BAB 12. Rindu

917 Kata
Cekalan tangan Andra di lengannya terasa begitu kencang. Hingga Alana merasakan sakit di sana. Tetapi itu tak seberapa dibanding dengan rasa sakit yang hatinya derita saat ini. Alana tak bisa menyalahkan Andra atas kebencian yang dimiliki oleh lelaki itu padanya. Sebab pada dasarnya Andra memang tidak mengetahui apapun tentang semua yang terjadi di masa lalu mereka. Sosok Andra yang sekarang adalah hasil bentukan dari segala hasut kedua orang tuanya. Meski Alana berusaha mati-matian untuk menahan tangisnya di depan Andra, namun akhirnya air mata itu luruh juga dengan begitu lancangnya. Ya. Alana menangis. Tetapi Andra hanya mendengus melihat mata bulat Alana yang telah basah. "Huh! Jangan pura-pura menampilkan wajah terlukamu di hadapanku, Alana. Aku sudah bukan lagi Andra yang bisa kamu tipu. Saat ini aku bukannya mau menyakitimu. Tapi aku hanya mau memberimu sebuah penawaran yang sangat menguntungkan." Andra berkata dengan setengah berbisik pada Alana yang masih tertahan di bawah tubuh tegapnya. Alana menelan ludahnya kasar, saat ia mendapati sebuah seringaian kecil di bibir lelaki itu. "Puaskan aku malam ini, maka aku akan memberimu uang sebanyak harga dirimu!" lanjut Andra yang membuat napas Alana tercekat di tenggorokan. Netra Alana menatap nyalang pada Andra yang sungguh sudah berbeda. Sosoknya sudah tak Alana kenali lagi. "Kenapa? Kamu terkejut dengan penawaranku? Memangnya berapa hargamu dalam satu malam sebenarnya, Alana? Jangan khawatir. Aku pasti akan bisa membayarnya karena aku sudah memiliki banyak uang saat ini. Kamu hanya perlu memberiku servis yang memuaskan daripada saat kita masih menikah dulu. Aku ingin melihat, selihai apa kamu sekarang." PLAK! Kepala Andra terlempar ke samping saat Alana berusaha melepaskan cekalan lelaki itu lalu menamparnya dengan kuat. "Apa mulutmu tidak pernah diajari bagaimana caranya menghargai orang?!" sentak Alana menatap Andra dengan napas yang terengah-engah. "Aku memang orang miskin, Andra. Tapi seluruh hartamu saja tidak cukup untuk membeli harga diriku! Kamu harus camkan itu!" lanjut Alana sambil menangis. Sebelum akhirnya memutuskan untuk keluar dari ruangan Andra. BRAK! Alana menutup pintu dengan sedikit membantingnya. Ah, keliru! Alana benar-benar membanting pintu itu dengan keras. Ia tak pedulikan soal etika seorang bawahan pada boss-nya dalam situasi seperti ini. Yang Alana peduli, adalah ia harus menenangkan hatinya yang amat sakit akibat ucapan Andra. Seperginya Alana, Andra agak meringis memegangi sudut bibirnya yang lagi-lagi berdarah. Netranya nyalang menatap pada pintu yang telah menelan tubuh ramping Alana di baliknya. Rasa bersalah itu terbesit seketika. Menghancurkan seluruh emosi yang tadi meluap dalam pikirannya. "Apa aku sudah keterlaluan pada Alana dengan kata-kataku tadi?" desah Andra bertanya-tanya."Mengapa sekarang aku malah menyesali ucapanku?" Andra menolak kedua pinggangnya seraya menghembuskan napas pelan. Tapi beberapa saat kemudian, egonya sebagai seorang lelaki yang selalu merasa benar membuat Andra segera menggelengkan kepala dengan tegas. "Tidak! Kenapa aku harus merasa bersalah? Aku hanya berkata sesuai dengan kenyataannya. Toh, kalau lelaki yang tadi mengantar Alana itu bukan simpanannya, maka siapa dia?" pertanyaan itu terus mengusik pikiran Andra. Sementara itu.. Begitu mencapai meja kerjanya, Alana langsung menghempaskan pantatnya di kursi dan ia tertunduk menenggelamkan wajahnya dengan kedua tangan. Menyembunyikan tangisnya yang terlanjur tumpah ruah. Namun bahunya yang bergetar, menandakan bahwa wanita itu masih sibuk menangis. "Kamu jahat, Andra! Kamu sungguh jahat. Andai kamu tahu yang sebenarnya, bahwa dalang dari semua kebencianmu adalah orang tuamu. Aku yakin kamu pasti akan sangat menyesali ucapanmu barusan." Alana mendongkak, menyeka air matanya yang membasahi pipi. "Aku merindukanmu, Andra. Aku sangat merindukan Andra yang dulu. Kapan Tuhan akan membuka semua kenyataannya di hadapan kamu? Kapan Tuhan akan membuat kamu sadar, kalau aku tidak seperti yang kamu pikirkan? Meski sudah delapan tahun, tapi rasa dihatiku masih sangat besar untuk kamu, Ndra. Hatiku sangat sakit begitu mendengar ucapan itu meluncur dari bibir lelaki yang aku cintai.." Alana merapatkan bibirnya. Menahan isak tangisnya yang masih ingin keluar. Harapan di hatinya begitu besar. Alana sangat merindukan sosok Andra yang begitu lembut dan sangat menghormatinya. Tetapi yang tampak di hadapannya kini jauh berbeda. Yang ada di dalam ruangan itu seakan adalah jelmaan iblis yang masuk ke dalam tubuh malaikat yang rupawan. Andranya telah berubah. *** Siang ini, Alana makan di pantry kantor sembari melamun. Ia lebih banyak mengaduk-aduk makanan itu daripada memakannya. Perkataan Andra tadi pagi masih terus terngiang di telinganya. Hingga membuat napsu makan Alana menghilang begitu saja. Padahal perut kosongnya butuh diisi. Dan tanpa Alana sadari, di ujung ambang pintu, Andra tengah memerhatikan punggung Alana dengan tatapan yang tak terbaca. Rasa bersalah itu kembali tercetus di kepalanya. Membuat Andra menggeleng seraya menghembuskan napas pelan. "Ingat, Andra. Dia tidak perlu dikasihani. Dia tidak perlu diberi hati. Dan jangan pernah mengandalkan hatimu untuk menghadapi wanita itu. Bulshit-dengan yang namanya cinta. Kata cinta sudah tidak lagi ada dalam kamus hidupku setelah wanita bernama Alana menghancurkannya!" Andra berkata dengan tegas. Rahangnya yang merapat memperlihatkan betapa banyak emosi yang meluap di kepalanya. Setelah itu, Andra hanya berdecih lantas memutuskan untuk berlalu dari sana. Mencoba untuk tidak pernah peduli pada wanita yang sudah membuat luka yang menganga di hatinya. Alana yang tak berselera dengan makan siangnya, kini hanya bisa menarik napas panjang. "Hhh.. sebaiknya aku kembali saja ke meja kerjaku. Percuma saja aku di sini tapi aku tidak bisa mencerna makanan dengan baik. Lagipula sebentar lagi jam makan siang akan habis," putus Alana bangkit berdiri dari duduknya. Ia memilih meninggalkan makan siangnya yang belum tuntas. Kini Alana sudah berada di balik meja kerjanya. Ketika jam istirahatnya telah habis, tangannya kembali berjibaku dengan pekerjaan yang sudah menantinya. Namun, tiba-tiba saja seseorang datang dan menyentakkan tangan di atas mejanya dengan keras. BRAK! "Heh, perempuan murahan!" maki orang itu. Hal ini sontak membuat Alana terkejut, terlebih kala menemukan Nita-ibu kandung Andra--menatapnya sinis!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN