Aku, kamu dan waktu.

1046 Kata
Aku, Kamu dan Waktu Melepaskan sesuatu yang sangat engkau cintai akan meninggalkan luka yang teramat dalam, biar waktu yang membuktikan pilihan sulit dimasa sekarang yang membuat hatimu terlilit kepedihan boleh jadi akan berguna dimasa depan. Tidak ada gunanya menghabiskan waktu pada harapan yang salah. Hanya tegar bak karang-karang dilautan beserta sabar bahwa suatu ketika waktu akan mengubah jalannya pikiran. Ya pikiran yang terlanjur bertumpu pada kesalahan hati, hati yg terlanjur mengendapkan rasa pada sebuah cinta yang tak nyata. Hati yang terbelengu, ijinkan aku menulis kisah ini agar ketika nanti pikiran telah mengambil keputusan untuk menghapus semua kenangan, aku masih dapat mengingat serpihan-serpihan manis yang ditutupi pekatnya kepedihan, untuk sekedar meyakinkan diri bahwa disaat itu kita memang benar-benar menikmati senja, hanya kita berdua. Pernah, aku berusaha semampu daya mencintai segenap jiwa, membelokkan masa lalu-mu, menunjukkan arah baru. Ya arah yang pernah kita rencanakan, lurus pada tujuan tak tercoret walau segoresan. Hingga akhirnya engkau terdiam, tak menginjinkanku menggaris masa lagi depan bersamamu. Maafkan aku hati, membuatmu berdarah untuk yang kedua kali. Tapi tentang kisah ini memang benar-benar tak dapat kukendalikan. Ia memberikanku tongkat disaat aku sekarat berjalan melompat lompat karena satu kaki yang berkianat. Lalu ia menemaniku berkelana dengan waktu, melintasi senja, menyambut terbitnya sang surya bersama. Aku tak pernah tau bahwa ia akan mengembalikanku ditempat kami bertemu. Tempat yang dipenuhi kesuraman masa lalu. Hati yang berdarah, ijinkan aku menyusun kenangan-kenangan indah bersamanya menjadi sebuah mozaik, agar tidak hanyut bersama pikiran yang ingin menenggelamkan semua kenangan. Adakalanya mungkin hal ini bermanfaat disaat aku menemukan kebahagian lain, untuk mengingat bahwa tuhan dengan takdirnya punya rencana yang lebih baik. Menunjukkan kebahagian yang semu, agar aku mengerti dimana letak cinta sejati. Aku akan memulai tentang janji, bahwa kita takkan pernah menyertakan rasa dalam setiap pertemuan yang ada, takkan menyertakan rindu untuk setiap waktu yang berlalu. Namun apa daya, aku juga manusia yang terbuai dalam kata, terlena dalam tawa seakan takdir bersama kita. Aku takkan pernah menyalahkanmu karena pernah mengobati satu luka dan membuat lubang di hati pada sisi lainnya. Hanya diri ini yang terlalu bodoh, terlalu cepat mengambil keputusan karena ingin berlari dari kesakitan. Hingga akhirnya waktu membenturkan kepalaku pada dinding kenyataan, membuyarkan semua lamunan. Ya bukan kah kenangan kita hanya suatu lamunan bagimu? Caramu untuk menyibukkan diri dari cinta tak direstui yang menghantuimu. Hingga akhirnya kau sadar, terjaga dari lamunanmu dan berlari meninggalkanku. ‘’Terkadang kita membutuhkan kisah cengeng untuk setiap realita kehidupan, butuh rasa untuk setiap karya sastra agar para pembaca terhanyut jiwanya, terusik hatinya bahwa hidup tak cukup jika hanya untuk mengejar impian pribadi, berjamaahlah, lemparlah togamu bersama-sama. Sampai disini, minggu depan kita lanjutkan tentang analisis sastra modern, setiap orang diharapkan membawa sebuah novel untuk dibahas’’ Begitu aku menutup perkuliahan, para mahasiswa berhamburan keluar, kecuali satu orang mahasiswi yang sibuk dengan catatannya. Segera aku membereskan bahan ajar dan beranjak meninggalkan kelas. Belum sampai dipintu, mahasiswi tadi meyapaku dari belakang. ‘’pak, maaf menganggu. Boleh saya berbicara sebentar tentang materi kita hari ini?’’ katanya. Aku terdiam, suara itu membangkitkan kenangan. Selayaknya sebuah layar lebar yang dibentangkan, dengan hangat memutar memori rindu, lalu hati pun menyanyikan sebait puisi. Jika terjadi lagi, tak perlulah janji untuk sekedar mengungkapkan isi hati, Tak perlu malu demi menebus rindu Tak perlu kata untuk berbagi rasa Jika terjadi lagi, tatapan mata itu akan kita jadikan titik bersatu, Perjalanan baru tanpa ragu Hingga kita menimang cucu Berbatas takdir yang telah di restu Jika terjadi lagi, banyak hal yang harus kita cari Menggali mimpi yang telah membenamkan diri, Hingga timbul bayangan nyata di bawah matahari, Lalu senyum pun menari-nari Jika terjadi lagi waktu yang sengaja kita buang Tumpullah semua duri yang merintang Hambarlah semua racun yang tergenang Penyesalan pun tak perlu terkenang jika terjadi lagi, kita bukanlah sekedar berpuisi ‘’pak maaf pak apa saya menganggu?’’ tanyanya sekali lagi. ‘’oh tidak, silahkan duduk. Kita bahas di kelas ini saja’’. Aku segera melirik jam tangan, setidaknya ada waktu 30 menit sebelum kelas ini dipakai untuk perkuliahan. Aku tak bisa menghindar, ini yang ketiga kalinya dia meminta untuk mendiskusikan tentang sebuah novel setelah selesai perkuliahan. Tak etis jika seorang dosen terkesan menghindar dari mahasiswa. Sebenarnya dia adalah sebuah cermin, dimana aku bisa melihat diriku dengan jelas. Minatnya terhadap sastra, kekagumannya pada bahasa, gairahnya pada puisi, caranya menambahkan rasa dalam sebuah kata agar lebih bermakna, perlawanannya terhadap kelalaian penguasa melalui prosa. Aku benar-benar dapat menyelami jiwa sendiri melaluinya. ‘’Pak begini’’ mahasiswi tersebut pun memulai pertanyaaannya. ‘’seringkali bahasa menciptakan fatamorgana, bahkan beberapa pembaca hanyut dalam kisah yang cengeng yang terlalu dipaksa untuk disamakan dengan dirinya. Akibatnya, pada beberapa bagian pembaca seperti telah mengetahui seluruh cerita walau hanya membaca beberapa kalimat. Seperti contohnya kutipan yang saya ambil dari novelnya tere liye yang berjudul ;sunset bersama rossi: “Aku harus segera menyibukkan diri. Membunuh dengan tega setiap kali kerinduan itu muncul. Berat sekali melakukannya, karena itu berarti aku harus menikam hatiku setiap detik.” Aku tersentak. Kini masa lalu seperti sedang menunjukkan diri, luka lama bak menari-nari. Itu adalah novel yang sering k****a untuk sekedar memindahkan kisahku. Disaat itu aku yakin, aku tidak sedang mengalami patah hati, aku hanya terbawa emosi karena terlalu mendalami cerita. Tapi sekarang dia mengingatkanku akan semuanya. Dia memang aku, tapi dia juga kamu. Melihatnya, aku seperti melihat semangatku, hobiku, diriku. Tapi mata tak bisa berbohong, dia adalah kamu, dia memiliki matamu, dia memiliki parasmu. Aku menatap mahasiswi tersebut. Kenapa dia harus menjadi aku? Aku tau kamu bukanlah peminat satra, begitupun cinta sejatimu yang engkau pilih untuk menemani hidup bukanlah pengagum bahasa. Lalu kenapa anak kalian harus menjadi aku? Tak terasa airmata mengalir begitu saja, tanpa isak tangis, tanpa suara. ‘’pak ibu berpesan, tak adanya gunanya melajang hanya untuk membuktikan cinta yang terlalu dalam, ibu tahu dan selalu tahu, hati tak dapat dipaksakan, ibu meminta maaf karena membuat hati bapak tempat persinggahan dan meninggalkan banyak kenangan. Namun kita hidup di dunia nyata pak bukan dalam novel-novel yang bapak tulis’’. Aku terpaku, bahkan setelah berpuluh tahun aku masih terlalu sibuk mengobati hati, memindahkan kisahku kedalam novel sampai berpuluh-puluh versi, hingga lupa aku masih sendiri. Waktu telah membuktikan, meninggalkanmu membuatku fokus pada apa yang dicita-citakan tapi tidak dengan cinta yang terpendam, akan tersimpan di relung hati yang terdalam. Aku tahu, aku yang salah karna tak pernah benar-benar meyakinkanmu, aku terlalu terobsesi dengan alur cerita yang kubuat sendiri.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN