"Ini, minumlah."
Indira yang sejak tadi terus menatap pintu apartemen langsung menoleh ke arah Dhafi. "Ke-kenapa Mbak Winda bisa tahu? " tanya gadis itu.
Dhafi duduk di seberang Indira, pria berkacamata itu membenarkan letak kacamata bacanya. "Entah dia tahu atau tidak. Dia hanya bilang kalau mungkin Latif di apartemen dengan selingkuhannya."
Dhafi menatap pada Indira, ada rasa tidak percaya jika gadis yang terlihat polos, bahkan penampilannya belum tersentuh gaya ibu kota, bisa melakukan hal yang merugikan orang lain, perebut laki orang atau yang sering disebut Pelakor.
'Apa dia terlalu lugu hingga mudah diperdaya sama Latif?'
Hati Dhafi benar-benar menyayangkan. Namun mengingat bagaimana karakter Latif, dia cukup yakin jika sahabatnya itu telah memperdaya Indira dengan kata-kata manisnya.
"Aku akan telepon Affan dan minta dia menjemputmu!" ujar Dhafi, dia tidak mau ikut campur terlalu jauh.
"Jangan!" seru Indira dengan cepat, dia sudah mengirim pesan pada kakaknya itu dan mengatakan akan menginap di rumah teman.
"Affan harus tahu apa yang terjadi." Dhafi mengeluarkan ponselnya.
"Aku mohon jangan. Jangan sampai Mas Affan tahu apa yang terjadi." Indira menatap penuh permohonan.
Dhafi menghela napasnya. "Kakakmu sudah tahu soal hubungan tak biasamu dengan Latif, tadi sore dia datang padaku dan meminta bantuanku."
Indira mengerutkan keningnya. "Bantuan?"
Dhafi mengangguk, kemudian mulai mencoba menghubungi nomor Affan, tetapi sayang, nomor dokter Spesialis Jantung dan pembuluh darah itu tak bisa dihubungi.
"Kenapa di luar jangkauan?" gumam Dhafi.
"Bantuan apa?" tanya Indira, dia belum mendapatkan jawaban.
Dhafi tak menoleh, dia terus sibuk mengetik di layar ponselnya. "Dia memintaku untuk menikahimu."
"Apa?" tanya Indira dengan nada suara yang meninggi.
Dhafi menoleh sekilas. "Tenang saja, aku menolaknya," lanjutnya.
"Menolak, kenapa?" tanya Indira lagi.
Dhafi menghela napasnya, dia menatap pada adik sahabatnya. "Itu bukan urusanmu. Nanti Affan mungkin akan datang, kau tunggu!" Setelah mengatakan itu, pria itu bangkit dan pergi menuju salah satu pintu di ruangan itu dan masuk ke dalam.
"Menikahi aku?" gumam Indira tak percaya, gadis itu kemudian menatap pada pintu yang sebelumnya dimasuki oleh Dhafi.
Dhafi, adalah orang yang pernah menolongnya dulu. Menyelamatkan hidupnya, mungkin jika tidak ada Dhafi, dia sudah tiada. Namun sayang, pria itu terlalu dingin sikapnya sehingga dia merasa Dhafi jauh dari jangkauan.
Indira kemudian mengambil ponselnya dan mencoba melihat apa ada pesan dari Latif atau tidak. Dan Indira hanya bisa menelan kecewa. Tak ada pesan apapun dari Latif.
Di dalam kamar, Dhafi berdiri di sisi jendela kaca. Menatap pada gelapnya kota dihiasi lampu-lampu gedung dan kendaraan dari ketinggian.
Kilas balik masa lalu tentang masalah kedua orang tuanya telah menari di kepalanya. Rasa pahit yang sudah berusaha dia hilangkan kembali lagi setelah mendapati masalah adik sahabatnya, Indira.
Indira, adalah ibunya di masa lalu. Sama-sama menjalin hubungan haram dengan suami orang. Bedanya dulu ibunya berstatus istri dari ayahnya sementara Indira masih seorang gadis. Meskipun begitu, itu tidak membenarkan tindakan Indira.
"Dia salah jalan," guman Dhafi.
Dhafi pun teringat dengan permintaan Affan sahabatnya. Menikahi Indira demi menyelamatkan masa depan adik sahabatnya itu mumpung hubungan Indira dan Latif belum terlalu jauh, begitu kata Affan.
"Menyelamatkan?"
Dhafi pun berpikir, apa orang seperti Indira masih bisa diselamatkan? Kalau iya, kenapa tidak dengan ibunya di masa lalu? Yang Dhafi ingat, ayahnya pasrah menerima perbuatan ibunya dan menyerah begitu saja saat ibunya meminta cerai dari ayahnya dulu.
"Andai Ayah mempertahankan Ibu dan memperbaiki semuanya, apa hidupku akan lebih baik sekarang?" gumam Dhafi.
Dhafi menghela napasnya panjang. Dia hampir lupa, korban sesungguhnya dari perceraian orang tua adalah anak-anaknya. "Latif dan Winda punya anak," gumamnya.
"Apa aku perlu ikut campur?"
Pada malam harinya, Dhafi keluar dari kamar. Dia melihat Indira tertidur di sofa. Pria itu kembali masuk ke dalam kamarnya dan tak lama keluar membawa selimut. Dia selimuti dengan hati-hati adik sahabatnya itu.
'Wajahnya terlalu polos untuk menjadi perusak rumah tangga orang,' ucap Dhafi di dalam hati.
Kemudian Dhafi keluar apartemennya. Dia ingin tahu apa Latif dan istrinya masih berada di apartemennya atau tidak.
Pria itu menatap lekat pada pintu apartemen Latif. Beberapa saat menimbang, dia memencet bel unit di depannya. Namun, beberapa saat menunggu tidak ada respon dari sang empunya. Dhafi pun memutuskan untuk kembali ke apartemennya.
Setelah memastikan Indira terlelap, Dhafi kembali masuk ke kamarnya untuk beristirahat. Besok dia ada pekerjaan penting selain harus mengajar seperti biasanya.
***
Pagi hari setelah sholat subuh, Dhafi memutuskan untuk keluar kamarnya. Dia harus ingat ada makhluk lain yang menginap di apartemennya.
Keluar dari kamar, Dhafi mengerutkan keningnya saat tidak mendapati Indira di sofa. "Apa dia pulang?" gumamnya.
Dhafi pun memeriksa rak sepatu tak jauh dari pintu apartemennya. Masih ada sepatu Indira di sana. Artinya Indira masih berada di apartemennya. Dhafi dengan bingung menuju dapur. Tepat saat itu pintu toilet di sebelah dapur terbuka, Indira keluar dari sana.
"Oh, Mas Dhafi sudah bangun?" tanya Indira yang masih basah wajahnya.
Dhafi mengangguk, lalu dia menuju lemari di sisi kamar mandi dan mengambil handuk bersih dari sana. "Ini, keringkan wajahmu."
"Terima kasih, Mas."
Dhafi menatap heran pada kelopak mata Indira yang terlihat sedikit bengkak, wajah gadis itu juga terlihat sembab. 'Apa dia menangisi Latif semalam?'
"Mas, kiblat di sini di mana?" tanya Indira.
"Apa?" tanya Dhafi sedikit bingung, dia yang tengah larut berpikir, kurang mendengar apa yang Indira tanyakan.
"Kiblat, aku mau sholat subuh, tapi aku sedikit buta arah di sini," ujar Indira.
Dhafi pun mengangguk, lalu hanya menunjuk ke arah balkon di sebelah dapur.
"Oh." Indira pun berniat sholat di tempat yang ditunjuk Dhafi.
Namun, Dhafi segera mencegahnya. "Jangan sholat di situ, takut ada najis."
"Oh, em kalau begitu–"
"Sholat di kamarku, aku biasa sholat di sana." Dhafi kemudian berbalik masuk ke kamarnya dan Indira mengikutinya.
"Di sini, area ini khusus untuk aku sholat." Dhafi menunjuk pada sudut kamar di sebelah televisi.
"Oh iya Mas."
Kemudian Dhafi pun keluar dari kamarnya meninggalkan Indira dengan penuh keheranan. Dia heran karena seseorang yang tidak tahu dosa dengan menyukai suami orang, masih ingat Tuhannya. Pria itu pun tersenyum tipis sambil menutup pintu kamarnya.
Sementara itu Indira di kamar Dhafi, sambil memakai mukenanya, dia memindai kamar sahabat kakaknya.
"Rapi banget," gumamnya.
Kemudian setelah sholat subuh, masih memakai mukenanya, Indira melihat-lihat isi kamar itu. Ada beberapa foto Dhafi, bukan foto bergaya melainkan hanya pas foto yang diperbesar.
Lalu di meja kerja ada pigura berisi gambar sebuah keluarga dengan seorang anak laki-laki yang mirip dengan Dhafi.
"Dia berasal dari keluarga bahagia," gumamnya.
Baru saja berniat mengambil pigura foto itu, seseorang lebih dulu mengambil benda itu membuat Indira terkejut.
"Mandilah, aku akan buat sarapan, setelah itu kita ke rumah sakit," ujar Dhafi.
"Rumah sakit? A-ada apa?"