Merepotkan Lagi

1041 Kata
Geo tidak mau bicara apa pun denganku. Aku tahu dia sedang marah perkara karya wisata ke Taman Safari. Itu memang keputusan sulit. Hanya saja, aku tidak mau menyebabkan ini menjadi beban Bayu. Aku tidak ingin Bayu memaksakan hal yang tidak bisa dia sanggupi. Biarlah Geo marah. Besok juga dia pasti akan kembali ceria seperti biasanya. Aku sedang memasukkan beberapa invoice ke dalam jurnal yang aku buat dan membiarkan Geo duduk di kursi dekat taman kedai. Anak itu masih tidak mau berdekatan denganku. Ketika aku tanya pun dia hanya diam. Terakhir aku lihat dia sedang memperhatikan ikan-ikan koi yang berenang di kolam yang ada di taman. Suara ketukan pintu terdengar, Ari tampak muncul setelahnya. "Aku ganggu enggak?" tanyanya seraya melangkah masuk. Pertanyaan itu seharusnya diajukan sebelum dia masuk ke ruangan ini. Memang ini ruangannya, tapi ada aku di sini, harusnya dia tidak seenaknya. Dia tiba-tiba saja mendorong sebuah amplop berwarna putih ke atas meja. Aku melirik dengan ujung mataku. "Apa itu, Mas?" tanyaku, tidak terlalu peduli. "Uang untuk membayar karya wisata Geo. Dan hari itu kamu boleh cuti untuk menemaninya." Aku yang sedang mengetikkan deretan angka menoleh cepat. Dahiku berkerut. Dari mana dia tahu soal ini? "Itu nggak aku kasih cuma-cuma. Aku potong dari gajimu bulan depan," lanjutnya sebelum aku mengutarakan protes. "Mas, aku...." "Pikirkan perasaan Geo. Kamu enggak lihat sekarang dia gimana?" Aku menarik napas dan mengembuskannya. "Nanti juga dia akan ceria lagi, Mas," ujarku membuang pandang. Sebenarnya aku juga tidak tega melihat Geo yang biasa ceria menjadi murung seperti itu. "Jangan tolak. Kalian harus berangkat. Jangan patahkan semangatnya, Va, kalau sebenarnya kamu bisa mengabulkan harapannya." Dengan cara berhutang. Aku tidak biasa berhutang kepada individu. Rasanya malu saat orang tahu kami masih belum bisa mencukupi kebutuhan. Meski aku paham konsep manusia makhluk sosial. Tapi, tetap saja untuk urusan hutang aku sebisa mungkin menghindari. "Mas, serius ini nggak...." "Aku potong gaji dari kamu, Va. Jangan keras kepala deh. Kamu nggak perlu bingung menjelaskannya sama suami kamu." Secara tidak langsung aku menunjukkan kekurangan suamiku. Ari pasti mengejek pilihanku. Membayar anak piknik sekolah saja tidak mampu. Ya Tuhan, kenapa pikiranku tidak pernah jernih jika itu menyangkut kelemahan Bayu sih? Aku memutuskan mengambil uang itu. Meski harga diriku agak sedikit tersentil. "Oke, tolong kamu catat itu. Dan aku akan mengingatkanmu kalau kamu lupa," pungkasku akhirnya. Aku mendapati senyum samar dari balik bibir Ari. Sudah aku duga dia pasti senang karena berhasil membuatku mau menerima bantuannya. Ah, aku makin merasa tidak enak padanya. Lelaki itu mendekat, dan menatapku lurus-lurus. "Riva, kalau ada apa-apa dan kamu enggak bisa mengatasinya, kamu bisa cerita padaku. Kalau aku mampu, aku akan membantu," ujar Ari. Suaranya terdengar begitu dalam di telingaku. "Aku nggak keberatan kamu jadikan tempat keluh kesah. Asal bisa meringankan bebanmu." Aku tidak bisa berkata apa-apa. Ucapan Ari seolah membuatku tersihir. Aku wanita biasa yang gampang goyah oleh ungkapan perhatian. Tapi rasanya tidak benar jika aku terpengaruh juga oleh ucapan lelaki yang bukan suamiku. Aku membuang muka, menekan rasa gugup yang tiba-tiba melanda. Aku bukan wanita istimewa, tapi kenapa Ari seolah-olah membuatku merasa berharga? "Mas, aku harus bekerja," ucapku akhirnya. Bagaimana aku bisa menjaga jarak jika dia saja selalu mendekat? Ari bergerak mundur dengan tatapan yang masih menyorot padaku. "Aku yakin kita masih memiliki perasaan yang sama," ujarnya lantas keluar meninggalkan aku sendiri. Apa yang dia harapkan sebenarnya? Aku menekan kepalaku yang mendadak berdenyut. Jika terus-terusan begini aku takut terjebak. Aku tidak mau itu terjadi. Aku berusaha terus memunculkan bayangan Bayu di kepalaku. Mengisi rongga yang sempat kosong sesaat. Namun ketika aku memikirkan Bayu, bayangan Ari berkelebat. Merusak memori yang sedang aku ingat tentang suamiku. Ya Tuhan, apa yang terjadi denganku? Geo kembali ceria lagi saat aku mengatakan dia jadi ikut karya wisata. Kebahagian anak itu seperti kembang api yang meledak di malam pergantian tahun. Sampai-sampai aku ikut tersenyum hanya karena melihatnya mau memamerkan giginya kembali. Geo menghujaniku dengan ciuman dan rasa terima kasih. "Tapi ngomong-ngomong dari mana Mama dapat uang itu?" tanya Geo ingin tahu. "Mama kan kerja." "Memang mama udah gajian?" "Belum sih, tapi Mama pinjem sama bos Mama dulu. Nanti kalau gajian Mama ganti." Geo mengangguk. "Mama pinjam sama Om Ari ya?" tanya bocah itu dengan suara pelan. "Iya, tapi Mama mohon kamu..." "Mama tenang aja, aku nggak akan kasih tau Papa," selanya cepat, membuatku secar refleks mengusap rambutnya. "Makasih ya udah tersenyum lagi ke Mama. Dan Mama minta maaf." Anak berambut tebal itu tiba-tiba menundukkan kepala. "Maafin aku, Ma. Aku tau Mama belum punya uang. Tapi aku pengin ke Taman Safari itu." Itulah Geo anak yang hampir berusia enam tahun yang berusaha mengerti keadaan orang tuanya. Tapi, namanya juga anak-anak dia pasti akan sedih jika teman-temannya piknik sementara dia hanya diam di rumah. "Aku janji kalau besar dan jadi orang sukses, aku mau ajak Mama dan Papa ke mana pun yang kalian ingin," ucap Geo. Kali ini dengan wajah terangkat penuh semangat. Aku tersenyum senang mendengarnya dan serta merta menarik anak itu ke pelukan. "Jangan janji dulu. Yang penting kamu sekarang sekolah yang baik, biar jadi anak sukses. Sukses dunia dan akhirat," kataku lantas mengecup puncak kepalanya. "Ada apa ini? Kok peluk-pelukan?" Kami serempak menoleh mendengar suara Bayu. Kapan dia pulang? Aku tidak mendengar suara motornya. "Papa!" seru Geo dan langsung menghambur ke pelukan Bayu. Bayu segera berlutut untuk menyambut anak itu. "Anak Papa kayaknya seneng banget. Ada apa?" "Seneng dong, Pa. Kan aku jadi ikut ke Taman Safari sama teman-teman," tutur Geo, kedua tangannya memeluk leher Bayu. Sementara tubuh mungilnya sudah berada di gendongan Bayu. Bayu mengerutkan kening, tampak bingung. Lalu tatapnya bergeser padaku. "Geo jadi ikut?" tanyanya memastikan. Aku mengangguk. "Ya, Mas. Aku nggak tega liat dia sedih. Jadi, terpaksa aku kasbon ke kedai." "Memang boleh?" tanya Bayu tak yakin. "Boleh, uangnya sudah aku dapat malah. Besok aku setor ke wali kelas Geo." Bayu mendudukkan Geo ke atas kursi. "Wah, kamu bakal belajar banyak di sana, Geo." "Iya, dong. Aku udah nggak sabar, Pa." Aku beranjak menuju dapur untuk menyeduh kopi. Tanpa aku sadar ternyata Bayu juga ikut beranjak ke dapur. "Bos kamu baik banget ya, Va. Setelah motor sekarang dia bolehin kamu kasbon. Memiliki bos baik juga rejeki lho, Va," ujarnya terdengar santai. Tapi tidak dengan aku. Mendadak dadaku berdetak kencang. Takut kalau sampai Bayu tanya tentang siapa sebenarnya bos tempatku bekerja.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN