BAB 3. Bertemu Kembali

1486 Kata
Di sebuah rumah kontrakan yang ada di kota Yogyakarta, tepatnya di sebuah kamar dengan single bed yang terletak di sudut ruangan, Alana terlihat mulai mengerjap saat sinar matahari mengusik tidurnya. Perlahan ia membuka kelopak matanya yang terasa berat. Ia masih mengantuk. Bantal dan selimut yang hangat membuatnya merasa nyaman. Namun Alana terkejut, saat seorang anak kecil tiba-tiba mengagetkannya dengan muncul dari samping tempat tidur. “Duarr!!” “Argh ….” Alana menjerit begitu kaget. “Rehan!” pekik Alana melotot saat tahu jika yang mengejutkannya adalah Rehan–anak laki-lakinya yang sudah berusia tujuh tahun. Rehan tampak tertawa melihat wajah bantal Alana yang melotot padanya. “Selamat pagi, Mama!” Kemarahan itu hanya sesaat, Alana pun luluh juga. Ia tersenyum melihat Rehan melompat ke tempat tidur, lalu memeluknya hangat. “Selamat pagi,” sahut Alana. “Tumben. Kamu sudah mandi pagi-pagi sekali. Rambutnya juga sudah rapi. Nenek yang nyisirin, ya?” tanya Alana. Rehan yang duduk di pangkuannya menggeleng. “Bukan, Ma. Nenek lagi pergi ke pasar.” “Lalu siapa? Mama tidak percaya kalau kamu bisa menyisir serapi ini sendirian.” Alana memainkan rambut Rehan membuat anak itu protes dengan kesal. “Ih, Mama. Jangan diberantakin. Rehan ‘kan sudah ganteng. Kasihan Ayah nanti harus bantu sisirin rambutku lagi.” Kening Alana berkerut bingung saat mendengar Rehan menyebut kata ayah. Namun, kebingungan Alana terjawab sudah, saat seorang lelaki berparas tampan dengan perawakan jangkung dan tegap, kini berdiri menjulang di ambang pintu kamar Alana. “Good morning Mama Alana yang masih bau iler,” sapa lelaki itu sambil terkekeh memasukan kedua tangannya ke dalam saku celana. Alana terhenyak. “Danu!” pekiknya kaget. Lalu, dengan cepat Alana mengusap kedua sudut bibirnya. Memeriksa apakah yang Danu katakan tadi benar kalau ada iler di wajah Alana. Melihat apa yang dilakukan Alana, Danu dan Rehan malah tertawa. Mereka menertawakan tingkah Alana yang polos dan mau saja dibohongi. “Mama lucu. Ayah ‘kan bohong, tapi Mama malah percaya. Aduh, Mama, Mama ….” Rehan menepuk keningnya seraya menggelengkan kepala. Sementara Alana terlihat bete sambil memajukan bibirnya. “Kamu masih belum mandi, Alana. Apa kamu tidak malu sama Rehan? Dia sudah wangi, tapi mama-nya masih bau kecut. Ayo cepat mandi! Hari ini ‘kan kita mau pergi ke restoran yang baru buka itu. Kamu lupa, ya?” kata Danu. Sedikit terkejut, Alana merutuki dirinya yang pelupa. Pantas saja Danu datang ke rumah dan Rehan sudah rapi pagi-pagi sekali. Hari ini mereka memang sudah punya rencana akan pergi ke restoran baru yang sedang viral di Yogya. Tentu saja semua itu atas keinginan Rehan dan Danu adalah orang pertama yang paling tidak bisa menolak permintaannya. Lagi pula, hari ini adalah hari terakhirnya tinggal di kota itu. Ya, besok Alana akan mencari peruntungan di Jakarta. Temannya yang ada di sana memberi tahu jika ada sebuah perusahaan besar tengah mencari seorang sekretaris dan lamaran yang sudah ia kirim mendapat jawaban bahwa wanita itu harus datang langsung ke sana untuk interview. Meskipun Danu sempat melarang dan mengatakan jika pria itu masih bisa menanggung biaya kehidupan Alana dan Rehan. Namun, Alana tetap bersikekeh untuk pergi. Ia ingin memberikan kehidupan yang lebih baik untuk Rehan dan tidak bisa terus menerus bergantung pada Danu–lelaki yang sampai saat ini hanya dianggapnya sebatas sahabat. *** Tanpa terasa, hari ini Alana, Rehan dan Winarti–ibu Alana telah sampai di Jakarta. Seorang teman Alana yang tinggal di Jakarta, membantu mencari rumah sewa untuk mereka tinggali. “Al, sorry, ya. Cuma ada rumah ini yang bisa aku sewakan buat kamu sama keluarga kamu. Ini sudah harga yang paling murah, tapi enggak terlalu jauh ke kantor kamu.” Virny berkata sambil membukakan pintu rumah untuk Alana. Alana dan keluarganya melangkah masuk. Dan melihat sekeliling ruangan yang ada di rumah itu. “Tidak apa-apa, Vir. Rumah ini sudah cukup untuk kami. Terimakasih sudah membantuku mencari rumah sewa. Maaf sudah banyak merepotkanmu,” ujar Alana dengan raut tidak enak. Sementara Rehan sudah diajak oleh Winarti untuk masuk ke dalam kamar. Membereskan baju-baju mereka ke dalam lemari kecil yang ada di kamar itu. “Kamu ini seperti bicara dengan siapa saja. Aku ini ‘kan temanmu. Sudah pasti akan membantu saat kamu perlu bantuan. Oh iya, besok datang ke kantornya jam sembilan pagi, ya. Interviewnya mungkin akan dilakukan antara jam sebelas atau duabelas. Kamu sudah bawa surat lamaran yang lengkap, ’kan?” Alana mengangguk pasti. “Sudah.” “Bagus. Jadi, siapkan dirimu untuk besok pagi. Aku doakan semoga kamu yang terpilih jadi sekretaris di sana. Biar kita bisa satu tempat kerja. Dan ... oh iya, aku lupa bilang sesuatu yang penting kalau bos di perusahaan itu ganteng loh. Kalau kamu ketemu jangan pernah berani natap matanya, ya! Nanti bisa bikin sport jantung. Alias jatuh cinta.” Virny mengerlingkan matanya. Membuat Alana mencubit pinggangnya lalu mereka terkekeh berdua. Virny memang segila itu. Dia adalah teman yang sangat baik pada Alana. Sekarang Virny sudah bekerja sebagai staf karyawan keuangan di sebuah perusahaan yang besok Alana akan datangi untuk interview. *** Hari yang dinanti pun tiba. Jujur, Alana merasa minder saat ia mendapati begitu banyak pelamar yang datang di perusahaan itu. Jika dilihat dari penampilannya, mereka tampak berkelas dan berpendidikan. "Alana Sripuji Rahmita!" Alana sontak mengangkat kepala saat mendengar namanya dipanggil. Alana pun segera masuk ke ruang HRD sembari berdoa dalam hati. "Namamu Alana?" tanya Resti–HRD di perusahaan itu. "Iya, namaku Alana." Resti manggut-manggut sambil melihat-lihat surat lamaran milik Alana sebentar. Alana menahan napas sambil memilin jemari. Ia berharap agar dirinya diterima. Tak lama, Resti menaikan pandangannya dan menatap Alana kembali. Namun, kali ini dengan senyum di bibirnya. "Selamat, Alana! Kamu yang terpilih untuk menjadi sekretaris di perusahaan ini!" Alana nampak terkejut dan hampir tak percaya dengan apa yang didengarnya. "Benarkah? Se-semudah itu? Maaf, tapi maksudku, aku tidak menyangka Anda langsung memutuskan menerimaku sementara di luar sana banyak sekali yang masih menunggu antrian untuk interview," ucap Alana dengan wajah bingung. Namun, ia tak memungkiri jika hatinya saat ini sedang melambung tinggi karena begitu bahagia. Resti tetap melengkungkan senyum pada Alana, lalu mengangguk. "Memang benar. Di luar sana masih banyak yang menunggu untuk di interview, tapi setelah melihat surat lamaran kamu. Saya rasa kamu adalah orang yang cocok dan sesuai dengan kriteria perusahaan ini. Sekarang terserah kamu saja, Alana. Kesempatan sudah ada di depan mata. Kamu sudah kami terima, jika kamu setuju, sekarang juga kamu sudah bisa tandatangani kontrak kerja dan besok adalah hari pertama kamu bekerja di kantor." Resti menjelaskan. Tentu saja Alana tak mungkin menyia-nyiakan kesempatan emas di depan matanya. Kedatangannya ke Jakarta adalah untuk mengadu nasib dan saat Alana bertemu keberuntungan, tidak mungkin Alana menolaknya, bukan? "Aku bersedia bekerja besok dan aku siap menandatangani kontrak kerjaku hari ini." Alana langsung menyahut sebelum Resti berubah pikiran. Resti mengangguk dan memberikan sebuah berkas pada Alana yang mana isinya adalah surat perjanjian kontrak kerja. Saking terlampau senangnya, Alana sampai lupa jika ia tak membaca lebih teliti dengan isi dari kontrak itu. Dia pun membubuhkan tanda tangannya tanpa rasa curiga. Setelah itu, Resti kembali mengajak Alana untuk pergi ke lantai 20 di mana ruangan bos-nya berada. "Alana! Ini adalah meja kerja kamu, tepat di depan ruang kerja CEO perusahaan kita," kata Resti menunjuk sebuah meja dan kursi yang ada di dekat Alana. Melihat tempat kerjanya, Alana pun tersenyum. Ia merasa senang karena jika dilihat, tempat itu sangatlah nyaman. Setelah menunjukkan tempat kerja Alana, Resti terlihat mengetuk pintu ruang CEO untuk memperkenalkan sekretaris baru sang bos. "Masuk!" Alana terhenyak mendengar suara baritone yang seperti tak asing di telinganya. Namun, tangan Resti yang menariknya masuk, membuat pemikiran Alana buyar seketika. "Maaf, Tuan. Saya datang ke sini ingin memperkenalkan sekretaris baru yang akan mulai bekerja besok seperti yang Bapak perintahkan." Alana melihat sosok lelaki yang saat ini sedang duduk membelakanginya. Alana tak bisa melihat wajah sang bos dengan jelas. "Kerja yang bagus, Resti. Sekarang kamu boleh pergi dan tinggalkan kami berdua saja!" kata lelaki itu masih tetap membelakangi, tetapi tangan kanannya mengibas ke udara. Seolah menyuruh Resti segera meninggalkan ruangannya. "Baik, Tuan." Resti mengangguk patuh dan meletakan berkas kontrak kerja milik Alana di atas meja bossnya. Dia lalu pergi, meninggalkan Alana dengan sang bos yang wajahnya belum terlihat. "Siapa nama kamu?" tanya lelaki itu. Alana kembali terhenyak. Entah kenapa, suara itu sungguh tidak asing di telinganya. "Alana, Tuan. Namaku Alana Sri--" "Sripuji Rahmita," potong sang bos, membuat kening Alana mengerut heran. Bagaimana bos-nya itu bisa tahu nama lengkapnya? Padahal, Alana dan Resti sama sekali tidak mengatakan nama lengkapnya. Apa mungkin lelaki itu sudah melihat data semua pelamar yang akan interview hari ini? "Benar, itu nama lengkapku." "Kalau begitu, bolehkah aku bertanya sesuatu sama kamu, Alana?" Lelaki itu bertanya lagi tanpa membalikkan tubuhnya. Masih tetap membelakangi Alana. "Bertanya tentang apa, Tuan?" "Apakah kamu masih mengenalku?" Akhirnya, lelaki itu memutar kursinya. Menatap wajah Alana yang tampak sangat terkejut melihatnya. "Andra!" pekiknya tak percaya. Ternyata, lelaki yang sedari tadi membelakanginya adalah Andra. Mantan suami yang akan menjadi bos di tempatnya bekerja.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN