April langsung masuk ke dalam gedung tanpa menunggu Jun. Bodo amat juga sih, Jun mau bilang apaan. Emang ngaruh gitu sama kehidupan dia. Jun juga nggak bakal mendadak langsung menyatakan cinta ke April. Jadi ngapain di sana lama - lama debat kusir tentang sesuatu yang nggak pernah terjadi? April masih perawan. April nggak pernah macem - macem di koridor yang itu, walaupun mungkin dia sudah nakal banget di koridor yang lain.
Lagian, mereka sudah telat banget. Jun sih terserah. Tapi April walaupun jabatannya sekarang sebagai sekretaris Jun, tetap saja terikat pada jam kantor.
“Pril? Baru dateng?”
Dia bertemu Septi saat di pintu lift. Ibu satu anak itu memang kantornya di lantai dasar. Dan dia habis ambil minum kayaknya, kalau dilihat dari botol minum yang dia genggam. April melambai dan tersenyum membalas sapaannya.
“Iya, tadi nemenin pak Jun dari luar, ini baru sampe kantor. Rempong ya jadi sekretaris.” April mendesah dramatis. Padahal sesaat tadi dia bingung harus jawab apa kalau ada yang tanya mirip seperti Septi. Tapi mungkin karena Septi orangnya lurus dan nggak neko - neko. April percaya aja keterangannya nggak bakal dibelokkan. Paling nggak, nggak sama Septi sendiri.
“Tapi kan seneng, bareng terus sama cassanova kantor.”
Ya Ampun Septi, seandainya lo tau tingkahnya si cassanova kantor itu kaya gimana. Pasti lo nyesel bilang gitu. Maunya April bilang gitu, tapi dia cuma meringis aja.
“Duluan, ya. Ada kerjaan lain gue. Bye.”
“Bye.”
Dia masuk ke dalam lift dan memencet lantai empat. Gedung ini cuma empat… lima lah kalau rooftop alias pantry pusat dihitung. Harusnya sih, nggak perlu dipasangin lift segala, tapi mungkin yang punya gedung, atau designer gedungnya mager jalan naik turun tangga, makanya akhirnya dipasang lift.
Dia baru aja keluar dari lift dan berjalan beberapa langkah menuju ruangan Jun saat dia ditarik paksa seseorang ke toilet yang ada di pojokan. April sampe nyaris teriak karena nariknya bar - bar sekali. Dia takut jatuh! Tolong, dia kan lagi pakai high heels.
Setelah di lepas, dia menyibak rambutnya yang jatuh ke depan menutupi wajahnya dan berbalik. Siap untuk menghadapi siapapun yang nyaris bikin kakinya patah. Tapi niat tinggal niat karena dia langsung mengerjap - ngerjap kaget. Kalau di anime - anime, emosinya langsung turun dari Macan bengali ke kucing angora. Garang ke girang.
“Bu eh… Kak Sabrina?” Benar. Orang tersebut adalah Bu Sabrina yang entah bagaimana caranya kok bisa ada di sana pas April keluar dari lift dan langsung menariknya ke toilet yang juga kebetulan sepi.
“Saya kan udah bilang ke kamu buat bilang nggak kalo Mas Juned ngajak kamu ke Bali. Bukan buat cancel Mas Juned ke Bali dan diganti sama Eric! Kamu tuh gimana, sih! Masa hal simple kaya gitu aja nggak paham - paham.”
“Maaf? Maksud Kakak?”
“Saya mau bikin perhitungan sama kamu! Gara - gara kamu saya nggak jadi pergi ke Bali bareng Mas Juned, dan malah pergi sama Eric!”
“E… sebentar Kak. Tapi saya nggak ada hubungannya…”
“Mana mungkin nggak ada! Kamu kan sekretarisnya. Kamu yang ngaturin semua jadwal Mas Juned!” Sergah Bu Sabrina garang.
“Nggak gitu Kak. Beneran!” April berusaha menjelaskan. “Saya emang sempet tanya sama Pak Jun soal invitation ke Bali…”
“Terus kenapa kamu sabotase?! Kamu nggak suka lihat saya deketan sama Mas Jun? Kamu ada hubungan apa sebenarnya sama Mas Jun?!”
Ampun, ampun, ampun! Kok jadi begini, sih.
“Kak Sabrina dengerin saya dulu. Itu semua keputusan dari direksi. Saya nggak tau apa - apa.”
“Alah nggak usah ngeles!”
“Nggak Bu.. eh, eh, Kak. Nggak kaya gitu.”
Asem, dia keceplosan. Dan wajah Bu Sabrina seketika menggelap marah.
“Kamu nggak suka lihat saya deket sama Mas Juned? Pengen sabotase kesempatan yang saya punya karena sekarang kamu sekretarisnya? Kamu cemburu? Dipikir lagi, Mas Juned emang selalu baik sih, sama kamu. Makanya kamu ke GR an? Sekarang udah terang - terangan juga berangkat dan pulang bareng sama Mas Juned?! Udah ngerasa hebat kamu?!”
“Nggak gitu, kak, beneran saya nggak ada maksud kaya gitu.” April masih berusaha menerangkan, tapi kalimatnya disanggah terus oleh Bu Sabrina.
“Alah nggak usah banyak alasan! Ngaku aja! Sebenernya kamu suka juga kan sama Mas Juned?! Kamu Baper karena Mas Juned baik sama kamu! Inget ya, Mas Juned cuma milik saya! Nggak ada satu orang pun di kantor ini yang layak buat Mas Juned selain saya!”
“Iya Bu.. iya, nggak ada. Tapi dengerin saya dulu, bukan saya…”
“Nggak perlu banyak alesan! Sekali lagi kamu sok kecentilan di depan Mas Jun dan bikin saya tersingkir, saya bakal bikin perhitungan sama iamu! Dan seperti yang kamu tau, saya nggak pernah main - main dengan omongan saya! Kali ini kamu saya lepas. Kalau sampai ada lain kali... “ Bu Sabrina memukul telapak tangan kirinya dengan tangan kanannya yang mengepal. Membuat April menelan ludah susah payah.
Cuma begitu, lalu wanita yang lebih matang darinya itu pergi meninggalkan toilet membuat April bingung, galau dan kalut. Dia bingung karena Bu Sabrina berasumsi bahwa dia yang menggagalkan misi berduaannya di pulau dewata bersama Jun, galau karena dia nggak bisa menjelaskan, dan kalut karena dia tau, Bu Sabrina bukan orang yang ember. Tapi omongannya dipercaya semua orang. Dia punya power sebesar itu memang untuk menggerakkan massa.
Dering ponsel mencegahnya dari tersesat dalam labirin otaknya. Dia segera mencari ponselnya dan buru - buru mengangkatnya bahkan tanpa membaca nama si penelpon yang tertera di layar.
“Halo?”
“Lo di mana, deh! Perasaan tadi duluan lo kok lo belum sampe sini?!”
Jun?!
“Eeeh kebelet. Ke toilet dulu.”
“Lama bener. Lo pee apa poo?!”
“Antri Juni antri. Gue yang baling terakhir. Tapi ini gue uda kelar kok. Dah tutup ye, gue mau jalan ke ruangan.”
***
“Dari mana, sih?”
Sampai di ruangan, April masih ditagih lagi oleh Jun.
“Kan tadi dibilang dari toilet.”
“Lama bener. Lima belas menit di sana. Ngapain aja?”
“Ih kepo deh, lo. Kalo gue lagi dapet, ganti pembalut kan lama.”
“Tapi lo nggak lagi dapet.”
Lah Jun sok tau. Mana jawabnya manteb benget bikin April reflex mengernyit karena pernyataannya. Atau harus April bilang… terkaan?
“Kaya lo tau aja gue dapet apa nggaknya kapan.”
“Yang jelas bukan sekarang.”
“Kalo gue diare? Makanya gue lama di toilet?”
“Lo nggak lagi diare.”
Apaan, ini. Sumpah. Jun sok tau. Kaya yang pasti tau aja siklus April dan gimana April kalau pas lagi kena diare.
“Oh, gue emang tau.”
April melotot saat jawaban Jun seolah menjawab pertanyaan yang tadi digaungkannya di dalam kepala.
“Tau apa?!”
“Gue tau kapan siklus bulanan lo. Beberapa minggu lalu lo barusan dapet. Dan lo bakal dapet lagi kira - kira sekitar dua minggu lagi. Dan gue tau kalo lo diare, lo nggak akan berjalan tegap kaya barusan pas masuk. Usus lo sensitif, Pril.”
Sudah nggak kebayang lagi sekarang gimana merahnya wajah April mendengar penjelasan panjang Jun. Kok bisa Jun tau sedetail itu siklusnya?! Dia sama Mei aja nggak segituanya! Padahal mereka saudara! Cuma ada dua pilihan yang masuk akal di kepala April saat ini. Jun emang perhatian padanya, atau Jun ternyata adalah cowok freak yang suka ngintipin cewek pas lagi mens, dan kebetulan kamar mereka deketan kalau di rumah! Jadi April udah boleh curiga?
“Lo tau dari mana? Lo selama ini ngintipin gue, ya!”
“What?!”
“Terus kalau nggak gitu apa lagi?! Cuma itu penjelasan yang masuk akal tau!”
“Nggak! Gue nggak kaya gitu. Lagian ada yang lain yang lebih masuk akal!”
“Apa?!”
“Karena gue perhatian sama lo!”
Meskipun jantungnya sempat selip sekali, tapi April berhasil membuat wajah mau muntah di depan Jun. Dia juga merotasikan matanya tanda nggak percaya pada semua bualan Jun.
“Oyeah? Dan lo kira gue bakal percaya gitu? Like… Dude, Who am i to you actually? Sampai gue harus percaya lo seperhatian itu sama gue?"