Chapt. 12

1074 Kata
##Peringatan : Chapter ini mengandung unsur kekerasan. Mohon bijak memilih bacaan sesuai usia yang di anjurkan! ## "Tuan, pagi ini ada kunjungan dari mantan direktur pusat pengembangan. Pukul 9 di ruang pertemuan" ucap sekretaris Jane melalui sambungan telepon. Braven memijit pelipis nya, ia masih bersandar di kursi ruang kerjanya setelah lembur semalaman. "Baiklah. Setelah itu kosongkan jadwal. Saya ada sedikit masalah dengan Ana" "Baik, tuan" Setelah meletakkan ponsel nya di meja. Braven berdiri dan menuju kamar nya untuk bersiap mandi. Ia melihat Ana masih tertidur dengan posisi asal. Tumben sekali, ini sudah pukul 7. "Bangunlah, Ana. Apa kamu akan membiarkan pekerja kelaparan?" ucap nya berjalan ke kamar mandi sambil membuka baju. Terlihat Ana mulai menggeliat kecil, mulai menyadarkan dirinya dari kantuk. Matanya mencari letak jam dinding. "Ah, kenapa aku bisa kesiangan.." ia langsung masuk ke kamar mandi. Braven terkejut melihat Ana masuk begitu saja saat ia sedang mencukur bulu wajah nya alias jenggot tipis. "Heii!!.. aku yang lebih dulu masuk. Keluar!" bentak Braven. Ana menoleh kesal. Yaa.. dia masih terbawa perasaan marah dengan masalah kemarin. "Kamu masih sibuk dengan itu, aku akan mandi cepat-cepat" jawab nya mengeluh. Ia tidak perduli lagi dan langsung menarik piyama tipis nya di belakang Braven.  Tentu saja Braven melihat melalui kaca.  Ana terus saja dengan kegiatan shower nya, dan hanya terpisah kan kaca transparan dengan Braven yang sesekali menoleh. "Lain kali kita mandi bersama saja jika kamu sudah seberani ini, Ana" ucap Braven enteng. "Apa katamu?" tanya nya minta di ulang. Sebab suara percikan air persis di tubuhnya hingga menghalangi suara lain. Braven tertawa ringan, "Lihat saja besok" "Apa nya yang besok?" Ana mematikan shower nya menunggu jawaban Braven. "Tidak. Cepat keluar jika sudah selesai. Aku ada pertemuan penting.. bisa-bisa nya kamu malah menikmati waktu" keluh Braven mulai mendekat. Ia benar-benar hanya menggunakan lilitan handuk sepinggang. Ana kemudian menarik handuk baju nya dan mengikat dengan kencang. Keluar dari kaca lalu berjalan cepat melewati Braven. "Huff…" Helaan nafas Ana ketika sudah berada di ruang ganti pakaian. ……. "Hari ini nyonya akan memasak sop buntut dan ikan gurame goreng…" gumam nya pada diri sendiri sambil memakai celemek masak di dapur. Membuka kulkas dan mulai mengeluarkan bahan masakan. Dengan dress kaos selutut dan rambut ikat bunny. Ana memasak sambil bernyanyi pelan. Ia membuka jendela lebar-lebar serta mengganti pengharum ruangan. Hingga masakan selesai disajikan dan mengantar kan milik pekerja ke bangunan belakang. Ana masih belum melihat Braven turun. Padahal jika tidak salah ia ada pertemuan penting. Meskipun masih marah, Ana tetap ingin melihat ke atas. Ia tidak melihat Braven di kamar, lalu ke ruang kerja. Ternyata Braven sedang bertelepon dengan seseorang. "Kamu butuh berapa banyak lagi?" "Jalang sialan! Berani nya kamu datang ke kantorku!" "Tunggu disana, jangan bicara dengan siapapun sebelum aku datang" Suara marah Braven terdengar menyeramkan. Dan Ana mengerti arti percakapan itu. Ia kembali merasa kecewa dan kesal Braven menghubungi sekretaris nya. "Jane, bawa wanita itu ke ruangan saya. Kunci saja!" "Tidak. Batalkan pertemuannya!" Setelah menutup panggilan ttersebut. Braven mengambil dokumen di meja dan hendak keluar. Ana mundur beberapa langkah dan berjalan. Mereka bertemu didepan ruangan. Dan Braven menatap nya. "Sejak kapan kamu disini??" tanya nya ketus. "Aku baru datang, sarapan sudah siap" jawab Ana datar. Braven berjalan melalui Ana. "Aku akan langsung berangkat" "Pertemuan penting dengan siapa?" ia mengikuti langkah cepat Braven. "Mantan direktur" singkat nya. "Aku akan mampir ke perusahaan untuk makan siang bersama mu, kita bicara soal masalah kemarin" ucap Ana. "Tidak bisa hari ini" "Aku ingin hari ini" Braven tidak menjawab hingga sampai di halaman dan hendak masuk kedalam mobil. Ia berhenti dan menoleh. Menatap Ana. "Jangan datang jika ku bilang tidak!" tegas nya sekali lagi. Kemudian masuk dan menutup pintu mobil. Kemudian sopir mengemudi keluar gerbang. Ana merasa tidak tenang memikirkan wanita si sekeliling Braven. Benar-benar memusingkan. Ia kembali ke dalam untuk mengerjakan beberapa pekerjaan rumah. ……. Sekretaris Jane menyambut Braven didepan lift dan berjalan mengikuti nya menuju ruangan. Lalu menjaga di depan pintu. Braven menaikkan tangan nya dipinggang, menyorot tajam ke arah wanita itu./ Nafas nya masih memburu. Sedangkan wanita itu duduk di kursi kerja nya dengan pakaian seksi dan melihat foto nya dimeja. Ia membalas tatapan Braven dengan senyuman miring. "Akhirnya kamu datang, sayang" ucap wanita itu. "Grace, tidak seperti ini caranya! Apa kamu gila??!!" bentak Braven. Suasana menjadi panas setiap kali Grace membuat masalah. Wanita itu benar-benar liar. "Sudahlah, aku tidak akan setakut dahulu dengan amarahmu. Suara serak mu sangatlah sexy, lihatlah wajah tampan mu saat marah…" goda Grace mendongak, Braven sudah berdiri tepat di samping nya. "Hentikan. Pergilah ke luar negeri menyusul ibumu" ucap Braven dengan penuh penekanan. Berbeda dengan Grace yang ekspresi nya selalu tenang namun berani. "Aku sudah tau tentang pernikahan mu. Kamu sangat jahat" "Benarkah?? Kalau begitu pergilah" "Aku tidak takut dengan ancaman mu, sebelum kamu berikan apa yang ku mau!" suara Grace meninggi. Braven menyorot lebih tajam mata Grace, ia memajukan tangan dan memegangi leher Ana seperti ingin mencekiknya. "Kamu tidak takut? Seperti ini masih tidak takut?!!!"  Grace mulai khawatir dengan perlakuan Braven, "Lepaskan.." Tangan Braven mengencang melingkar di leher Grace. Tidak ada yang tau apakah ia benar-benar akan mencekik wanita ini akhirnya. "Kamu sudah menerima banyak uang dariku. Itu sudah jauh lebih besar dari pada apa yang kamu alami. Wanita iblis, jalang tidak tau diri. Mati saja kamu!!" "Akkkh, Braven aku tidak bisa bernapas. Lepaskan" tangan nya mencoba untuk menarik tangan Braven yang sudah sangat berotot. Selama ini ia sudah memeras Braven dan memainkan drama ancaman.  "Bagaimana…-pun-juga.. -aku.. per-nah-.. hamil anak-..mu!" Grace masih berusaha bicara mengungkit kala itu. Namun ucapan nya tentu semakin membuat Braven marah. Sebab itu hanyalah jebakan. Namun demi menutupi itu semua Braven harus mengeluarkan banyak uang. Dan semua itu masih saja tidak cukup, sebab Grace ingin setengah bagian lahan perkebunan teh dan Villa yang saat ini ia tinggali bersama Ana. "Tutup mulutmu!! Lebih baik kamu mati di tangan ku saat ini jugaaaa!!!!!" teriak Braven dengan mata memerah. Sementara Grace sudah kewalahan dan kehabisan nafas, ia tidak sanggup melawan kekuatan Braven. "Akkk… hggg…" Pintu terbuka secara tiba-tiba, sekretaris Jane mengetahui Braven sudah diluar kontrol. Ia menarik Braven dan menjauhkan nya dari Grace. "Tuan, sadarlah. Minum ini…" ia memasukan obat penenang ke mulut Braven dan memberikan segelas air. Sementara Grace terkulai lemas di kursi kerja Braven. Leher nya sangatlah merah bekas cekikan tangan Braven. Dan beberapa kali terbatuk mencoba menarik nafas. Tidak ada yang mengetahui kejadian ini sebab lantai ini hanya ada ruangan Braven dan ruang pertemuan VVIP yang sedang kosong serta ruangan Jane. Jane mengetahui segalanya tentang Braven. Ia adalah tangan kanan nya.  Braven bersandar disofa mengatur pikiran nya. Sementara Grace dibawa ke mobil oleh orang suruhan Jane menuju ke rumah sakit. Jane lalu membereskan kekacauan dimeja kerja. Ia melihat Braven dengan lelah. "Saya antar tuan ke mobil jika sudah sedikit tenang" ucap Jane. "Antar ke apartemen.." "Baiklah. Tetapi anda tetap harus pulang sore nanti. Jika tidak nyonya akan curiga lagi"  Tidak ada jawaban apapun lagi. Jane keluar ruangan kembali ke pekerjaan nya Bersambung...

Cerita bagus bermula dari sini

Unduh dengan memindai kode QR untuk membaca banyak cerita gratis dan buku yang diperbarui setiap hari

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN