Entah sudah berapa lama Rakandaru dan Bianca bertahan pada posisi saling berpelukan. kenyataannya, keduanya sama sekali tak ada niatan untuk saling memisahkan diri.
Meski tangis sudah tak lagi terdengar dari bibir Bianca, namun tubuhnya masih sesekali terguncang akibat terlalu lama menangis.
"Kenapa kamu bohongin aku Daru? Kamu juga tega menghianatiku" sekali lagi pertanyaan kembali terulang dari bibir Bianca
Ingin sekali Bianca membohongi dirinya sendiri dengan mempercayai bila kejadian tadi pagi tidak pernah terjadi. Kedatangan Aruna dan Agatha ke Tokonya juga tidak pernah ada.
Namun kenyataan tak seperti itu. Lembar undangan itu menjadi saksi atas semua rasa perih mulai menyerangnya.
Rasanya dia juga ingin berpikir jika Aruna membohonginya, Aruna hanya sekadar bercanda dengannya.
Tapi mengingat keterdiaman Rakandaru dan juga sikap kekasihnya yang akhir-akhir ini mulai terlihat berbeda, Bianca harus terima jika semua yang terjadi hari ini memanglah benar. Undangan itu memang milik Rakandaru dan Aruna. Kedua orang itu benar-benar akan menikah.
"Diam saja terus" bentak Bianca secara tiba-tiba, sekarang dia sudah melepaskan diri dari pelukan Rakandaru "Sampai kapan kamu akan terus diam saja, hah? Kamu gak bisu kan Rakandaru?" lanjutnya yang terdengar kasar
Sejenak ditatapnya sang kekasih dengan sorot mata terluka, lalu setelah itu Bianca mengambil undangan yang tadi dia letakkan di atas meja riasnya. Diangkatnya undangan itu tepat diwajah Rakandaru.
"Apa ini? Bisakah kamu menjelaskannya padaku?" ucap Bianca lirih
"Dari mana kamu mendapatkannya Bi?" tanya Rakandaru sembari menyambar undangan itu dari tangan Bianca
Meski tak membaca isinya dengan rinci, namun sekilas dia sudah bisa tahu undangan apa itu. Itu adalah undangan pernikahannya bersama Aruna, yang entah mengapa bisa sampai ditangan Bianca.
"Coba kamu tebak sendiri Rakandaru. Bukankah kamu orang pintar yang bisa dengan lihainya bermain dibelakangku, sampai aku tidak menyadarinya" balasnya dengan sinis
Bianca memang tidak berniat memberitahukan dari mana kah undangan ini berasal. Biarkan saja Rakandaru menebaknya sendiri. Lagi pula, saat ini dia hanya ingin sebuah kepastian. Kepastian tentang kebenaran yang baru saja dia dapatkan.
"Apa undangan ini berasal dari Aruna?" tebak Rakandaru yang langsung tepat jawaban,
"Haha..ha.. Ternyata kamu memang sepintar itu ya. Buktinya kamu langsung bisa menebaknya" ujar Bianca disela tawanya, lebih tepatnya tawa miris untuk dirinya sendiri
"Apa yang Aruna katakan padamu Bi? Dia bilang apa saja sama kamu?" cercanya dengan khawatir
Saat ini Rakandaru terlihat sangat gusar dan penuh emosi. Dalam hati dia memberikan sumpah serapah untuk Aruna yang sudah bertindak diluar batas. Beraninya Aruna membocorkan rahasia mereka pada Bianca.
"Aruna tidak mengatakan apapun padaku, dia hanya sedang berbaik hati dengan memberikanku undangan pernikahan kalian saja" sindirnya
Bianca mulai berjalan mendekati jendela yang berada dikamar itu. Samar-sama suara Adzan mulai terdengar, menandakan malam akan datang. Tetapi dirinya dan Rakandaru malah terjebak pada takdir yang menyakitkan.
"Apa kamu tahu, bagaimana perasaanku saat mengetahui bila Ayahku menikah lagi? Rasanya sakit sekali, sampai mati rasa. Dikecewakan oleh orang yang sangat kita cintai sangat lah menyakitkan, Daru. Karna setiap mengingatnya, pasti akan memberikan rasa sesak dan juga perih" ungkap Bianca
"Maaf, aku benar-benar meminta maaf Bi" balas Rakandaru yang merasa amat bersalah,
Seharusnya dia menjaga kepercayaan yang sudah Bianca amanatkan padanya. Bianca memberikan hatinya untuk dia jaga dan bahagiakan, namun yang dia lakukan sekarang malah menghancurkannya.
"Makasih untuk semua hal yang sudah kamu berikan selama kita bersama. Setidaknya, ada hari-hari dimana kamu memperlakukanku layaknya wanita berharga. Setidaknya, aku juga pernah kamu cintai dengan tulus kan?" ucap Bianca dengan tawa miris,
Rakandaru masih diam terpaku ditempatnya, bahkan kedua matanya terasa kian memanas kala ucapan kembali terdengar dari bibir wanita didekatnya itu.
"Mungkin kisah kita memang hanya digariskan sampai disini saja. Semoga kamu lebih bahagia lagi bersama Aruna ya Rakandaru"
"Kamu bicara apa sih Bi? Kita masih baik-baik saja. Dan cuma kamu yang pantas bahagia bersamaku, aku tidak membutuhkan yang lainnya" ujarnya dengan tegas
Dirinya seolah lupa jika beberapa hari lagi akan melangsungkan pernikahan dengan Aruna.
"Aku tidak mencintai Aruna. Kami menikah karna terpaksa, semua hanya sebatas tanggung jawab" jelasnya kemudian
"Tanggung jawab? Apa yang sudah kamu lakukan dengannya, Daru? Kamu menghamilinya?"
Rakandaru langsung gelagapan saat Bianca memberondongnya dengan berbagai pertanyaan. Dirinya seketika merasa tersudutkan.
Ini lah alasan mengapa dia memilih diam saja, karna dia takut semakin menyakiti kekasihnya itu. Namun sudah terlanjur juga, lebih baik dia jujur sekalian.
"Malam itu, setelah aku melamarmu. Aku diajak minum bersama teman-teman, dan sialnya aku malah mabuk parah. Paginya aku sudah terbangun bersama Aruna dalam keadaan naked" Rakandaru terus memperhatikan wajah Bianca yang semakin pucat kala mendengar penjelasannyaa
"Jadi, maksud kamu. Kalian berdua sudah tidur bersama?" tanya Bianca dengan sorot terluka
"Aku gak tahu Bi, jujur aku sama sekali tidak mengingat apapun saat itu. Hanya saja Aruna menuntut pertanggung jawabanku, dan Mami mengetahuinya. Akhirnya Mami sepakat untuk menikahkan kami" tambahnya begitu frustasi
Rakandaru bisa saja berpikir jika Aruna hanya membohonginya, namun kedua matanya melihat sendiri ada bekas noda darah yang tertinggal diranjang saat itu.
"Ya udah, itu artinya semua sudah jelas. Kamu akan menikah dengan Aruna, dan artinya kita harus mengakhiri hubungan ini" ujar Bianca mencoba untuk tegar
Namun Rakandaru sepertinya tak setuju dengan ucapannya. Lelaki itu menggeleng cepat sembari meraih kedua tangan Bianca untuk kemudian dia genggam erat.
"Aku gak mau kita pisah, aku masih cinta sama kamu. Kita bisa tetap melanjutkan hubungan ini"
"Kamu gak waras? Kamu mau menjadikanku sebagai selingkuhanmu, begitu? Aku gak mau Daru. Meski aku masih sangat mencintaimu, tapi yang kita lakukan itu salah" tolak Bianca, dia tidak habis pikir dengan jalan pikiran Rakandaru
"Lalu aku harus bagaimana Bianca?" teriak Rakandaru kalut "Aku terpaksa melakukannya, dan aku gak mau kita pisah. Berapa kali aku harus bilang kalau aku masih mencintai kamu" tambahnya dengan suara yang masih terdengar keras
Mereka berdua berada diposisi yang serba salah. Satu sisi masih saling mencintai, namun dipaksa keadaan untuk berpisah.
Apa yang lebih sakit dari dua orang yang memiliki perasaan saling mencintai, tetapi tak bisa bersama?
Bianca terduduk diatas ranjangnya dengan kedua telapak tangan yang menutupi seluruh wajah. Isak tangis mulai kembali terdengar. Pelan, tapi cukup menyayat perasaan Rakandaru saat mendengarnya.
"Aku butuh waktu untuk memikirkan tentang kelanjutan hubungan kita. Tolong kamu tinggalkan aku sendiri, aku ingin menyendiri dulu" pinta Bianca dengan wajah yang masih tertutupi oleh telapak tangannya
Akhirnya, Rakandaru pun menyetujui permintaan dari sang kekasih. Dirinya sendiri pun juga sama kacaunya.
Mereka berdua jelas membutuhkan waktu untuk memikirkan semuanya secara matang-matang. Memgambil keputusan saat keduanya mulai merasa tenang.
"Aku pamit dulu, kamu baik-baik disini. Jangan melakukan hal konyol yang berbahaya" pamit Rakandaru sebelum benar-benar meninggalkan Bianca sendiri di kamar itu.
Bianca sendiri masih setia diposisi semula, dia hanya menggumam sebagai balasan atas ucapan Rakandaru tadi.
Didalam perjalanan pulang, Rakandaru tampak tak sepenuhnya fokus pada jalan didepannya. Malam ini tujuannya adalah pulang ke Apartemen, karna dia tidak mungkin pulang ke rumah dengan keadaan emosi yang kacau.
Dan satu lagi, setelah sampai di Apartemen nanti. Hal pertama yang harus dia lakukan adalah menghubungi Aruna sesegera mungkin.
Dia ingin bertanya, kenapa Aruna bisa selancang itu memberitahukan perihal pernikahan mereka pada Bianca. Padahal sebelumnya Aruna sudah sepakat, memberikannya kesempatan untuk menyelesaikan hubungannya bersama Bianca sendiri.
Tetapi Aruna malah bertindak diluar batas...