PENEMUAN BUKU REKENING GAJI

689 Kata
"Dek, uang bulanan ada di meja rias, ya?" Aku yang sedang menjemur baju sekilas menoleh, tersenyum dan mengangguk. "Ada bonus, buat beli lipstik kamu." Dia berkata seraya mengerlingkan mata dan memainkan kedua alisnya. Kebiasaan yang ia lakukan saat menggodaku. "Jangan lupa! Beli yang warnanya merah menyala. Mas suka itu," tambahnya lagi saat sudah berada di atas motor. Aku memonyongkan bibir, tanda mengejek. Ia lantas melajukan sepeda motornya perlahan menuju tempat dimana ia bekerja. Menjadi guru PNS di salah satu Sekolah Dasar. Lalu kuberanjak masuk ke dalam rumah. Langkah kaki terayun menuju kamar tidur. Mengambil amplop berisi uang bulanan dari suami. Lima lembar uang seratus ribuan. Aku tersenyum kecut. Mengingat permintaannya untuk membeli pewarna bibir. Memang benar, ia memberiku bonus lima puluh ribu. Karena untuk kebutuhan sehari-hari, ia memberikanku jatah uang limabelas ribu. Anak kami ada dua. Untuk uang jajan sehari-hari mereka saja, uang jatah dari Mas Agam tidaklah cukup. Untungnya, orangtuaku memberi beberapa petak sawah untuk lahan pertanian. Sehingga untuk makanan pokok, kami tak usah membelinya. Aku tidak pernah tahu, berapa gaji yang ia terima utuh selama satu bulan. Karena setahuku, ia masih memiliki cicilan dari sebelum menikah. Ia menambah utangnya lagi untuk membeli sepetak tanah yang lokasinya dekat dengan rumah orangtuanya, sebagai investasi. Tanah tersebut, kini dikelola oleh mertuaku. Sedangkan uang sertifikasi yang diterima tiap triwulan sekali, kami sepakat untuk menabungnya di bank. Untuk berjaga-jaga bila ada kebutuhan mendadak. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, aku yang kebetulan juga mengajar di salah satu TK milik yayasan PKK desa, membuka kantin di sekolah, tempatku bekerja. Sebelum masuk atau pada saat istirahat, aku sendiri yang melayani murid-murid ketika membeli jajan. Selain itu, di rumah juga membuat beraneka keripik yang kutitipkan ke warung-warung. Alhamdulillah, hasilnya bisa ditukar dengan keperluan dapur. Kujalani dengan penuh rasa ikhlas sekalipun berat kurasa. Karena aku percaya, suamiku telah memberikan yang terbaik untuk kami. Hanya saja, memang kemampuannya dalam memberi nafkah hanya sebatas ini. "Gaji mas cuma satu juta, dek. Buat nabung simpanan hari rayadi koperasi dua ratus ribu. Sisanya buat ongkos Mas, buat beli bensin ya? Makanya kamu harus nerima kalau Mas sering menginap di rumah ibu, yang lebih dekat dengan sekolah. Untungnya Mas gak ngerokok. Mas yakin, kamu bisa mengatur keuangan kita dengan baik." Begitu selalu yang ia ucapkan saat aku mengeluh. Dan aku juga selalu percaya saat ia menjelaskan seperti itu. Karena aku yakin, ia pria yang sangat baik. Taat beribadah, serta memiliki jiwa sosial yang tinggi. Selama ini keluarga Mas Agam menganggap aku bahagia bersuamikan ia yang sudah PNS sejak belum menikah. Mereka mengira, kecukupan yang aku dapatkan semuanya berasal dari gaji yang ia berikan. Aku tidak pernah menjelaskan apapun pada mereka. Karena kewajiban seorang istri adalah menjaga marwah keluarga. Tak sepatutnya menceritakan urusan rumah tangga kepada orang lain. Sekalipun orang itu masih keluarga dekat dengan kita. Berat ringannya hidup, cukup kami yang tahu. Aku tidak ingin harga diri suamiku jatuh di hadapan keluarga besarnya. *** Siang ini, sepulang dari mengajar di TK, aku berniat membersihkan meja kerja Mas Agam. Kubereskan buku-buku yang berserakan. Dari mulai buku materi ajar samlai perangkat pembelajaran. Tiba-tiba, sebuah buku rekening tabungan bertuliskan bank daerah yang kutahu, itu buki rekening gaji, terjatuh dari dalam sebuah buku pelajaran Matematika. Entah terdorong rasa apa, aku membuka buku itu perlahan. Terlihat rentetan angka, nominal uang gaji yang setiap bulannya diterima suamiku. Seketika dadaku bergemuruh hebat. Sudut netra ini mulai memanas. Kuteliti satu per satu rentetan angka yang tertera setiap bulannya. Aku mulai tergugu lalu terjatuh lemas di atas lantai. Isakan tangis mulai keluar dari bibir. Sekali lagi kulihat transaksi uang yanh setiap bulan diterima dam diambil suamiku dari bank tersebut. Untuk memastikan apakah aku salah melihat atau tidak. Deretan angka dalam kisaran dua juta tujuh ratusan, atau bila ada lenih kurangnya, hanya selisih seratus tiap bulannya, sukses membuat d**a ini sesak. Seketika, luluh lantak sudah kepercayaan yang kuberikan padanya. Ia selalu mengatakan sisa gajinya hanya satu juta. Ternyata, delapan tahun menikah, aku telah dibohongi. Dipaksa berjuang sendiri demi terpenuhinya kebutuhan makan kami berempat. Dan dengan begitu, aku pun tahu, hanya separuh uang sertifikasi yang ia berikan padaku untuk ditabung. Mengapa ia begitu tega membohongiku? Membiarkanku sendiri, berjuang membanting tulang. Kemana larinya uang itu?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN