"Sup krim jagung!" seru Chilla saat Ari bertanya mau makan apa.
"Sup krim jagung?" Geo membeo.
"Iya, Kak. Enak loh. Kak Geo pernah coba belum?"
Bocah lelaki itu menggeleng. "Mama nggak pernah masak sup jagung, paling sup ceker."
Aku terkekeh demi mendengar obrolan kedua anak itu. Aku terlalu sering memasak sup buat Geo. Dia sudah sangat terbiasa dan mahir soal rasa.
"Sup krim jagung enak. Kak Geo harus mencicipinya."
"Oke."
Aku yang sedang memperhatikan keduanya menoleh lantaran mendapat colekan dari Ari. Aku mengernyit dengan maksud bertanya.
"Mereka cocok banget jadi adik kaka kan?" tanya Ari dengan nada pelan. Agar suaranya tidak terlalu terdengar.
Aku memundurkan badan dan menggeleng. "Mereka lebih cocok berteman kurasa. Anak kecil kan begitu, mudah akrab."
"Ada juga yang malu-malu. Bahkan sampe besar juga ada yang masih malu-malu. Kayak kamu dulu." Ari nyengir lalu menutup buku menu. Dan memanggil pegawainya.
Dia mulai lagi. Membuka kenangan lama yang sama sekali tidak ingin aku ingat.
"Boleh engga sih Pa, kalau sekolah TK Chilla di sekolahnya Kak Geo aja?" tanya Chilla.
Aku beneran heran magic apa yang Geo bawa sampai-sampai Chilla mau selalu dekat dengan Geo?
"Waktu itu Kak Geo sudah masuk SD, Sayang. Kamu nggak bisa bertemu dia di sana," sahut Ari, membuat bibir mungil putrinya mencebik. "Memang kenapa sih kamu mau sekolah di sana?"
"Kan pengin biar ada Kak Geo nya."
Aku menatap peri kecil itu dan tersenyum. "Kan teman Chilla banyak di sekolah Chilla yang sekarang."
Bocah tiga tahun itu mengangguk. "Banyak, tapi kalau teman laki-lakinya nakal. Suka merebut mainan. Aku enggak suka, Tante."
"Kalau gitu kamu temenannya sama yang perempuan saja," sahut Ari.
Chilla menunduk. "Chilla suka sih temenan sama perempuan, tapi kadang mereka juga nakal, mainannya nggak mau gantian."
Entah kenapa aku iba mendengar penuturan anak itu. Anak-anak cenderung mengucapkan dengan jujur apa yang dia rasakan.
"Terus mereka punya mama. Dijemput sama mamanya. Kalau Chilla cuma dijemput suster kalau enggak ya sama Papi." Chilla menggembungkan pipinya setelah mengatakan itu. Dia lalu menatapku. "Kalau Chilla bisa sekolah sama Kak Geo. Kan sekalian Tante jemput Chilla juga. Iya kan, Tante?"
Aku mengerjap. Bingung mau menjawab apa. Ari sendiri hanya tersenyum tipis mendengar putrinya berkata begitu.
Tidak ada pilihan lain. Aku tidak mungkin mematahkan harapan anak berumur tiga tahun itu. "Ya, tentu, Sayang. Tapi seperti yang Papi kamu bilang. Kalau Chilla TK itu artinya Kak Geo sudah masuk SD dan nggak sekolah di situ lagi."
Gadis cilik berkucir dua itu mendesah. "Kenapa sih? Chilla nggak lahirnya bareng sama Kak Geo aja."
"Kalau barengan nanti kamu enggak punya kakak," timpal Geo. Membuat mata bulat Chilla mengerjap-ngerjap. Setelahnya dia terkekeh.
"Jadi, Chilla dan Geo mau pesan sup krim jagung?" tanya Ari mengalihkan perhatian. Pegawai yang dia panggil sudah bersiap mencatat menu yang akan kami pesan.
"Geo jangan, Mas. Dia nggak biasa. Nanti malah enggak dimakan," ucapku.
"Oke, Geo. Mau apa?"
"Aku ay..." Dia tidak melanjutkan kalimat dan melirikku, lalu tersenyum. "Sup wortel aja."
"Kayaknya di sini nggak ada sup wortel deh. Paling sup ayam sama sup daging," sahut Ari, membuka kembali buku menu. Lalu menunjukkan sebuah gambar kepada Geo.
"Kalau sup ayam kan mama sering buat. Jadi, aku sup daging aja deh."
"Oke. Good choice, Boy."
Geo terlihat sangat antusias makan siang kali ini. Setelah makan siang kedua anak itu bermain di area playground indoor. Oh iya, kedai Ari yang ada di otista ini dilengkapi playground indoor. Orang tua bisa mengawasi anak-anaknya sembari menikmati menu.
"Chilla masih butuh sosok seorang ibu, Mas. Apa kamu nggak kepikiran buat memperbaiki hubungan kamu sama mantan kamu?" tanyaku di sela-sela menikmati menu dessert. Aku memilih es krim berbentuk kapsul dengan rasa kacang tanah.
"Sama kamu maksudnya? Mantanku kan kamu," sahut Ari, terkekeh.
Aku berdecak dan meliriknya sebal. Lalu memasukkan satu sendok es krim ke dalam mulut.
"Apa yang aku bilang bener, kan?" Ari menaikkan sebelah alisnya.
"Mantan istri, Mas."
Harus banget ya aku tegasin?
Ari tertawa. Tawa yang masih sama seperti dulu. Terdengar renyah dan tidak dibuat-buat.
"Aku nggak mungkin balikan sama Della," ujarnya setelah tawanya reda. "buat apa aku cerai sama dia kalau ujung-ujungnya balikan? Lagi pula dia juga sudah menemukan penggantiku. Dan kurasa dia sudah bahagia dengan kehidupannya yang sekarang."
Aku urung menyendok es krim lagi dan memutuskan menatap Ari, mencoba mencari jejak kesedihan atau penyesalan di sana. Tapi, aku tidak menemukannya. Wajahnya tampak biasa saja.
"Kalau begitu kamu carikan ibu baru buat Chilla. Seumuran dia masih butuh sosok ibu."
"Buat apa?" Ari membalas tatapanku. "Kan udah ada kamu."
Lagi-lagi dia menjawab ngawur. "Aku serius."
"Aku juga serius, Va. Mau kan kamu jadi ibu Chilla?"
Aku membuang muka, lalu kulempar pandangan, mengawasi Chilla dan Geo yang sedang main perosotan. Tidak mau merespons. Pertanyaan Ari tidak pada tempatnya.
"Kok nggak dijawab?"
"Itu pertanyaan yang nggak perlu aku jawab."
Ari terkekeh melihat reaksiku. Padahal aku menunjukkan ekspresi tak nyaman. "Riva, Riva. Kamu tau enggak sih aku bersyukur banget bisa bertemu kamu?"
Dan, aku merasa di ambang bencana berjumpa dengannya lagi. Dan anehnya aku malah tetap diam, dan bertahan berdiri di sisi bencana itu.
"Akan lebih baik kamu segera mencari istri dan ibu baru buat Chilla," ujarku setengah bergumam.
"Sedang aku usahakan," sahut Ari dengan tatapan yang sulit aku artikan.
Aku menengok jam di pergelangan tangan. "Boleh aku pulang sekarang?"
"Kamu yakin akan memotong kebahagiaan mereka lagi?" tanya Ari menunjuk Chilla dan Geo yang sedang bermain penjual dan pembeli.
"Mereka sudah bermain satu jam lebih, Mas. Yang namanya anak-anak mah nggak ada capeknya kalau soal bermain." Aku beranjak berdiri lalu berjalan menuju pembatas playground.
"Chilla, Geo! Waktu mainnya selesai!" seruku sembari menunjuk jam tangan.
Mereka tampak kecewa, tapi menurut untuk menyelesaikan jam bermainnya.
"Kak Geo sama Tante mau pulang ya?" tanya Chilla sesampainya di hadapanku.
"Iya, Sayang. Sudah waktunya buat bobo siang."
"Terus main laginya kapan?" tanya Chilla dengan bibir maju.
"Nanti ya, Chilla. Kalau liburan, kita main lagi," sahut Geo, seperti seorang kakak memberi pengertian kepada adiknya. Dan ajaibnya Chilla langsung mengangguk patuh.
"Papi! Kita anter Kak Geo ke rumahnya," seru Chilla sembari berlarian menghampiri Ari yang masih duduk di sofa.
"Kayaknya kita nggak anter. Soalnya Tante Riva bawa motor. Gimana kalau kita anter sampe parkiran aja?"
"Yaah..."
Aku hanya tersenyum melihat Chilla yang sepertinya merasa berat banget berpisah dengan Geo. Saat di parkiran bahkan dia mengatur janji temu lagi.
"Sampai ketemu lagi, Chilla!" ucap Geo melambai, sebelum motor kami bergerak.
Chilla membalasnya penuh semangat. Senyumnya terukir lebar sembari terus melambaikan tangan.