BAB 14. Ditabrak dengan Sengaja

1103 Kata
Hari ini Alana mengantar Rehan ke sekolah dengan menggunakan angkutan umum. Winarti sedang merasa kurang enak badan. Jadi Alana menyempatkan waktu untuk mengantar anaknya sebelum ia berangkat ke kantor. “Nah, Rehan. Sekarang kita sudah sampai. Kamu belajar yang rajin ya. Jadi anak yang baik sama guru dan teman-teman di sekolah,” Alana berpesan sembari berjongkok di depan Rehan. Sementara kedua tangannya hinggap di pundak bocah lelaki itu. “Iya, Ma. Rehan janji tidak akan nakal di sekolah. Rehan juga akan belajar yang rajin biar selalu dapat nilai seratus. Terus nanti Mama bangga deh sama Rehan!” sahut Rehan dengan penuh semangat. Membuat Alana mengangguk dan terkekeh pelan. Kini Alana bangkit berdiri sembari mengusap lembut puncak kepala anaknya itu. “Ya sudah. Kamu cepat masuk sana! Mama juga akan berangkat ke kantor.” Rehan mengangguk dan mencium punggung tangan Alana segera. “Mama hati-hati ya. Mama jangan terlalu capek kerjanya. Dah, Mama!” kata Rehan melambai pada Alana. Lalu sejurus kemudian, bocah lelaki itu berlari kecil masuk melewati gerbang sekolah. Seulas senyum tipis terukir di bibir Alana. Alana mendesah pelan saat menyadari betapa Rehan telah bertumbuh begitu cepat. “Mama masih tidak menyangka, kalau kamu sudah sebesar ini Rehan. Bayi mungil Mama sekarang sudah menjadi anak laki-laki yang sangat tampan.” Alana tersenyum menggeleng-gelengkan kepalanya seraya menatap lurus ke depan. Dimana punggung Rehan sudah menghilang. Melirik kearah jam tangan murah yang melingkari pergelangan tangannya, Alana sedikit memekik saat mendapati sekarang sudah nyaris pukul tujuh. “Aku harus segera mencari angkutan umum yang mengarah ke kantor. Jika tidak, mungkin aku akan terlambat dan Andra pasti akan marah besar,” ucap Alana yang kemudian membalikan tubuhnya hendak pergi meninggalkan gerbang sekolah Rehan. Akan tetapi, sebuah mobil mewah berwarna merah tiba-tiba saja melaju kencang dan menyerempetnya dengan sengaja. “Aaakhh!” Hingga Alana terjatuh di aspal dengan cukup kuat. Mobil merah itu sempat berhenti sejenak, kemudian kembali melaju kencang meninggalkan Alana yang merintih memegangi kedua siku dan lututnya yang terluka. “Aww.. Ssshh.. sakit sekali,” ringis Alana. Keadaan depan gerbang sekolah yang masih sepi membuat tak ada satu orang pun yang melihat kejadian itu. Alana melihat lututnya yang terluka dan mengeluarkan darah meski tak cukup banyak. “Siapa orang yang mengemudikan mobil tadi? Kenapa dia seperti sengaja ingin menabrakku? Sekarang aku harus berangkat ke kantor dengan kaki yang terluka begini. Semoga saja aku bisa segera sampai di kantor tanpa terlambat.” Alana berkeras bangkit dari aspal. Ia sedikit menepuk-nepuk roknya yang kotor. Lalu kakinya kembali berjalan dengan tertatih menahan rasa sakit yang mendera di kedua lututnya. Tubuhnya terasa remuk, tapi Alana tidak bisa cuti begitu saja hari ini. Andra pasti akan marah tanpa mau tahu apapun alasannya. *** “Tia! Apa Alana sudah datang?” tanya Andra pada seseorang yang sedang ia telpon. Tia adalah seorang resepsionis di kantornya. Andra menelpon Tia karena sejak tadi ia tidak melihat batang hidung Alana. Berani-beraninya Alana datang terlambat ke kantor. Hal itu membuat Andra geram. ‘Belum, Pak Andra. Alana masih belum datang.’ “Kalau dia datang, suruh dia langsung menghadap ke ruanganku segera!” TUT! Andra langsung menutup sambungan telponnya setelah mendengar jawaban dari Tia. Napas Andra menderu penuh emosi yang meluap di kepalanya. Dengan kesal, Andra menyentak telpon yang ia genggam keras-keras di atas mejanya. “Dia sudah terlambat nyaris tiga puluh menit? Dia mau mengorupsi waktunya? Pekerjaanku sangat menumpuk dan dia seenaknya datang sesuka hati!” Andra berdecak kesal. Membuat Sherly yang sedang duduk di sofa ruangan Andra, langsung menyunggingkan senyum miring. ‘Tentu saja dia terlambat. Atau mungkin Alana justru tidak akan datang ke kantor. Karena aku sudah menabraknya. Uh, Alana yang malang. Sudah sakit karena tertabrak mobil, sekarang harus mendapat kemarahan besar dari Andra! Tapi w************n seperti kamu memang pantas mendapatkannya, Alana!’ batin Sherly dengan sinis. Ya. Orang yang mengemudikan mobil berwarna merah tadi adalah Sherly. Awalnya Sherly tak sengaja melihat Alana yang berdiri mematung di depan gerbang sekolah SD. Tapi dari sana, timbul niat jahatnya untuk menabrak Alana. Sayangnya, sepertinya tadi Alana hanya mengalami luka lecet saja. Tapi tidak apa. Itu baru permulaan bagi Sherly. “Andra! ‘Kan aku sudah bilang sama kamu. Pecat saja dia! Wanita seperti dia tidak akan pernah tahu aturan. Lihat sekarang, sudah jam berapa ini tapi Alana belum juga datang. Padahal kamu ada jadwal meeting mingguan pagi ini, ‘kan?” Sherly bangkit dari duduknya. Mencoba mengompori Andra agar kemarahan lelaki itu semakin membuncah pada Alana. “Dia itu tidak becus bekerja sebagai sekretaris kamu, Ndra. Kenapa kamu masih mau mempertahankan bawahan seperti dia? Kalau aku jadi kamu, aku pasti sudah menendang Alana dari perusahaan ini. Sudah dulu menyakiti hati kamu dengan pergi bersama laki-laki lain. Sekarang membuat kamu marah dengan terlambat datang ke kantor. Maunya apa sih wanita itu?!” lanjut Sherly. Tapi Andra hanya terdiam. Andra sama sekali tidak mendengarkan ucapan Sherly. Saat ini ia memang sedang marah dan kesal pada Alana. Tapi sejujurnya kemarahan Andra bukanlah karena wanita itu terlambat datang ke kantornya. Melainkan apa yang menyebabkan Alana belum datang sampai sekarang? Apakah wanita itu terlalu lelah menghabiskan malam bersama dengan para p****************g, hingga lupa waktunya untuk bekerja? ‘Ck! Untuk apa kamu memikirkan tentang malam-malam yang dihabiskan Alana, Andra? Terserah wanita itu mau menghangatkan ranjang pria manapun. Sekali murahan, dia tetap murahan!’ batin Andra berdecak. Hingga tak berapa lama, suara ketukan pintu terdengar di telinganya. Membuat riak wajah Andra berubah tegas. “Masuk!” kata Andra yang sudah tahu siapa yang datang. Ya. Sudah pasti Alana. KLEK! Pintu dibuka dengan perlahan. Dan wajah Alana yang tertunduk penuh rasa bersalah lah yang menjadi pemandangan utama yang Andra lihat. “Maaf, Pak Andra. Aku sudah datang agak terlambat hari ini.” Alana berkata saat ia sudah menutup pintu dan berdiri di hadapan Andra juga Sherly. “Agak? Kamu bilang agak terlambat, Alana?” ulang Andra memicingkan matanya. Alana berjengit mendengar nada suara Andra yang penuh amarah. Sementara Sherly hanya menyaksikan dengan senyum senang. Ia menatap Alana sembari melipat kedua tangan di dadanya. ‘Rasain kamu Alana! Enak ‘kan dimarahi oleh Andra?!’ batin Sherly menyeringai. “Apa kamu tidak ingat kalau hari ini aku ada jadwal meeting mingguan? Pekerjaanku menumpuk dan kamu baru datang setelah setengah jam lalu jam kerjamu di mulai. Lalu dengan entengnya kamu bilang a-g-a-k terlambat? Hah?” hardik Andra menusuk Alana dengan pandangannya yang setajam mata elang. Alana menelan ludah. Kedua kakinya terasa sakit saat harus berdiri berlama-lama seperti ini. Tetapi hati Alana jauh lebih sakit mendapatkan kemarahan besar dari Andra. “Aku minta maaf, Pak. Tadi aku—“ “Aku tidak ingin mendengar alasan apapun yang keluar dari mulutmu, Alana!” tekan Andra dengan tegas.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN