Bekal

2167 Kata
"Hah? Om Lucky sayang sama aku?" Kedua alis Mika nyaris bertaut dengan tatapan aneh dia berikan pada lelaki yang juga menatapnya dengan tatapan aneh, seolah kembali memikirkan sesuatu sebagai jawaban yang bisa menyelamatkan dirinya dari situasi tidak mengenakan ini. "Mendiang Papi Priyo adalah seseorang yang begitu baik, begitu berjasa dalam hidup Om dan kedua kakaknya Om, jadi seluruh keluarga Papi Priyo adalah orang-orang yang sudah seharusnya Om Lucky sayangi, Mika," jawab Lucky serius, Mika hanya diam menatapnya. Gadis itu juga tahu bagaimana kedekatan keluarga Lucky dengan keluarganya, bahkan saat ia belum mengerti dirinya menyangkan jika Lucky adalah saudara kandungnya. "Iya, Mika ngerti, itu alasannya kenapa Om Lucky care banget sama Mika. Terima kasih, ya, Om." Lucky tersenyum kecil, lelaki itu menatap Mika yang malah menjadi salah tingkah. "Em ... Mika ke kamar dulu, ya, Om. Udah ngantuk," pamit Mika sambil membereskan buku-bukunya. "Ya udah, Om juga mau tidur," jawab Lucky, lelaki itu malah lebih dulu bangun dari duduknya dan berjalan ke kamarnya meninggalkan Mika yang sedang membereskan bukunya, hanya tiga buah buku tetapi membutuhkan banyak waktu untuk membereskannya. Apalagi sekarang ditambah Mika yang melamun menatap punggung tegap Lucky yang berjalan menjauhinya. "Apa?" tanya Lucky yang saat membalik tubuhnya untuk menutup pintu kamarnya menyadari Mika sedang menatapnya dengan lekat, kini posisi tubuh lelaki itu sudah di dalam kamar sambil dengan tangan kiri memegang gagang pintu yang siap ia tutup rapat. "Om Lucky suka sama pulpen Mika?" tanya Mika sambil melipat tangan di depan tubuhnya memeluk buku-bukunya, gadis itu lalu bangun dan bersiap berjalan ke kamarnya. "Maksudnya?" tanya Lucky tidak mengerti. "Itu pulpen Mika masih Om Lucky pegang," jawab Mika sambil menahan tawa, Lucky yang benar benar tidak menyadarinya melihat tangan kanannya, benar saja pulpen berwarna ungu muda itu masih ia pegang. "Oh, iya. Kok, Om bisa lupa, ya," gumam Lucky seraya bersiap keluar kembali dari kamar untuk mengembalikan pulpen itu. "Enggak, usah. Pulpen itu buat Om Lucky aja. Bawa ke kantor, ya, biar Om Lucky inget Mika terus walau lagi kerja," jawab Mika sambil tertawa kecil lalu berlalu menuju kamarnya meninggalkan Lucky yang sedang menggelengkan kepala lalu menutup pintu kamarnya. Lucky kembali duduk di tepi ranjang, menatap laptop yang sudah ditutupnya. Benda itu masih tergeletak di atas ranjang, lalu menatap pulpen di tangannya, pulpen dengan warna yang begitu manis dan saat ia memutar batangnya ia mendapati sebuah nama terukir di sana, nama sang pemilik terukir indah dengan huruf-huruf berwarna keemasan. Mika. "Mika ... Mika. Om jadi inget masa-masa sekolah dulu kalau lihat kamu," gumam Lucky lirih seraya menaruh pulpen itu di atas nakas lalu membaringkan tubuhnya di ranjang. Tidur. Sedangkan Mika, di dalam kamarnya gadis itu sibuk dengan beberapa gerakan. "Begini, keliatan," gumam Mika sambil membungkukkan badannya. "Sedikit," sahutnya. "Kalo gini keliatan?" Mika kembali menegakkan tubuhnya. "Enggak." Dia menjawab pertanyaannya sendiri. "Cuma kelihatan dikit! Om Lucky perhatian banget, ya," ujarnya lagi, gadis itu lalu menangkupkan kedua tangan di pipinya. Lalu bibir mungilnya terbuka seperti orang yang begitu terkejut. "Gila Om Lucky perhatian banget. ngelindungin banget. So sweet ...." Gadis itu menghempaskan tubuh dengan cepat ke atas kasur empuknya, lalu menutup kepalanya dengan bantal tidak ingin terus memikirkan Lucky, yang saat ini sudah terlelap tanpa sedikit pun memikirkannya. * Dita Andriyani * "Om, Lucky ...." "Om, Lucky ...." Masih pagi, dan suara itu sudah menggema di depan kamar Lucky yang baru saja selesai mandi, sambil mengancing lengan kemejanya Lucky melangkah lalu membuka pintu kamarnya tidak ingin suara Mika semakin kencang terdengar. Bahkan ketukan tangannya pada daun pintu bisa merobohkan pintu bercat putih bersih itu jika terus Lucky biarkan. "Apa?" tanya Lucky datar ia bahkan tidak menatap gadis yang berdiri di depan pintu kamarnya karena sedang sibuk dengan kancing lengan kemejanya, yang ditanya malah diam seolah terkesima melihat Lucky yang terlihat begitu tampan dengan rambut yang agak basah dan acak-acakan. "Mika?" Sang pemilik nama sedikit terkejut dan malu karena ketahuan menatap Lucky dengan begitu lekat. "Ayo sarapan, Om," ajak Mika agak salah tingkah. "Iya, ayo," jawab Lucky karena tidak ingin Mika menunggu. . Keduanya duduk berdampingan di meja makan yang berada di samping dapur bersih, sebuah meja makan kayu yang hanya memiliki empat buah kursi. Karena hanya selalu makan berdua maka mereka meminta asisten rumah tangga untuk menyiapkan makanan di sana bukan di ruang makan yang begitu luas, tempat itu hanya di saat keluarga besar mereka berkumpul saja. Mika dan Lucky tidak banyak berbicara pagi ini, entah mengapa tetapi Lucky merasa jika Mika agak pendiam lagi ini. Mungkin ia masih agak malu atau risih akibat kejadian semalam. "Om, aku udah bikinin ini buat Om Lucky. Dibawa, ya," ujar Mika sambil memberikan sebuah kotak bekal berwarna hijau pada Lucky, lelaki itu menatap Mika sambil mengerutkan keningnya. "Bekal?" tanya Lucky, Mika yang sudah selesai sarapan mengangguk. "Anggep aja itu sebagai ucapan terima kasih aku karena Om Lucky udah ajarin aku matematika semalam," jawab Mika, Lucky hanya tersenyum sambil mengangguk paham, ia tatap kotak bekal di hadapannya. "Pasti kamu cuma bantu masukin makanannya ke dalam kotak, yang masak Mbak, 'kan?" tanya Lucky sengaja untuk menggodanya. "Enggak, kok, itu aku yang bikin. Kalo Om Lucky enggak percaya tanya aja sama Mbak," sangkal Mika dengan bibir mengerucut, Lucky tertawa kecil melihatnya. "Iya. Iya, Om percaya. Terima kasih, ya," jawab Lucky sambil menyugar rambutnya yang agak panjang ke belakang kepala. "Om Lucky enggak berangkat kerja? Kok, belum siap-siap?" tanya Mika yang melihat Lucky belum mengenakan dasi atau merapikan rambutnya. "Kerja, kamu enggak liat Om udah pake kemeja?" Mika hanya nyengir kuda. "Om berangkat agak siang, kantor 'kan, mulai beroperasional jam sembilan." Mika membulat bibirnya. "Ya udah, Mika berangkat sekolah dulu, ya. Nanti terlambat," pamit Mika, Lucky menatap bingung saat Mika berdiri di sampingnya sambil mengulurkan tangannya. "Salim," jawab Mika saat menyadari Lucky bertanya lewat tatapan. Lucky masih tercengang saat Mika mencium punggung tangannya, ia bahkan hanya diam melongo meski Mika telah melangkah dengan ceria meninggalkan dirinya. * Dita Andriyani * "Mik, berangkat kamu? Aku kira kamu masih mencret?" tanya Ica sahabat Mika begitu melihat teman akrabnya itu memasuki ruang kelas. "Hah? Siapa yang mencret? Sayangnya aku mencret?" Yogi dengan gaya lebay-nya mendekati Mika dan berusaha memegang keningnya seperti seseorang yang akan memeriksa suhu tubuh. "Apaan, sih, kamu!" Mika menepis tangan Yogi sambil berdecak kesal dan seketika terdengar suara ledekan untuk Yogi dari seisi kelas, semuanya sudah tahu jika Yogi menyukai Mika tetapi gadis itu sama sekali tidak mengindahkannya. "Hhuuuu ...." sorak beberapa anak, kini malah Yogi yang berdecak pada mereka. "Tau, Lu, Yog. Ada juga orang mencret yang diperiksa perutnya, masa jidatnya!" sembur Ica, gadis itu cekikikan karena Mika malah melototkan kedua matanya. "Sini, Sayang, aku periksa perutnya," ujar Yogi pada Mika yang malah dibalas dengan acungan tinju, seperti itulah Yogi dan Mika. Semua perhatian Yogi malah membuat Mika geli dan sebal. Semua teman mereka hanya menganggap semua canda karena memang Yogi adalah pemuda yang humoris. "Udah bel ... udah bel ...." seru salah seorang siswa membuat semua murid bergegas duduk di tempatnya karena guru matematika yang terkenal galak pasti akan segera datang. "Mika. Ntar malem belajar di rumah Siska, ya," bisik Ica, Mika menoleh pada Siska yang menganggukkan kepala. "Belajarnya enggak usah lama-lama, abis itu kita hang out." Lagi-lagi Siska mengangguk. "Gue ikut," sambar Yogi yang lalu dijawab dengan pelototan olah Ica dan Siska. "Selamat pagi, Pak," ujar seluruh murid serempak setelah guru matematika yang baru memasuki rumah kelas menyapa, kecuali Ica, Mika dan Siska yang tengah berbisik-bisik. "Aku enggak bisa," jawab Mika tanpa suara. Ica dan Siska saling pandang, pasalnya sejak mereka sekelas baru kali ini Mika menolak ajakan mereka. "Kenapa?" tanya Siska juga sambil berbisik, Mika yang sudah memperhatikan sang guru berbicara hanya menoleh sekilas. "Nanti malem aku mencret lagi," jawab Mika ringan. "Hah?" Ica dan Siska kompak terkejut, keduanya spontan terdiam saat sang guru menatap mereka sementara Mika tampak serius mencatat soal yang ada di papan tulis. . "Mika, kamu kenapa, sih?" tanya Ica yang baru saja duduk di kursi yang ada di sebelahnya, jam istirahat siang itu membuat kantin sekolah tempat mereka begitu ramai. "Iya, Mik, kamu itu sakit mencret apa sakit jiwa, sih? Dari tadi ngelamun aja!" timpal Siska yang sedang menikmati kentang goreng cocol saus sambalnya. "Tapi anehnya kamu, kok, jadi rajin belajar, ya?" gumam Ica sambil melirik buku catatan matematika yang ada di hadapan Mika. "Tunggu." Siska dan Mika menatap Ica yang tiba-tiba terperanjat. "Ini kayaknya bukan tulisan kamu, deh!" Mika segera menutup buku yang menampakan tulisan tangan Lucky yang sedari tadi dipandanginya. "Apaan, sih, tulisan siapa lagi coba di buku aku!" jawab Mika yang lalu dengan gugup menyedot jus mangga yang ada di hadapannya minuman yang ia beli sejak tadi tetapi belum sedikit pun disentuhnya. "Mik, kalo Ntar malem enggak belajar di rumah Siska gimana kalau di rumah kamu aja?" ujar Ica memberi ide, senyum Siska mengembang, setuju dengan ide temannya itu sedangkan Mika malah membulatkan matanya. "Enggak. Enggak!" Mika mengibaskan tangannya di depan wajah kedua temannya itu. "Kenapa, sih, biasanya juga kita boleh ke rumah kamu?" tanya Siska yang merasa aneh dengan sikap Mika. "Enggak, bukannya gitu ... aku cuma pengen istirahat aja aku lemes abis mencret," jawab Mika beralasan, kedua sahabatnya itu malah saling tatap. "Ah ... kita tau, pasti ada yang ku sembunyiin, 'kan. Jangan-jangan di rumah kamu menjalin hubungan gelap sama Om Lucky, ya. Kayak cerita di n****+-n****+ online yang suka kita baca?" tebak Ica sambil menudingkan telunjuknya pada Mika, Siska menganggukkan kepala sambil menatapnya. "Enggak! Gila kalian, ya!" sangkal Mika tegas, jelas saja Mika menyangkal ia tentu akan merasa malu jika cerita dalam n****+ yang selalu dicibirnya malah benar-benar terjadi dalam hidupnya. "Ya terus, kenapa kamu diajak keluar enggak mau, terus kita mau main ke rumah kamu enggak boleh. Pasti biar kamu bisa berdua-duaan sama Om Lucky, 'kan?" Kini giliran Siska habis-habisan meledeknya. Mika mendengkus kesal. "Iya. Iya, kalian boleh ke rumah nanti malem, nginep juga enggak apa-apa!" Mika melipat kedua tangan di bawah dadda, entah mengapa ada rasa tidak suka meski dirinya sendiri yang telah mengijinkan kedua temannya itu ke rumah, mungkin mereka benar, karena Mika ingin berduaan dengan Lucky di rumah. "Ya udah, kalau gitu makan, dong. Udah siang ini, jangan pake sambel nanti mencret lagi kamu," ujar Siska sambil menahan tawa. "Jangan minum jus buah juga, Mik, nanti mencret lagi," timpal Ica, keduanya tertawa kecil melihat wajah kesal Mika. Tetapi tiba-tiba wajah kesal itu berubah berbinar saat teringat jika jam makan siang sudah tiba, gadis itu segera mengambil ponsel di saku kemeja sekolahnya lalu mengetik sebuah pesan. [Om Lucky suka makanannya?] Wajah Mika kembali terlihat kesal karena Lucky tidak juga membaca pesan itu, sontak saja tingkah Mika semakin membuat kedua sahabatnya itu mengerutkan keningnya. Sementara di kantornya kesibukan membuat Lucky belum sempat memeriksa ponsel meski sudah beberapa kali benda itu berbunyi. "Wih, sibuk bos?" Suara Arga membuat ruangan yang semula hening itu sedikit ramai, satu satunya teman dekat Lucky sekaligus teman kerjanya itu memang pribadi yang ceria. Lucky hanya berdeham untuk menjawab pertanyaan Arga, lelaki itu masih saja fokus pada layar komputernya. "Kerja jangan terlalu ngoyo, Bro! Kayak udah makanin anak bini aja, Lu!" Lucky tidak menggubris ucapan Arga sama sekali, ia sudah hapal betul jika temannya itu memang selalu banyak bicara, apa saja pasti bisa menjadi bahan pembicaraannya. "Widih, apa ini?" Arga melihat kotak bekal berwarna hijau tergeletak di atas meja. "bekal? kalah gue yang udah punya bini. Kagak pernah dibawain bekal." Lucky hanya tersenyum tipis mendengarnya, Arga yang selalu mengejeknya kali ini mengakui sendiri kekalahannya. "Itu dari Mika, dia bilang sebagai ucapan terima kasih karena Gue udah ngajarin dia belajar matematika semalem," ujar Lucky menjawab rasa penasaran Arga. "Enggak Lu makan, Bro?" tanya Arga yang sedang duduk santai di sofa. "Masih kenyang, sarapan banyak lagi ini gue," jawab Lucky, larut dalam kesibukan juga membuat nafsu makannya hilang. "Gue makan, ya?" tanya Arga tanpa basa basi atau malu malu. "Ya, makan aja," jawab Lucky, tidak menunggu lama Arga langsung menyantap makanan yang ada di dalam kotak itu. "Pinter juga itu anak masaknya. Enak," puji Arga setelah menghabiskan makanan jatah makan siang Lucky yang dibuat khusus oleh Mika. "Mika bilang dia masak sendiri, tapi gue kagak percaya, sih. Pasti mbak di rumah yang masak," jawab Lucky sambil merentangkan kedua tangannya ke atas untuk meregangkan otot-otot tubuhnya yang terasa lelah. "Yah, siapapun yang masak, tapi dia perhatian juga sama Elu, Bro!" ujar Arga sambil mengulum senyum. "Udah gue bilang itu cuma ucapan terima kasih," sahut Lucky. "Ya itu di bibir, dalam hati siapa yang tau." Lucky hanya menggelengkan kepalanya mendengar ucapan Arga yang menurutnya ngelantur. . Sore hari, sekitar jam setengah lima sore Lucky baru sampai rumah, ia memarkirkan mobilnya di dalam garasi. "Om Lucky!" Lelaki itu agak terkejut saat tiba-tiba Mika ada di belakangnya dengan senyum lebar menatap dirinya. "Gimana masakan aku, Om Lucky suka?" tanya Mika, Lucky terdiam lalu segera tersenyum padanya. "Suka," jawab Lucky. "Suka banget." "Rasanya gimana?" tanya Mika lagi, gadis itu memperhatikan gelagat Lucky yang mencurigakan. "Enak, enak banget," jawab Lucky teringat perkataan Arga tentang rasa masakan itu, ia yakin jika selera Arga pasti tidak jauh berbeda dengan seleranya. "Sambelnya gimana? Kepedesan enggak?" tanya Mika lagi dan Lucky semakin kebingungan menjawabnya. "Em ... sambelnya ...." 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN