"Om, jadi cinta enggak?"
"Om, jadi cinta enggak?"
"Om, jadi cinta enggak?"
Kata-kata itu seolah terngiang-ngiang, berputar-putar di kepalaku, membawa ragaku seolah melayang-layang di tempat asing lalu menarik ke sebuah tempat. Tempat tidur.
Aku menghela napas berat seolah melepaskan beban yang begitu berat menghimpit daada tadi, dengan mata yang tiba-tiba terbuka sempurna menatap langit-langit kamar, plavon PVC berwarna biru dengan motif awan putih seolah aku berada di alam liar dan menatap angkasa yang sedang cerah di siang hari hanya saja matahari yang seharusnya bersinar tergantikan dengan sebuah lampu LED putih di tengah plavon.
"Mimpi!"
Untung saja kejadian itu hanya mimpi, tentu saja, jika hanya dalam mimpi saja rasanya begitu menakutkan bagaimana jika kejadian itu terjadi di dunia nyata.
Bukan hanya takut jika Bang Daniel mengobrak-abrik diriku dengan amarahnya jika mengetahui putrinya yang ia titipkan padaku malah aku 'sentuh' tetapi yang lebih aku takutkan adalah kekecewaan yang akan mereka rasakan padaku.
Tentu saja, aku tidak ingin mendapat predikat sebagai seorang lelaki yang tidak tahu diri, diberi s**u dibalas air tuba.
Sudah hampir sebulan aku tinggal di rumah mewah ini, meninggalkan sebuah rumah sederhana yang aku beli dengan hasil kerja kerasku selama ini untuk mengemban sebuah tanggung jawab besar. Menjaga seorang anak gadis orang, orang yang telah begitu mempercayaiku.
Aku, Lucky, tiga puluh tahun usiaku sekarang. Banyak rekan kerja seusiaku yang sudah menyandang gelar sebagai seorang suami bahkan seorang Ayah tetapi berbeda denganku yang masih setia dengan sebuah status. Jomlo.
Bukan tidak laku, hanya saja mungkin aku terlalu kaku padahal wajah rupawan membuat banyak wanita tertarik padaku. Mungkin benar hati ini telah mati, saat seorang wanita yang dahulu sempat menjadi penghuni dengan tega menghianati.
Ganteng tapi susah move on! Itu yang selalu Arga sahabatku katakan.
Lima tahun telah berlalu, memang sudah tidak ada rasa sakit akibat penghianatan itu, tetapi untuk memulai sebuah hubungan baru rasanya aku masih terlalu ragu. Hampa, hanya itu yang selalu terasa setiap ada kaum hawa mencoba menebar cinta.
"Jangan bilang gara-gara patah hati Elu jadi belok? Ih, kagak mau gue temenan ama cowok hobi pedang-pedangan kayak, Elu!" Arga menggedikkan bahu, sok geli. Aku hanya bisa menyepak kakinya saat itu, lalu tawanya berderai di ruang tamu rumahku malam itu.
Entahlah, mungkin hanya hatiku yang sudah tidak normal hingga tidak lagi mencintai seorang wanita tetapi secara biologis tentu saja aku masih seratus persen normal. Hanya saja aku masih tetap tahu norma dan batasan hingga tidak pernah melakukan hal-hal nakal dengan mencari pasangan. Paling nakal sendirian, yah ... kalian pasti paham-lah ....
Aku tidak tahu bagaimana mulanya mimpi sialan itu bisa hadir dalam tidurku, mungkin Tuhan sengaja, memberikan mimpi itu sebagai peringatan untukku agar tidak pernah berbuat macam-macam.
Karena adakalanya kita harus lebih menjaga diri agar tidak pernah mengkhianati sebuah kepercayaan, karena sekali saja sebuah kepercayaan rusak maka kejujuranmu akan selalu diragukan.
* Dita Andriyani *
"So, Rockabye baby, Rockabye
I'm gonna rock you
Rockabye baby, don't you cry
Somebody's got you
Rockabye baby, Rockabye
I'm gonna rock you
Rockabye baby, don't you cry."
Spontan kepalaku menggeleng mendengar suara yang tidak begitu bagus tetapi juga tidak terlalu jelek itu menggema di ruang makan, sang pemilik suara asik menggoyangkan tubuhnya dengan earphone menutupi kedua lubang telinganya.
Seperti biasanya, gadis itu sudah tampak ceria pagi ini sebuah seragam putih abu-abu telah membalut tubuhnya yang sudah mulai berbentuk sempurna kadang hal itu cukup mengganggu kesehatan jantungku, sudah aku bilang aku masih lelaki normal.
"Mika," panggilku, dia abai, masih saja bergumam bahkan menyanyikan penggalan lirik dari lagu Rockabye dari Clean Bandit featuring Sean Paul dan Anne-Marrie.
Kembali hanya gelengan kepala yang kulakukan, bocah ini sudah beranjak menjadi gadis muda sekarang padahal dulu aku melihat sang ibu yang selalu mengejarnya jika ia tidak mau makan, saat Papi Priyo memintaku ke rumah ini untuk mengambil jatah uang bulanan kami, aku dan Kakakku Ricky.
Aku mengulum senyum saat tiba-tiba teringat aku sempat beberapa kali menggendongnya saat ia baru berusia beberapa bulan saat keluarga besar ini mengajakku dan kedua kakakku menghadiri resepsi pernikahan Kak Laura dan Bang Banyu di Lombok dan sekarang, dia sudah sebesar ini dan ... cantik.
Tentu saja, tidak ada alasan dia untuk tidak cantik kedua orang tuanya adalah perpaduan yang sempurna, itulah yang membuatku ketakutan menjaganya. Wajah dan tubuhnya lebih menonjol dibandingkan teman-teman yang sering ia ajak ke mari, berkali-kali pula aku mendapati beberapa teman lelakinya melirik nakal padanya. Wajar. Tetapi cukup membuat jengah, meski aku bukan orang tuanya atau saudara kandungnya, bahkan kami sama sekali tidak memiliki hubungan darah.
Dia gadis yang ceria, kadang terlihat anggun seperti ibunya tetapi ada kalanya juga terlihat konyol seperti ayahnya, tetapi yang jelas dia menyenangkan. Setidaknya di sini aku punya teman bicara, tidak seperti kalau di rumahku sendiri, teman mengobrolku hanya nyamuk yang berdenging.
"Eh, Om Lucky." Dia tersadar aku sudah duduk bersandar di kursi meja makan dengan melipat tangan di bawah dadaa menatapnya, agak malu sepertinya karena aku memperhatikannya yang sedang nyanyi-nyanyi enggak jelas.
"Lanjutin aja nyanyinya, enggak usah sarapan," sindirku karena melihat makanannya masih utuh.
"Ih, aku, 'kan, nungguin Om Lucky. Dari tadi enggak keluar-keluar dari kamar, mimpi apa, sih, tidurnya sampe kayak kebo gitu." Dia malah tersungut sambil melepas earphone dari telinganya.
Aku terdiam sesaat teringat mimpi tadi. "Mimpi buruk!" jawabku seraya menyendok nasi dan menaruhnya di piring.
"Mimpi buruk, sih, tidurnya nyenyak sampe kesiangan. Mimpi basah kali!" Aku menyemburkan air putih yang baru akan mengaliri tenggorakan saat mendengar apa yang Mika katakan.
"Ih ... Om Lucky, jorok banget, deh! iiyyuuhh ...." Mika bergidik melihat beberapa cipratan air mengenai tangannya, ia segera mengambil tissue untuk mengelapnya.
"Mika, ngomongnya!" seruku menekan suara seraya mendelik padanya.
"Apaan, sih, Om? Emang iya, 'kan. Om Lucky jorok nyembur-nyembur gini!" Dia malah merengut.
"Bukan itu— yah, udah deh lupain aja!" Aku membatalkan menegurnya yang menyinggung tentang mimpi basah tadi merasakan malah jantungku yang berdetak tidak karuan.
Akhirnya aku dan Mika sarapan dalam keheningan hingga kami berpisah di ambang pintu ruang makan, aku ke garasi untuk mengambil mobilku dan Mika ke teras di mana sopir pribadinya telah menunggu.
* Dita Andriyani *
"Om ...."
"Om, Lucky ...."
Aku mengalihkan pandangan dari layar laptop yang ada di pangkuan, menaruh benda itu di atas ranjang tempatku bersantai sambil memainkan sebuah game online barusan.
"Ada apa?" tanyaku begitu membuka daun pintu, tidak begitu lebar hanya cukup bagi kepalaku untuk menyembul keluar. Pandanganku langsung tertuju pada wajah Mika, polesan bedak tipis, rona merah muda di pipi dan bibir yang sedikit mengkilat jingga khas dandanan artis Korea yang sedang digandrungi anak seusianya. Tetapi dalam hati aku pun mengakui. Manis.
"Mau minta ijin pergi sama teman-teman," ucapnya tanpa segan.
"Iya, pulangnya jangan malem-malem," jawabku memberi ijin karena aku yakin gadis itu bisa dipercaya dan tidak akan berbuat macam-macam.
"Iya," jawabnya lalu nyelonong pergi, aku masih menatap ia berjalan menjauh hingga menyadari sesuatu.
"Mika!"