buat rencana begitu." Ucap Biru yang kini menarik tangan Zara dan membawanya pergi. "Eh seriusan mereka malah pergi, ya sudah lah aku mau bawakan Saiqa sepatunya dulu. Hidupku saja sudah ribet kenapa malah harus ngurus hidup orang." Batin Azie yang hendak pulang, tapi langkahnya terhenti rasa penasaran tiba-tiba bergejolak di hatinya. Ia nampak berubah pikiran. Ia bergegas kembali ke warung tempat dimana ia membeli nasi tadi. Mengambil sepedanya lalu menyusul ke dua sahabatnya. "Lah tadi katanya mau pulang, eh kok malah balik lagi?" tanya Zara ketika Azie muncul di belakangnya. "Pasti karena jiwa keponya meronta-ronta." Saut Biru yang memang benar adanya. Azie hanya nyengir seraya menggaruk kepalanya yang tak gatal.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN