Satu Fakta yang membuatku benar-benar tak habis mengerti. Ari bercerai dengan istrinya. Itu artinya sekarang dia duda. Kembali bertemu mantan dengan predikat duda itu terlalu bahaya. Apa lagi Ari tampak ngotot memintaku kembali. Mendadak kepalaku berdenyut sepanjang perjalanan pulang ke rumah. Perasaanku tak nyaman.
Ari menurunkan aku dan Geo di tempat yang sama seperti kemarin. Tidak sampai ke depan rumah. Selain memang rumahku yang sangat sederhana, aku juga tidak mau jadi bahan pergunjingan lagi. Aku sudah terlalu kenyang menjadi gunjingan tetangga.
"Ma, kok Mama diam aja?" tanya Geo sembari menyentak tanganku yang menggenggam tangannya.
Aku menoleh dan tersenyum. "Mama nggak apa-apa kok. Geo lapar?"
Anak lima tahun itu menatapku heran. "Kan tadi udah makan. Masa lapar lagi?"
Ah! Aku merasa benar-benar kacau sampai lupa kalau kami baru saja pulang dari sebuah tempat makan. "Oh iya, Mama lupa. Mmm, apa kamu mau kue?"
Geo menggeleng. "Enggak, Ma. Geo capek mau bobo."
"Oke, sebentar lagi kita sampai."
Aku masih seperti orang linglung ketika sampai rumah. Geo sendiri langsung berlari ke kamarnya. Dan beberapa menit kemudian dia kembali lagi memintaku untuk membacakan cerita.
Tidak membutuhkan waktu lama menidurkan Geo. Anak itu langsung pulas bahkan sebelum aku menghabiskan satu cerita. Hari ini dia terlihat bahagia bertemu lagi dengan Ari. Anak itu tidak tahu kegelisahan ibunya. Ketika hendak memejamkan mata pun kepalaku masih saja memikirkan perkataan Ari. Tentang statusnya, tentang perasaannya, dan tentang keinginannya yang mau aku kembali.
Sebagai seorang wanita ada kebanggaan tersendiri mengetahui ternyata mantan masih memiliki perasaan. Hanya saja itu tak lantas membuatku menutup mata, apa lagi sampai terlena. Menduakan Bayu tidak pernah terlintas di benakku. Apa lagi kembali ke masa lalu. Secuil pun aku tidak pernah berpikiran ke arah sana. Setidaknya sampai bertemu Ari kembali.
Ari dengan segala kelebihan yang seolah-olah mengundangku untuk mendekat. Yang seakan-akan memiliki kekuatan untuk bisa merengkuhku lagi. Bukan seperti Ari yang dulu, yang belum memiliki taring.
Aku mengembuskan napas lelah. Memikirkan Ari, hanya membuatku kehilangan rasa syukur dengan kehidupanku sekarang. Bola mataku bergerak ke sisi kiri, Geo tampak terlelap dengan napas teratur. Duplikat Bayu itu yang akan menjadi tameng agar aku tidak mudah goyah.
Tanganku terjulur, menyingkirkan poni Geo yang sudah panjang lagi, hampir menutup mata. Rambutnya yang tebal dan gampang panjang sangat mirip dengan Bayu. Semua yang ada pada diri anak itu ada pada Bayu juga. Aku seperti tidak menyumbangkan apa pun di sana. Hanya kebagian jatah melahirkannya saja.
Senyumku terulas hanya karena ingat candaan itu dengan Bayu. Lelaki itu bilang gen-nya itu bibit unggul makanya menguasai waktu pembuahan di dalam rahim. Aku mencebik dan tidak terima kalau Bayu sudah berkata begitu. Lalu aku akan membalas.
"Anak yang mirip bapaknya, artinya bapaknya yang bucin sama emaknya."
Bayu terkekeh dan tidak membantah. Dia menarik pinggangku dan akan mendaratkan kecupannya pada pipiku. "Aku enggak akan menyangkal. Aku memang bucin abis sama kamu, Riva. Makanya jangan pernah berpikir buat ninggalin aku." Lalu dia akan mendusel manja di lekuk leherku. Jika kebetulan Geo sudah tertidur, kemanjaannya akan berlanjut di atas ranjang.
Lagi-lagi senyumku tersungging hanya karena memikirkan momen-momen bersama Bayu. Memikirkan hal-hal manis adalah caraku tetap menjaga keutuhan cinta terhadap lelaki itu. Dan selama menjalani hidup dengan Bayu, tak secuil pun bayangan Ari berkelebat. Hariku terlalu sibuk untuk memikirkan sesuatu yang sia-sia. Aku selalu mengira Ari pasti sudah mendapatkan kebahagiaannya. Dan nyatanya memang benar. Hidupnya sudah lebih dari layak. Tidak seperti hidupku yang rasanya masih saja harus terus merangkak.
Lelah, tapi harus tetap dilewati dengan sabar.
Aku terjaga ketika mendengar suara kunci yang diputar. Tatapku sontak bergulir ke arah jam dinding. Pukul empat sore, pantas saja Bayu sudah pulang. Menemani Geo tidur dan menumpuk berbagai hal di kepala membuatku tak sadar memejamkan mata.
"Loh kamu baru bangun, Va?" tanya Bayu saat mendapatiku berwajah kucel lantaran baru bangun tidur.
Aku nyengir. "Maaf ya, Mas. Aku ketiduran pas bacain cerita Geo."
Bayu tersenyum, tidak marah sama sekali meskipun pulang kerja melihatku belum rapi. "Ya udah mandi, gih. Atau mau mandi bareng? Kayaknya Geo masih tidur tuh," goda Bayu seraya mengerlingkan sebelah mata.
Aku mendelik, tapi kemudian terkekeh. Jika ada kesempatan memang kami kerap menciptakan momen keintiman yang mengesankan. Itulah sebabnya aku tak pernah bosan bersama Bayu. Meskipun secara tampang dan materi lebih bagus Ari ke mana-mana.
Jika Bayu memiliki mata yang teduh, Ari memiliki mata yang tajam. Tone kulit Bayu sawo matang, sementara Ari lebih putih dan terlihat bersih. Keduanya memiliki garis wajah yang sangat berbeda dengan kelebihannya masing-masing. Ya Tuhan! Kenapa aku jadi membandingkan mereka?
"Kamu masak apa, Va?" tanya Bayu menghampiri meja makan. Aku menyusulnya di belakang.
"Aku baru masak nasi, dan belum sempat masak sayur."
"Jadi, siang tadi kalian makan apa?" tanya Bayu dengan raut muka cemas. Sungguh, tidak makan sekali tidak akan membuat kami mati, tapi Bayu selalu saja membuatnya menjadi hal serius.
"Kami makan. Tadi Geo minta beli fried chicken. Jadi, kami beli di luar," ujarku yang tentu saja tidak berani jujur.
Bayu mengembuskan napas. "Duitnya ada?" tanya dia hati-hati.
Aku yang mengerti maksud ucapannya tersenyum. "Ada kok. Kamu nggak usah khawatir. Kamu laper? Mau aku masak sekarang?" Aku sudah bersiap akan menggulung lengan baju ketika Bayu menggeleng dan mendekapku dari belakang.
"Terima kasih ya, udah mau bersabar hidup sama aku. Aku pastikan setelah rumah ini lunas dan motorku lunas, aku akan memberi uang belanja yang cukup. Dan, kita mungkin bisa makan di luar bersama-sama lagi," ucap Bayu menenggelamkan kepalanya di pundakku.
Aku menepuk-nepuk lengannya yang melingkari perutku. "Kenapa kamu yang berterima kasih sih? Harusnya kami dong. Aku dan Geo yang harusnya berterima kasih karena kamu mau mengurus dan menafkahi kami."
"Aku masih banyak kekurangan, Riva. Bukannya membuatmu bahagia malah membawamu ikut sengsara bersama."
Sengsara? Aku tidak separah itu. Hidup dengan Bayu memang pas-pasan, tapi aku tidak kekurangan.
"Kata-katamu itu berlebihan, Mas. Aku dan Geo bahagia. jangan ngomong aneh-aneh lagi. Udah sana, katanya mau mandi." Aku melepas pelan dekapannya. "Aku juga mau masak."
Bayu tersenyum jail. "Kalau masaknya nanti gimana? Mumpung Geo masih tidur, kita mandi bareng aja."
Kekehan singkatku kembali meluncur. Tidak menolak keinginan Bayu, aku pun mengangguk. Kami bergerak bersama menuju kamar mandi mini yang ada di tengah-tengah antara kamarku dan kamar Geo.
"Jangan berisik ya, nanti Geo bangun," bisik Bayu. Membuatku menahan tawa.
"Memang kita mau ngapain? Main drum?"
"Enggak. Tapi, gesek biola," sahutnya, membuat mataku melebar. Dengan gemas aku memukul lengannya.
"Biola siapa yang digesek?" sambutku menaikkan kedua alis.
"Biola kamu dong. Masa biola Bu Sunah," sahutnya lantas tawa kami pecah. Namun, tak lama karena sadar Geo bisa-bisa terbangun dari mimpi indahnya.
Sekedar informasi, Bu Sunah itu tetangga blok sebelah yang genit dan dandanannya selalu menor tiap waktu.