"Kenapa melirikku terus?" tanya Dhafi yang tengah fokus mengemudi. Sejak tadi, dia merasa Indira berkali-kali menoleh ke arahnya.
"Apa, nggak!" Indira mengelak, pipinya bersemu merah. Dia malu, memang kenyataannya dia sejak tadi berusaha mengamati Dhafi. Teringat dengan nasihat istri Latif tadi tentang Dhafi.
Indira menoleh ke arah jendela. Dia menarik napasnya panjang dan menghembuskan perlahan, tiba-tiba dia merasa jantungnya berdebar lebih cepat.
Kemudian gadis itu berpikir tentang apa yang Winda sampaikan tadi. Dhafi memang baik. Indira ingat, pertemuan awalnya dengan Dhafi beberapa bulan yang lalu.
Saat itu, dia yang sedang sedih setelah kematian ibunya. Merasa hidup seorang diri karena Affan belum menerima dia sepenuhnya seperti sekarang. Malam itu, dia keluar dari kontrakan. Terus berjalan tanpa tujuan. Larut dalam pikiran tak berujung.
Hingga tiba-tiba, hujan datang dengan begitu deras. Dia berlari mencari sebuah tempat untuk berteduh. Sampai di depan sebuah toko, Indira berteduh di sana. Dia duduk dan mulai menatap hujan yang membuat hatinya sedikit lebih tenang.
Indira mengeluarkan ponsel dari saku jaket yang dia kenakan, berniat mencoba memesan taksi untuk dia pulang.
Namun, tiba-tiba dia mendengar suara anak kucing yang terus mengeong dan membuat dia penasaran. Gadis itu pun melihat ke sekelilingnya hingga akhirnya pandangan matanya menangkap sesuatu di sela jeruji pembatas jembatan. "Anak kucing," gumamnya.
Tanpa pikir panjang, Indira meletakkan ponselnya di bangku tempat dia duduk di depan toko. Dia berlari menghampiri anak kucing yang rupanya terjepit di pagar besi jembatan. Indira mencoba membantu anak kucing itu lepas.
Namun, jalan di tepi jembatan itu berlumut hingga terasa licin. Indira kehilangan keseimbangan hingga dia pun terjatuh melewati jembatan.
Tubuhnya tercebur ke dalam air sungai yang sedang mengalir deras itu. Dia tidak pandai berenang, tapi sedikit bisa. Hanya saja, air sungai itu terlalu deras hingga dia semakin kesulitan menggapai tepian sungai. Tubuhnya terbawa arus hingga beberapa meter.
Sampai, di sisa kesadarannya, seseorang tiba-tiba meraih tubuhnya. Lalu membawanya ke tepian hingga dia selamat.
Orang itu adalah Dhafi. Saat itu, dia mulai hilang kesadaran. Tapi Indira yakin, Dhafi melakukan pertolongan pertama untuknya. Indira sadar, dia sudah ada di Rumah Sakit.
'Dia memang jelas orang baik, padahal tidak kenal aku, tapi berani mempertaruhkan nyawa demi menolongku.'
"Kenapa senyum-senyum sendiri?" tanya Dhafi.
Indira langsung menoleh. "Apa? Ah, tidak." Gadis itu menghela napasnya perlahan. "hanya ingat sesuatu aja."
"Sesuatu? Apa Latif?" tanya Dhafi dan Indira langsung menggeleng.
"Bukan, em itu–"
"Baiklah sudah sampai," ujar Dhafi yang kemudian menghentikan mobilnya.
Indira pun langsung melihat ke luar mobil, dia menghela napasnya panjang.
"Istirahatlah! Besok kau ada kuliah, kan?" tanya Dhafi.
"Oh, iya." Dengan lesu Indira melepas sabuk pengamannya. "em, terima kasih, untuk bantuannya."
Dhafi hanya mengangguk dan menunggu Indira keluar dari mobilnya.
Indira keluar dari mobil Dhafi, menutup pintu mobil kembali. "Hat–" Belum selesai Indira bicara, Dhafi sudah lebih dulu menjalankan mobilnya membuat Indira berdecak kecewa.
"Kaku banget sih jadi orang," gerutu Indira.
Kemudian gadis itu berbalik, berniat masuk ke rumah Mama Herlina. Baru saja akan membuka gerbang, tiba-tiba tangannya ditarik seseorang.
"Lepas!" Indira yang terkejut langsung menyentak tangan orang itu.
"Ini aku sayang."
Mata Indira membola saat melihat rupanya Latif yang mendatanginya. "Mas Latif."
"Aku nunggu kamu dari pagi," ujar Latif. "tadi mobil Dhafi, kan?"
Indira tak menjawab, dia melihat ke sekelilingnya. "Mas Latif ngapain ke sini?"
"Aku kangen sayang, aku tau Affan lagi di Rumah Sakit, kan? Jadi aman aku menemui kamu di sini," jawab Latif.
Indira terdiam, mengingat apa yang Dhafi ceritakan padanya tadi jika Latif tak akan mungkin menceraikan Winda, juga tentang anak Latif dan Winda yang mungkin akan bernasib sama sepertinya jika orang tuanya bercerai. Gadis itu juga ingat tentang ibunya dan juga kehidupannya.
"Sayang, ikut aku yok. Aku jamin Winda gak akan tau. Aku pamit ke Bandung hari ini untuk meeting, aku bisa–"
Indira langsung menyentak tangan Latif. "Gak Mas," ujarnya menolak.
"Sayang."
"Gak usah manggil sayang, hubungan kita udah berakhir!" Indira berkata dengan tegas.
"Apa?" tanya Latif tak percaya. Pria itu menggeleng. "kamu marah karena semalam, aku ... aku minta maaf, semalam Winda–"
"Aku bukan marah Mas, tapi aku sadar," ujar Indira menyela. "aku sadar kalau aku salah selama ini. Gak seharusnya aku jatuh cinta sama Mas."
Latif mengernyitkan dahinya. "Dira, kamu marah?"
"Aku tanya, apa Mas akan menceraikan istri Mas?" tanya Indira.
"Tentu saja," jawab Latif dengan cepat,
"Kapan?" tanya Indira lagi.
Latif terdiam, dia tampak berpikir. "Aku, aku akan lakukan secepatnya, demi kamu. Kamu percaya, kan sama aku?" Latif meraih tangan Indira lagi.
Indira langsung menepis tangan Latif. "Apa Mas siap kehilangan semua harta Mas?" tanya Indira.
"Apa?"
"Cafe, studio, semua punya Mbak Winda, kan?" tanya Indira.
Latif mengerutkan keningnya. "Apa Winda menemuimu?" tanya pria itu.
Indira terdiam, dia menanti apa yang akan Latif katakan padanya. Apa pria itu rela kehilangan semuanya demi dirinya.
"Winda cuma perempuan bodoh sayang, itu mudah bagiku untuk mengatur semuanya," jawab Latif.
Mendengar itu Indira menghela napasnya panjang. Jawaban pria di depannya cukup membuka bagaimana karakter pria itu yang sebenarnya. Jika Winda yang kaya raya dan cantik, serta berpendidikan tinggi saja mampu dikhianati, apalagi dirinya yang tidak punya apa-apa.
"Sayang, ikut aku ya, aku akan jelaskan semuanya." Latif berusah menarik tangan Indira kembali.
"Gak Mas." Indira menolak, dia berusaha melepas tangan Latif darinya. Namun kali ini Latif cukup erat memegang pergelangan tangannya.
"Ikut Dira, aku akan jelaskan semuanya, jangan marah." Latif berusaha menarik tangan Indira.
Saat itu, sebuah mobil berhenti di depan Latif membuat pria itu menghentikan langkahnya menarik Indira.
"Dhafi," gumam Latif, jelas dia tahu mobil Rubicon milik siapa di depannya.
Hingga Dhafi keluar, dan Latif tampak terkejut, Indira memanfaatkan kesempatan itu untuk melepas tangan Latif darinya.
"Apa yang kau lakukan Tif?" tanya Dhafi yang kini berdiri di depan Latif dan Indira.
Latif berdecak. "Kau tidak usah ikut campur Dhaf!" ujarnya.
Dhafi menatap pada Indira yang tampak cemas dan gadis itu menggeleng serta menatap sendu padanya. Jelas Dhafi melihat tadi dari kejauhan jika Indira menolak pergi dengan Latif.
"Kau tau Affan akan marah jika kau meneruskan hubungan kalian, bukan?" tanya Dhafi. Pria itu pikir, dia harus membantu Indira.
Latif menyeringai. "Kau tau apa Dhaf, ini cinta. Pasti ada rintangannya dan kami akan berjuang," ujarnya. "sebaiknya kau jangan ikut campur."
"Aku–" Dhafi tak lagi melanjutkan kata-katanya karena tiba-tiba Indira memeluk lengannya. Pria itu menatap heran pada gadis di sampingnya, lalu pada lengan yang dipeluk gadis itu, tiba-tiba Dhafi merasa jantungnya berdebar cepat.
"Mas Dhafi berhak ikut campur," ujar Indira membuat Dhafi mengerutkan keningnya, dosen tampan itu, kini tampak kebingungan dengan aksi adik sahabatnya itu.
Lain dengan Latif yang tampak terkejut dengan Indira yang memeluk lengan sahabatnya di depan mata kepalanya. "Dira apa yang kau lakukan?" Mata pria itu melotot.
"Apa? Aku hanya memeluk calon suamiku!" Indira mengangkat dagunya dengan angkuh, dia pun mengeratkan pelukannya pada lengan Dhafi.
"Apa?!" Mata Dhafi membulat, dia cukup kaget dengan pernyataan Indira.
"Apa Mas? Kamu kan calon suamiku," ucap Indira, gadis itu kemudian berjinjit dan mengecup pipi Dhafi membuat 2 pria di sana sama-sama membulatkan matanya.