BAB 08 - Adapt

1677 Kata
Tristan menegakan tubuhnya yang membuatku mengambil satu langkah menjauh, aku bisa merasakan lengannya masih berada di sekitar pinggulku, membuat gerakanku tertahan. Dia melirikku lalu kepalanya bergerak memerintahkan ku untuk segera masuk ke dalam mobil. Aku bergerak cepat seolah sengatannya di pinggangku mengeluarkan percikan panas yang menyengat. Aku meliriknya masuk ke dalam mobil menyusulku, ia mengeluarkan ponselnya mulai sibuk dengan benda persegi panjang itu dan mengabaikanku yang bersikap kaku. Banyak hal dalam kepalaku yang ingin ku tanyakan tapi aku tidak tahu mulai darimana. Namun yang keluar dari bibirku malah.. “mereka tidak akan membunuhku kan?.” Dalam pikiranku aku tidak lagi memikirkan tentang kematian namun ternyata di alam bawah sadarku aku masih memikirkan tentang hal itu. Tristan menarik sudut bibirnya menjadi menyeringai, ia melirikku dengan seringaian mengejek. “kapan kau akan berhenti untuk bertanya tentang hal itu!.” “aku hanya khawatir.” “jika kau bersama ku, maka kau akan aman.” “maksudmu, jika nanti sandiwara ini berakhir dan aku menjauh darimu aku akan mati. Jangan menakutiku.” “akan ku pastikan kau tidak mati.”Mendengarnya membuatku tidak bahagia. Rasanya seperti nyawaku sedang berada di pasar obral. Aku tidak pernah tahu rasanya dikejar-kejar kematian sebelum akhirnya bertemu dengan Tristan dan sekomplotan keluarga mafianya. Dia memang harus memastikan ku hidup atau aku akan menganggu nya di sepanjang hidupnya. Tapi ku rasa Mafia lebih takut kekuasaan mereka hilang di bandingkan dengan hantu penasaran. Ya.. mereka bahkan lebih menyeramkan di bandingkan hantu-hantu di film yang biasa aku dan Niel saksikan di akhir pekan. Butuh 30 menit mengendari mobilnya dari kantorku menuju Apartemen, ketika dia keluar dari mobil dia mengulurkan tangannya ke arahku yang membuatku bingung. Aku hanya menatap tangan itu sebelum mendongak menatap wajahnya. Ekspresinya sangat angkuh membuatku kesal, kenapa orang-orang kaya mempunyai ekspresi angkuh yang sama, mereka semua di lahirkan seperti itu. Jika nenekku menunjukkan eskpresi seperti itu, itu karena dia salah menggambar alisnya. Aku mengabaikannya dan memilih untuk melewat pintu lain yang berada di sebelahku, sesuatu menarikku yang membuat gerakanku tertahan, pintu mobil di sebelahku yang sudah terbuka tak bisa ku lalui karena Tristan menarikku, lebih tepatnya menarik kerah leher jaketku. Apa dia tidak bisa memiliki cara yang lebih halus kepada wanita. “mereka mengikuti kita, beraktinglah dengan baik.”dia berkata dengan nada berbisik. “pasangan banyak yang bertengkar kenapa kita tidak memainkan peran itu saja.”Aku berbicara tak kalah berbisik lebih tepatnya menggerutu, tidak peduli ekspresi penjaga Apartemen memerhatikan kami dengan pandangan bingung. Ini kali pertama aku datang melalui lobby Apartemen, seperti pengunjung resmi karena ketika datang kemarin aku dalam keadaan tidak sadar dan ketika berangkat kerja kami pergi melalui basement. “aku yakin kau tidak akan senang jika melihatku marah.”Itu seperti peringatan ketika Tristan marah yang bayangkan adalah dia menodongkan pistolnya ke arah keningku. “cukup saling diam saja, tidak perlu memakai tenagamu untuk menjiwai peran itu.”aku berjalan di sebelahnya menuju lift menuju lantai kamarnya. “kau mulai mengaturku sekarang.”dia berkata dengan lirih, ada senyum di wajahnya tapi senyum itu bukan senyum kesenangan. “aku hanya memberi saran.”aku mencondongkan tubuh ke arahnya untuk berbisik lalu menyonggol lengannya seolah berbicara dengan teman lama. Kakek ku pernah berkata dekati musuhmu untuk bisa tetap hidup. Sudah jelas aku akan menempel pada Tristan hingga membuatnya muak. ** Sesampainya di kamar aku bergegas membersihkan diri, aku memakai kaus hitam lengan pendek dengan celana olahraga bergaris putih berwarna senada dengan kaus yang ku kenakan. Saat menuruni tangga aku bisa melihat bibi Gail menaruh 2 piring berisi daging panggang dan dua gelas anggur. Dia menyapaku ketika aku datang menghampirinya, mengambil tempat tepat di hadapannya. “selamat makan nona Wren.”ucap Gail. “ini untukku?.”Aku memastikan. “tentu saja.”jawabnya dengan senyum lebar yang terlihat sangat ramah. “lalu itu siapa? Tristan?.”aku menunjuk piring yang sama di hadapanku. “tidak senang makan malam bersama denganku?.”Aku terkejut mendengar suara Tristan, dia keluar dari dalam kamarnya memakai sweater berwarna burgundy dan celana bahan berwarna coklat tua. Menghampiri meja makan lalu duduk di hadapanku. Tristan sangat berbeda ketika ia memakai setelan kemeja nya dengan pakaian santai seperti ini. “Ya. Melihatmu hanya membuatku teringat dengan senapan.” Tiba-tiba Tristan tertawa yang membuatku terkejut, dia bisa tertawa juga sekeras ini. Aku hanya berkata sesuai yang ada di dalam pikiranku. Dia memang tampan, tapi bayang-bayang itu belum juga sirna dari dalam kepalaku. “pikirkanlah itu terus, dan beraktinglah lebih baik.” Dia mulai menyantap makanannya, aku memerhatikannya dengan kedua mataku yang menyipit. Segala hal mengenai dirinya terlihat sangat mencurigakan. “makanlah. Kenapa memerhatikanku terus begitu.” “aku penasaran.. boleh aku bertanya sesuatu?.” “jika aku bilang tidak apa kau akan diam?.” Aku mencondongkan tubuhku ke arahnya untuk membisikan sesuatu. “Apa setiap hari akan seperti ini? Mereka menguntit untuk mencari tahu kebenaran tentang status kita?.” Tristan beralih memandangku yang membuatku menarik diri, menyandarkan punggungku kembali ke kursi. “aku tidak tahu, kemungkinan ya. Sampai kakekku percaya.” “bukankah mafia sangat sibuk, aku sering mendengar jika mereka sangat sibuk mengatur urusan ini itu. bisnis, kenapa repot-repot mencari kebenaran tentang status cucunya.” Pastilah ada urusan yang lebih penting. "Kakekku memiliki banyak sekali orang yang bisa melakukan pekerjaan ini. Khawatirkan saja aktingmu." Aku tidak bisa membayangkan diriku di kuntit seperti itu. kemungkinan di rumah ini di pasang cctv, bagaimana jika ketika aku ke toilet umum mereka juga mengikutiku, pasti banyak sekali foto yang mereka ambil tentang ku. Ugh.. memikirkannya saja sudah membuat bulu kuduk ku meriding. “Apa yang kau pikirkan?.” Aku kembali memerhatikan Tristan yang kini sedang menatapku. Lalu aku tersadar tengah memeluk tubuhku sendiri dengan kedua tanganku. Dia pasti berpikir aku aneh. “aku hanya merasa tidak nyaman, berapa banyak fotoku yang akan mereka ambil, jika ekspresiku terlihat sangat jelek itu akan sangat menganggu.” “kau takut dengan penampilan jelekmu?.”Tristan menenggak gelas airnya hingga setengah, dia sudah menghabisi setengah porsi dagingnya sementara aku belum menyentuhnya sama sekali. “ekspresi atau apa yang aku lakukan, sampai kapan? Mereka tidak akan menguntitku ke toilet kan!.” “mereka tahu batasan Ana. Jangan terlalu berpikir berlebihan. Mereka juga tidak akan membunuhmu, mereka hanya akan mengambil gambar jadi jangan khawatir.” “itu juga termasuk privasi, kau mengatakannya seolah tidak ada masalah dengan itu. Aku kan bukan selebriti.” “makanlah Ana.”Dia berkata dengan mimik wajah serius, aku mulai memerhatikan makananku dan menyentuh pisau dan garpu. “Ya.. ya aku makan.” Daging ini sangat empuk dan lezat, aku mengerang menikmati betapa lezatnya makanan ini. Aku benar-benar menikmati makanan sekarang, sudah lama sejak memutuskan untuk tinggal sendirian, aku terlalu banyak makan-makanan instan hingga cukup banyak menghabiskan waktu di gym agar berat badanku tidak bertambah. Tristan bangkit berdiri setelah selesai menyantap makanannya, dia membiarkan piring itu begitu saja. baru beberapa langkah ia terhenti dan tubuhnya berbalik kembali memandangku serius. “aku akan memastikan keselamatanmu Ana, jadi jangan khawatir.” Setelah mengatakan itu dia pergi begitu saja, meninggalkanku dengan ekspresi kebingungan. Dia masuk ke ruangan lain, ruang kerjanya mungkin karena aku bisa melihat rak-rak buku di dalam sana. Ruang kerjanya berada di sebrang kamarnya, berada di bawah tangga menuju lantai 2. Dia menghilang di balik pintu, mataku mengerjap merasa aneh. “waktu itu dia ingin membunuhku, sekarang dia mengatakan akan memastikan keselamatanku. Dia benar-benar aneh, apa dia ingin mengambil kepercayaanku dan membuatku lengah.” “Aahh aku harus lebih waspada.” ** ‘jangan lupa bawa kameramu. Aku sudah di Apartemen.’-Niel Aku akan pergi dari Apartemen bersama dengan Niel, aku meminta Tristan untuk menurunkanku di Apartemen milikku karena aku tidak membawa kameraku ketika pindah ke rumahnya. Tim kami akan di bagi menjadi 2 kelompok agar segera mengambil foto lokasi lebih cepat. Aku menaruh ponselku di pangkuan lalu merapikan rambutku. Sudah memasuki musim dingin, aku mengeratkan jaketku sebelum berjalan keluar mobil. “nanti sore aku akan pulang sendiri. Kau tidak perlu menjemputku.”Tristan kembali menoleh padaku, ekspresinya jelas mengatakan ia keberatan. “sudah ku ka..” “aku kan kekasihmu bukan tahananmu, banyak pasangan yang tinggal serumah pulang pergi masing-masing. Kau takut aku kabur ya? Aku tidak akan melakukan hal itu. Aku sangat bertanggung jawab dengan janji dan peraturan yang sudah kita buat. Percayalah padaku.”ucapku mengintrupsinya, meyakinkannya lagi pula tidak ada alasan lain kenapa aku harus kabur darinya. Aku tidak memiliki kekuatan sebesar itu untuk menghindar, dia pasti akan menemukanku. “aku pergi.” Aku melambaikan tanganku ke arahnya dengan senyum lebar di wajahku, lalu berbalik meninggalkan mobil Tristan yang masih berada di sana. Niel sudah berada di depan kamarku, menungguku. Kami harus segera pergi dan menyelesaikan pekerjaan ini. Aku tidak suka pekerjaanku menyita waktu ku terlalu lama, semuanya harus segera selesai karena aku haru mengerjakan pekerjaan lainnya. Niel ada di sana, bersandar seraya memerhatikan ponselnya. Aku mencari-cari kunci dari dalam tasku sebelum sampai di depan pintu. “kau sudah tidak tinggal di sini lagi? kau benar-benar berkencan dengannya? Kenapa tidak cerita padaku!.” “Eumm.. aku tidak bisa bicara lebih jauh. Tapi jangan katakan pada siapapun. Ini tidak seperti yang kau pikirkan, bukan kencan seperti itu percayalah,”andaikan saja aku bisa bicara lebih jauh kepada Niel tentang rahasia ini, tapi aku tidak mau melibatkannya ke dalam masalah besar. Ini menyebalkan, aku benci rahasia-rahasia biasanya aku selalu mengatakan apapun yang ingin ku katakan. “hanya kau yang kuberitahu jangan katakan pada siapapun.”aku berbisik. “kau menutupi sesuatu aku bisa merasakannya, banyak rahasia.” “percayalah, aku melindungimu untuk tetap aman jadi lebih baik tidak tahu apapun.”Aku masuk lebih dulu sebelum Niel yang mengekor di belakangku. “Kau memberitahunya jika aku Gay?.” “Apa kau tidak lihat aku juga sama terkejutnya denganmu.”Aku berjalan menuju kamar untuk mengambil kamera yang ku taruh di rak. Niel masih mengekoriku bagai anak itik yang mengikuti induknya pergi. “Anaaaaa,”desahnya berlebihan. “kenapa kau berkencan dengan pria berbahaya.”Aku berbalik menatapnya, ceritanya sangat panjang. Niel pasti akan panik jika aku ceritakan tentang keluarga mafianya. “Dia hanya terlalu posesif. Kameranya sudah ada, ayo pergi.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN