DUA PULUH LIMA: BUBAR BARISAN, JALAN!

1327 Kata
Acara langsung bubar karena mood Nenek yang juga bubar. Mendadak beliau marah dan kecewa karena Mei sudah bertunangan tapi bukan sama Jun. "Udah dibaik - baiiin malah nikahnya sama yang lain!" Neneknya masih terus mengomel di dalam rumah. Halaman belakang masih berantakan. Beberapa makanan sisa juga masih di sana. Bahkan Jun lihat karena buru - buru, Mama dan Papa sampai lupa bawain makanan jatahnya April. "Sudah, Bu. Inget tensinya, besok perjalanan jauh, jangan sampai drop." Mama mengingatkan. Tapi bukannya mereda, Nenek malah semakin bersemangat meluapkan kekesalannya. "Aku kan udah bilang sama kamu lama kalau Jun sama Mei itu cocok, diem aja, sih! Kan jadi diambil orang lain!" Jun melongo karena sekarang malah jadi salah Bundanya. Bunda yang dituduh begitu hanya menghela nafas panjang. Nenek memang agak beda dari yang lain. Kalau sudah marah, ditenangin susah. Tapi kalau nggak ditenangin ngambek, katanya nggak ada yang perhatian sama beliau. "Nek…" Dia mencoba menengahi. "Kamu juga!" Apa? Kok malah tambah marah, sih?! , “Umur udah tiga puluh tahun, kepikiran buat cari istri aja nggak! Lihat itu, Mei udah jadi tunangannya orang! Kamu, sih!” Jun melongo. Kok sekarang jadi umurnya dibawa - bawa, status lajangnya juga. Kan nggak ada hubungannya dengan Mei! Lama Jun terpancing juga. Tapi dicobanya untuk tetap tenang. Nggak keren dong, bentak nenek - nenek. Apalagi Neneknya sendiri. Masih takut kuwalat dia. “Nek, Mei sama Jun nggak pernah punya hubungan ke arah sana. Kalau selama ini Nenek mengira akan ada apa - apa antara Mei sama Jun, maaf, Jun nggak bisa mengabulkan. Bagi Jun, Mei cuma adik perempuan Jun. Dan Jun belum menikah bukan karena nggak ingin, tapi…” “Karena belum ada yang cocok? Klise banget!” Neneknya memotong sebelum dia bisa menyelesaikannya. “Kurangnya mei tuh apa? Dia cantik, pinter, baik, kalian kenal sejak kecil… jangan - jangan kamu sukanya sama adiknya? Si April - April itu?! Seleramu loh, Jun.” “Ibu, jangan gitu.” Bunda terkesiap kaget mendengar penuturan Nenek. Ibu memang tau kalau sejak dulu favorit mertuanya itu Mei. Tapi dia nggak menyangka Nenek Jun mampu berbicara seperti itu tentang April. Kedua gadis itu sudah Bunda anggap seperti putri sendiri. Rasanya nggak rela kalau ada yang menjelekkan salah satunya seperti itu. Sementara itu Jun di sebelah Bunda sudah lain lagi raksinya. Tangannya mengepal dan rahangnya mengetat kaku. “Jun tau Nenek suka sama Mei dan nggak terlalu suka sama April. Anaknya juga tau tentang itu. Jun nggak peduli lagi alasannya apa. Tapi jangan pernah membandingkn mereka berdua di depan Jun! Bun, Jun pamit mau ke sebelah.” *** Sejak pulang tadi, April langsung bebersih dan masuk kamar. Rebahan sambil masih mewek. Dari kamarnya yang letaknya agak di belakang, dia bisa mendengar gelak tawa sampai akhirnya lagi selamat ulang tahun dinyanyikan untuk Mei, kakaknya. Dia juga mendengar suara keras Nenek yang seperti membubarkan acara yang belum selesai itu. Gimana selesai, kan baru saja nyanyi - nyanyi, masa udah selesai aja nggak sampai lima menit kemudian? Jadi saat mendengar pintu depan rumahnya terbuka, April beranjak dari kasurnya, mengecek penampilannya yang sembab dan pucat di cermin lalu keluar menemui siapapun yang pulang. Kepo dia. Dia kaget saat menemukan Mama, Papa, Mei, Didit dan beberapa teman Mei yang tadi sempat dilihatnya sekilas di sebelah. Loh kok semuanya yang pulang? “Ada apa?” Tanyanya pelan karena wajah mereka semua perpaduan antara bingung, malu dan marah. Terutama Mei. Mama malah sudah menangis terang - terangan di pelukan Papa walaupun nggak kencang - kencang amat. Ada apa, ini? “Kak? Kenapa?” Dia mendekat pada Mei, bertanya pertanyaan yang sama. “Nggak habis pikir gue sumpah!” Hanya itu jawaban rancu Mei terhadap pertanyaan April. Membuat gadis yang lebih muda tiga tahun darinya itu mengernyit bingung. “Pril, bikinin minum, dong, kasihan temen - temen gue.” April mengangguk, lalu beranjak dari sana untuk membuat apa yang diminta Mei. Dia masih pusing, tapi dia tau, dia nggak akan dapat apapun sekarang kalau memaksa bertanya. Mungkin nanti Papa atau Mama mau menceritakan padanya kronologinya. April membuat minuman hangat di dapur. Teh. Dia menyiapkan juga beberapa camilan yang ada di rumah untuk Mama, Papa, dan teman - teman kakaknya. Saat sudah siap, dan dia membawa semuanya ke ruang tamu, dia mendengar suara cek cok Didit dan Mei. Jun juga namanya disebut - sebut di sana, membuat langkahnya melambat dengan dahi mengernyit, mencoba mencerna situasi asing dan aneh ini. Perasaan tadi waktu pulang dia yang badmood. Sekarang malah Kakaknya yang berantem sama tunangannya? “Kalo nggak ada apa - apa kenapa Nenek itu bilang gitu tadi?!” Didit bertanya ngotot. “Aku nggak tau, Yang! Selama ini Bang Jun sama aku nggak ada hubungan yang seperti itu! Percaya, dong sama aku!” Mei memekik. “Aku selama ini percaya sama kamu, tapi yang barusan itu…” “Nak Didit…” Itu suara Papa. April bersandar ke tembok, mencengkeram nampannya lebih erat dengan kedua jarinya. Sebenarnya tadi di sana ada apa? Kok mereka malah nerantem di sini. Di depan Mama Papa? Di depan teman - temannya? “Kami kurang lebih mengerti perasaan Nak Didit, kamu juga kaget. Papa minta maaf sama Mei, Nak Didit dan teman - teman Anak Papa semuanya karena acara hari ini harus berakhir begini. Tapi setau Papa, Nak Didit. Mei dan Abangnya Jun sama sekali nggak ada hubungan ke arah sana. Mereka cuma sebatas adik kakak saja. Papa yakin, Mei nggak akan mengijinkan Nak Didit datang ke rumah dan melamarnya kalau urusan perasaannya belum selesai.” Terang Papa panjang lebar. “Tapi Pa…” “Nak Didit, pondasi hubungan yang serius itu saling percaya. Karena hal kaya gini bukan hal yang setelah selesai nggak akan ada lagi. Kedepannya, yang lebih berat pasti banyak bermunculan, apalagi kalau kalian sudah menikah. Kalau Nak Didit niatnya mencari klarifikasi, Papa nggak papa. Tapi kalau untuk mempertanyakan lalu meragukan, maaf, sepertinya Papa harus berpikir ulang tentang status kalian ke depan.” Eh, buset! Papa?! “Papa!” Karena suasana mendadak jadi sedikit di luar kendali, April memutuskan untuk keluar, menyajikan minum. Berharap sedikit distraksi darinya ini bisa meredakan letupan yang siap meledak tadi. Baru selesai dia memindahkan apa - apa yang dibawanya di atas nampak ke meja, pintu depan kembali terbuka. Kali ini tanpa ketukan tanpa salam… benar, siapa lagi kalau bukan Junaidi Salim. Jun datang, dan tension yang sedari tadi terasa di ruang tamu dan sudah mulai turun kini kembali naik lagi. April beranjak sepelan mungkin pergi dari sana. Sepertinya kalau lama - lama berada di sana, dia bisa sesak nafas. Tapi baru saja hendak berbalik, Jun sudah memanggilnya. “Pril.” April meringis, menoleh pada Jun. “Ma, Pa. Ini kuenya ulang tahunnya Mei. Jun bawa ke sini aja biar kemakan. Lo, ikut gue.” Jun selesai meletakkan kue ulang tahun Mei di meja, lalu menunjuk April. April yang ditunjuk mendadak merinding. Mampus, gue mau diapain sama itu raksasa? Sebelum dia sadar apalagi beranjak dari sana untuk menghindar, Jun sudah berada di sampingnya. Tangan kirinya mencengkeram pergelangan tangannya, sementara tangannya yang lain membawa nampan yang ditutup. “Eh, eh, mau ngapain eeh?? Lepas, ih!” “Berisik! Jalan aja.” Protesnya sama sekali nggak membuahkan hasil. Jun terus menyeretnya menjauh dari ruang tamu dan baru melepaskan cekalan tangannya setelah mereka sampai di ruang tamu. “Ih, Jun apa - apaan, lo!” April mendesis sebal. “Duduk!” “Ogah…” “Gue bilang duduk.” April menurut karena nada suara yang digunakan Jun sudah nggak lucu dan terdengar amat serius sekarang. Ada apa, sih ini sebenarnya?! Bekum sempat April bertanya, Jun sudah menyodorkan napan yang dibawanya ke meja di depan April. “Gue tau lo belum makan. Jadi makan dulu.” Jeda. Saking pelotot. April kalah. Bukan, April yang mengalah, soalnya matanya sakit dibuat melotot begitu. Efek kebanyakan nangis, rasanya seperti ditarik, perih banget dan kepalanya juga malah jadi cenut - cenut sama kaya judul lagi boyband Indonesia awal tahun 2000 an dulu. “Lo abis nangis? Kenapa?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN