Alana tersenyum miris.
Laki-laki itu ternyata sudah kembali menjatuhkan hati pada wanita lain dan melupakan pernikahan mereka.
Dengan berusaha tetap tenang, Alana berbalik dan melangkah menuju tempat dimana Andra masih memangku wanita itu dengan mesra.
Maka dengan cepat Alana memilih keluar dari ruangan itu. Sedikit berlari, lantas menutup pintunya dengan segera.
BRAK!
Kini Alana mempercepat larinya. Ia tak bisa lagi menahan tangis. Alana butuh ruangan yang senyap untuk menumpahkan isakannya.
Kakinya yang ramping berhenti di sebuah kamar kecil khusus karyawan. Alana mematut dirinya pada sebuah cermin besar yang memantulkan bayanganya sendiri.
"Ya Tuhan! Rasanya hatiku sakit melihat Andra b******u dengan wanita lain. Aku tahu dia sudah bukan suamiku. Tapi rasa cinta di hatiku masih tetap sama. Aku masih mencintainya sebesar dulu." Alana mendesah sambil menangis di depan cermin.
Air mata sudah meluruh membasahi kedua belah pipinya yang seputih pualam.
Hari ini, Andra betul-betul telah membelah hati Alana dan meremukannya hingga tak berupa.
"Kamu bahkan sudah memiliki calon tunangan, Ndra. Kamu sudah bisa jatuh cinta pada wanita lain. Sedangkan aku? Sampai detik ini, aku masih disiksa oleh rasa rinduku. Aku pun berkali-kali menolak Danu, karena aku masih belum bisa melupakan kamu. Aku masih sangat mencintai kamu."
Alana menunduk, mengencangkan tangisnya. Tak akan ada seorang pun yang mendengar dan melihat keadaannya saat ini.
Sebab kamar kecil di lantai ini selalu sepi. Jadi Alana bebas meski ia menangis sepuas hatinya.
Sementara itu, di ruang kerjanya, Andra menatap Sherly dengan dingin.
“Turun dari pangkuanku, Sherly! Aku harus bekerja,” kata Andra setelah Alana keluar dari ruangannya.
Sebenarnya, Andra memang sengaja merencanakan semua ini. Andra ingin agar Alana merasa cemburu dan sakit hati.
Menurut Andra, Alana juga harus merasakan kepedihan yang menyiksanya selama delapan tahun terakhir.
Bukankah Andra juga merasakan sakit yang sama ketika Alana pergi meninggalkannya?
Tapi entah mengapa Andra tak merasa puas sama sekali dengan apa yang baru saja ia lakukan pada Alana.
Kemudian jemari halus yang lentik, terasa mengelus dadanya dari balik kemeja dengan gerakan seringan bulu. Andra langsung menangkap tangan nakal itu sebelum bergerak turun hendak mencapai kejantanannya.
“Hentikan, Sherly! Bukankah sudah ku bilang, turun dari pangkuanku!” sentak Andra kesal. Sedikit mendorong tubuh Sherly agar tangan wanita itu tak lagi bisa menggerayanginya.
“Kenapa, Andra? Tadi kamu terlihat menikmatinya. Sekarang sikapmu kembali ketus lagi padaku?” tanya Sherly.
Tapi Andra hanya terdiam kaku di balik meja kerjanya.
“Oh, aku tahu. Kamu sengaja ingin menunjukan kemesraan kita di depan wanita itu, ‘kan? Kamu mau mantan istrimu itu cemburu?!”
Manik mata Andra melebar.
“Dari mana kamu tahu kalau dia adalah mantan istriku?”
Sherly mengedikkan bahunya sembari tersenyum miring.
“Orang bodoh pun pasti akan tahu, Ndra. Nama mantan istri kamu itu adalah Alana. Dan tadi, kamu juga membentak sekretaris kamu sambil menyebut nama itu. Sekretaris kamu hampir menangis melihat kita saling b******u. Semua itu saja sudah cukup untuk membuktikan siapa wanita itu bagimu.”
“Ck. Pulanglah, Sherly! Dan berhenti membicarakan dia di dekatku!”
“Kenapa, Andra? Kenapa kamu tidak mau aku membicarakan Alana? Jangan bilang kalau kamu masih mencintai wanita itu?!” sentak Sherly bertanya. Membuat gerakan jemari Andra di atas keyboard, terhenti sejenak.
Andra menarik napasnya pelan, sebelum kemudian berkata dengan tegas.
“Tidak! Aku sudah tidak lagi mencintainya. Dia sudah bukan siapa-siapa bagiku. Dia hanya seorang sekretaris di kantor ini. Hanya itu.”
Bibir Sherly melengkungkan senyum lebar. Hatinya lega karena ternyata Andra memang sudah tidak memiliki perasaan cinta pada Alana.
Sherly tidak mau kehilangan Andra.
Benar apa yang tadi Andra katakan pada Alana. Bahwa Sherly adalah calon tunangannya.
Ya. Andra sudah menerima perjodohan yang dicetuskan oleh kedua orang tuanya. Andra memutuskan menerima Sherly setelah empat tahun Alana pergi meninggalkannya.
Namun, hingga sekarang, Andra masih mengulur-ngulur waktu untuk menikah. Tuntutan dari Darma dan Nita seringkali membuat telinganya berdengung. Sherly juga kerap mendesaknya dengan pertanyaan.
“Baguslah. Aku senang kalau kamu sudah tidak mencintainya,” kata Sherly sembari kembali mengenakan pakaiannya. “Itu artinya, kamu hanya akan menjadi milikku saja.”
Andra menghembuskan napas kasar. Merasakan tangan Sherly memeluknya dari belakang.
“Bisakah kamu pergi tinggalkan aku sendiri, Sherly? Apa kamu tidak tahu kalau aku sangat sibuk?”
“Aku akan pergi. Tapi katakan dulu, kapan kamu akan menikahiku?” lagi, Sherly selalu menanyakan ini padanya. Dan itu membuat Andra mendengus bosan.
Sejujurnya ia tak sedikitpun berniat menikah dengan wanita berbaju kurang bahan ini. Saat itu Andra benar-benar didesak oleh keadaan, hingga akhirnya ia tak bisa menolak permintaan kedua orang tuanya untuk dijodohkan dengan Sherly.
“Bukannya sudah aku bilang kalau kita akan bertunangan dulu,” sahut Andra kesal.
“Setelah empat tahun, kita hanya akan bertunangan. Tapi kamu masih saja diam saat aku bertanya tentang pernikahan? Sampai kapan aku harus menunggumu?”
Menyentak bolpointnya di atas meja, Andra memutar kepalanya menatap pada Sherly yang memberengut.
“Lagipula siapa yang menyuruhmu menungguku? Kamu sendiri tahu jika hubungan kita terjalin atas dasar perjodohan bisnis. Berkali-kali aku sudah mengatakan kalau aku tidak mencintaimu. Kalau kamu memang kesal menungguku, maka pergilah dan cari saja laki-laki lain!” jelas Andra dengan intonasi yang terdengar begitu tegas.
“Apa? Tidak mau. Aku hanya mencintai kamu. Aku tidak mau menikah dengan laki-laki lain,” ucap Sherly melunak. ”Baiklah. Aku akan lebih sabar, sekarang. Aku tidak masalah jika kita memang harus bertunangan dulu. Tapi jangan pernah menyuruhku pergi darimu ya, sayang. Aku tidak akan mau melakukannya.”
Jemari lentik Sherly yang hinggap di pipinya, membuat Andra memalingkan wajah. Sebenarnya Andra muak melihat Sherly. Kalau bukan untuk membuat Alana cemburu, Andra pasti sudah mengusir Sherly dari ruangannya.
Andra tak peduli jika ayah dari wanita itu adalah salah satu rekan bisnis Darma.
“Keluar dari ruanganku!”
Kalimat itu dingin itu meluncur dari bibir Andra. Jemari tangannya yang keras, kini sudah kembali menari di atas keyboard.
“Ok, honey. Aku pulang dulu, ya. Jaga hatimu baik-baik. Kita akan bertemu lagi besok. Muach.”
Andra mengusap bekas ciuman Sherly yang mendarat di pipinya. Tentu saja Andra melakukan itu setelah Sherly menutup pintu ruang kerjanya rapat-rapat.
Meski tak kunjung menikahi Sherly, tapi Andra menolak mengakui rasa cintanya pada Alana yang masih membekas hingga saat ini.
“Tujuanku adalah membuat Alana hancur! Aku tidak akan jatuh cinta padanya. Tidak akan pernah!” tekad Andra.