Dalamnya laut bisa diukur. Dalamnya hati, hanya orang tersebut yang tahu.
Delapan tahun menikah dengan Mas Agam, nyatanya tak membuatku mengerti sebesar apa rasa sayangnya terhadapku juga terhadap anak-anak. Kenyataan yang kulihat akhir-akhir ini membuatku tersadar, siapa dan posisi seperti apa yang kududuki pada hati lelaki itu.
Beberapa hari setelah kembali ke rumah orang tuanya—untuk alasan Aira—ia tak kunjung menengok keluarga kecilnya. Setiap malam, kupandangi kedua anakku yang terlelap. Semenjak ayahnya tak pulang, Dinta beralih tidur bersamaku. Sesak kurasa di d**a. Seringkali, tangis menemani malam-malamku. Rasa sedih, marah, terluka serta sepi bercampur menjadi satu.
Terlebih bila mengingat pertanyaan Danis yang sering ia lontarkan. Ayah lebih sayang Aira, ya, Bu? Aku bingung menjelaskannya. Bila kukatakan iya, apakah aku tidak sedang meracuni otak seorang anak kecil untuk membenci saudara sepupunya sendiri? Bila kukatakan tidak, itu sungguh kebohongan besar.
Dari cara ia mengkhawatirkan Aira malam itu, saat menggendong sepulang dari Guci, serta mainan-mainan mahal yang selalu ia belikan pada Aira, aku sudah yakin bahwa Aira lebih bertahta di hati suamiku. Bersimpuh di haribaan-Nya, hanya itu yang mampu kulakukan.
Di sepertiga malam, selalu kuadukan segala lara ini pada Sang Pemilik Jagad Raya. Berharap ada sebuah petunjuk, aku harus melakukan apa pada rumah tangga kami.
Penampilanku yang sekarang, jauh berbeda dengan dulu. Sebagai seorang yang berkecimpung pada dunia kecantikan, sudah sewajarnya aku begini. Namun, tetap pada lubuk hati yang terdalam, sungguh aku tidak bahagia. Bohong bila materi yang berlimpah dan kehidupan mewah bisa mengobati luka dalam sekejap, seperti membalikkan telapak tangan. Akan sembuh, mungkin. Hanya perlu waktu.
Namun, bagaimana bisa aku menyembuhkannya bila yang menorehkan luka akan selalu menyirami dengan air garam? Akankah seperti ini terus bila kita masih bersama? Lalu untuk apa aku bertahan pada sebuah posisi, di mana sebuah perumpamaan, ada api yang dikobarkan di sekitar tempatku tinggal?
Hanya petunjuk dari Sang Khalik yang mampu menuntunku pada jalan kebahagiaan.
Aku yakin, ada waktunya Allah memberi jawaban atas apa yang tengah kuhadapi saat ini. Mungkin ini adalah masa di mana aku harus sabar menjalani ujian hidup, sebagai penggugur dosa-dosa. Sampai suatu hari nanti, Ia akan mengangkatku dari posisi menyakitkan ini, melalui cara-Nya.
Bisnis berkembang cepat. Pundi-pundi rupiah masuk setiap hari ke dalam rekeningku. Aku masih ingat dengan janji mengajak Dinta serta Danis pergi piknik. Tiket kereta api sudah dibeli lewat sebuah aplikasi, hotel juga sudah dipesan. Kami akan pergi bertamasya ke Jogja minggu ini. Kuajak serta bapak dan ibu. Sedangkan Fani enggan ikut, memilih mengurus pesanan NS Glowing saja.
Tibalah saatnya kami berangkat dengan mengendarai mobil bapak ke stasiun. Kunci rumah kuberikan pada Fani, jaga-jaga bila Mas Agam pulang.
Anak-anak terlihat bahagia saat berada di atas kereta. Kebetulan, kursi banyak yang kosong. Mereka bersama bapak duduk terpisah, sementara aku bersama ibu. Netra wanita tua itu seringkali menatap sedih padaku. Aku tahu, ibu merasakan apa yang ada dalam hati ini.
“Ibu ikhlas bila kamu memilih melepaskan Agam, Nia. Perceraian memang dibenci Allah. Tapi, jika ikatan pernikahan hanya akan membawamu pada sebuah penderitaan, maka tidak ada jalan terbaik selain itu. Kecuali dari Agam sendiri ada itikad untuk berubah.” Sosok yang telah melahirkanku berkata seraya mengelus telapak tanganku.
Aku menanggapi hanya dengan tersenyum, lalu mengangguk.
“Aku kasihan sama anak-anak bila harus kehilangan ayah, Bu.” Setelah agak lama kami saling diam, akhirnya aku mengutarakan apa yang ada dalam pikiranku.
“Bukankah sekarang, mereka sudah kehilangan sosok ayah? Bahkan mungkin dari dulu-dulu. Hanya saja, kamu tidak tahu. Dan baru melihat kenyataan itu sekarang. Ibu tidak rela kalian disakiti seperti ini.” Ibu berkata sambil meneteskan air mata. Selepas itu, tergugu hebat.
Perjalanan yang seharusnya menyenangkan, kami lalui dengan air mata kesedihan. Niat hati pergi piknik untuk bersenang-senang, justru mengingatkanku pada sebuah kenyataan pahit. Aku tak pernah melakukan kegiatan semacam ini bersama suami, tetapi ia seringkali melakukannya bersama keluarga besarnya.
***
Tiga hari di Jogja, banyak tempat yang sudah kami kunjungi. Mulai dari Pantai Parangtritis—karena penginapan kami ada di sana—Keraton, Candi Prambanan di Klaten, Candi Borobudur di Magelang, Museum Dirgantara, hingga terakhir malioboro. Surganya wanita adalah berbelanja. Sejenak lupa pada masalah yang sedang dihadapi. Hingga saatnya kami pulang. Mengendarai taksi sampai stasiun.
Saat berada dalam kereta menuju perjalanan pulang, sebuah pesan masuk dari Fani.
[Mbak, tadi Mas Agam ke sini. Ambil kunci, terus pergi lagi. Aku gak tahu dia mau apa. Soalnya tadi kuncinya diantar ke sini lagi.]
Tak kubalas pesan dari Fani. Aku memilih menentramkan hati dengan lantunan zikir.
Iseng kubuka story teman-teman pada aplikasi hijau, hal rutin yang dilakukan saat merasa kesepian. Sudut mataku memanas, melihat sebuah foto pada story Mas Agam, ia menuliskan sebuah kalimat; Tidak akan pernah ada yang bisa menggantikan posisi keluarga dalam hatiku, siapapun itu. Karena kata mantan tidak akan pernah ada pada orang tua, serta saudara kandung. Rasa sayangku pada kalian takkan pernah ada yang bisa menggantikan. siapa pun itu. Lengkap dengan banyak emoticon hati banyak sekali.
Kuusap pelan air mata ini. Sakit, tapi aku harus kuat dan harus bisa menyembuhkan luka hati ini. Ibu tertidur dengan memangku kepala Danis yang juga terlelap. Bapak serta Dinta juga melakukan hal yang sama.
Kami pulang ke rumah ibu. Bila siang, aku dan anak-anak kini lebih sering di sini.
Pikiranku masih melayang pada Mas Agam. Curiga mengapa ia kemari setelah itu pergi lagi. Entah mengapa, kali ini perasaanku gelisah. Perasaan seakan berkata, bahwa kedatangan Mas Agam ada sesuatu yang tidak beres.
Aku segera beranjak pulang. Saat memasuki rumah, d**a ini berdebar hebat. Perasaan seorang istri memang begitu kuat. Ia seolah tahu meski tak melihat. Langkah kaki terayun menuju kamar tidur kami. Dorongan hati menyuruh tangan untuk segera membuka lemari. Kosong. Baju-baju Mas Agam sudah tidak ada satupun di tempatnya.
Aku terjatuh lemas. Tergugu hebat, sesalah itukah diri ini di matanya, hingga ia tega pergi meninggalkan kami?
Kuakui, aku begitu marah pada semua yang ia lakukan. Namun, melihat kini tak sehelai baju-pun ia tinggalkan, hati ini begitu sakit.
Delapan tahun bukan waktu yang sebentar kami lalui bersama. Mustahil bila rasa cinta seketika lenyap tanpa meninggalkan rasa sakit. Apakah ini jawaban dari Allah atas doa-doaku?
***
Malamnya, kuminta Dinta dan Danis tidur di rumah ibu. Aku ingin sendiri memikirkan langkah apa yang akan kuambil setelah ini. Selesai shalat, aku bersujud panjang. Dalam isak tangis aku meminta pada Allah. Bila ini hukuman atas dosa-dosaku, aku ikhlas. Namun, bila ini adalah suatu bentuk kezaliman yang sengaja mereka lakukan, berikanlah balasan yang setimpal atas perihku ini.