Bab 2

1382 Kata
"Hening ...." Untuk kedua kalinya Naka menyebut nama itu, dan Meisya masih setia menunggu lelaki itu melanjutkan kata, dari sorot matanya Meisya tahu jika Naka membutuhkan kekuatan untuk menceritakan sesuatu yang sepertinya berat itu. "Hening adalah mantan kekasihku, saat kami masih sama-sama di Sekolah menengah atas. Dia adalah cinta pertamaku, begitu juga dengannya." Meisya tersenyum mendengarnya sekilas terbayang romantika cinta SMA di benaknya. Naka tampak menghela napas berat, lalu melihat Meisya yang masih tersenyum-senyum, hal itu membuat Naka mengerutkan keningnya. "Heh! Kamu kenapa, sih?" Naka menjentikkan jarinya di depan wajah Meisya. "Eh, enggak, lagi ngebayangin Mas Naka sama Bu Hening waktu pacaran aja. Pasti saling malu-malu di bawah pohon mangga di taman, 'kan!" Meisya tergelak, tertawa melihat wajah Naka yang memerah mendengar ucapannya. "Ya, kurang lebih begitu," jawab Naka. Tidak ingin berbicara lebih banyak lagi tentang hal itu, Naka lebih memilih untuk menyantap makanannya. "Mas, gimana rasanya?" tanya Meisya tiba-tiba setelah beberapa saat tidak ada pembicaraan antara keduanya, mereka sibuk dengan makanan masing-masing. "Enak, seperti biasanya. Cuma kali ini sambelnya lebih pedes, mungkin karena harga cabe di pasaran sedang murah." Meisya mengerutkan kening mendengar jawaban Naka. "Aku enggak nanya soal makanan, Mas. Emang, ya, kalau pengusaha kuliner yang ada dalam pikirannya pasti tentang makanan." Kini berganti Naka yang mengerutkan keningnya. "Terus? Kamu tanya soal apa?" tanya Naka lagi, ia benar-benar tidak tahu maksud pertanyaan Meisya. "Gimana perasaannya ketemu sama mantan pacar? Cinta pertama lagi, kata orang cinta pertama tidak akan pernah mati." Naka tersenyum sambil menggelengkan kepalanya merasa geli dengan pertanyaan Meisya yang menurutnya lebih pantas ditanyakan pada seorang remaja. "Jawab, Mas. Aku pengen tau rasanya," desak Meisya. "Sekarang coba aja kamu yang bayangkan ketemu sama cinta pertama kamu, gimana rasanya?" Naka malah membalikkan pertanyaan pada Meisya. "Aku enggak akan pernah tau rasanya, Mas. Karena cinta pertamaku ya Kak Sam. Dan kami akan selalu bersama," jawab Meisya, Naka tersenyum penuh makna, ia tahu apa yang Meisya katakan itu benar. "Iya, Mas, lupa," jawab Naka. "Ya udah, jawab, dong. Gimana rasanya ketemu sama mantan dan cinta pertama, eh, apa ini berarti yang disebut mantan terindah?" Meisya masih saja mengejar jawaban Naka tanpa wanita itu sadari ada sebuah luka yang kembali menganga. "Udah, ah, enggak usah dibahas," jawab Naka, Meisya hanya mengulum senyum ia menghargai keputusan Naka untuk tidak membahasnya. Siapa yang bisa tahu pada kisah masa lalu seseorang ada luka atau bahagia yang tersimpan. "Mas udah selesai makan, Mas mau pamit sama Qinara terus langsung berangkat ke Gayungan, ya. Titip Qinara." Meisya mengangguk saat melihat Naka berdiri dan meninggalkannya berjalan ke kantor Bu Ratmi di mana Qinara berada sementara dirinya menghabiskan makanannya. * Dita Andriyani * "Sayang, Bu Nining itu baik?" tanya Meisya saat dalam perjalanan pulang, ia memilih membawa Qinara ke rumahnya untuk terlebih dahulu menemui Abraar, bayi berusia delapan bulan itu pasti sudah bangun dari tidurnya. "Baik, Ma. Bu Nining mau nemenin aku nungguin Mama dateng," jawab Qinara. "Waktu Bu Nining pegang pipi aku, aku ngerasa dipegang Bunda, makanya aku pengen Bu Nining jadi Bunda aku," sambung Qinara polos, Meisya tersenyum mendengarnya ia menggunakan tangan kirinya untuk mengelus kepala Qinara. "Mama, gimana kalau kita jodohin Ayah sama Bu Nining?" tanya Qinara bersemangat, Meisya hampir saja menyemburkan tawa mendengarnya. "Qinara tau dari mana, 'dijodohin' itu?" tanya Meisya yang tetap berkonsentrasi menyetir mobilnya. "Aku denger Mbak Tini sama Mbak Erni ngobrol, kayanya Mbak Tini dijodohin sama seseorang dan mereka akan menikah," jawab Qinara. "Masalahnya enggak semudah itu, Sayang. Mbak Tini masih sendiri dan lelaki itu juga masih sendiri, dan mereka saling suka jadi bisa menikah. Tapi Bu Nining? Apa dia belum punya suami?" Qinara menggeleng pelan. "Aku enggak tau," jawab Qinara lirih. "Besok aku tanya," ucap Qinara cepat, ia berinisiatif menanyakan hal itu pada sang ibu guru. "Eh, Qinara masih inget kata ayah tadi? Tidak sopan membicarakan hal pribadi dengan orang lain, termasuk menanyakannya." Qinara menghela napas pelan, bahunya merosot tanda semangatnya yang ikut menguap. "Lagi pula, Sayang, bagi kami orang yang sudah dewasa banyak hal yang harus dipikirkan dan dipertimbangkan sebelum memulai sebuah pernikahan, tapi Qinara tenang aja, suatu saat Tuhan pasti akan kasih Qinara Bunda yang terbaik," ucap Meisya, ia sangat yakin jika Naka pasti bisa memilih seorang wanita yang terbaik untuk menjadi Bunda bagi kedua buah hatinya. Meisya membelokkan mobil yang dikendarainya memasuki pagar rumahnya yang tidak tertutup, benar perkiraannya Abraar sudah bangun. Bayi menggemaskan itu dalam gendongan Mbak Tri saat ini. "Abraar ...." Qinara segera membuka pintu lalu berlari kecil ke teras rumah di mana Abraar berada sekarang. * Dita Andriyani * Hampir tengah malam saat Naka kembali ke rumahnya, ia mendapati semua lampu telah dipadamkan hanya ada penerangan dari lampu sudut berwarna jingga yang menjadi penerang ruangan, ia melihat pintu kamar Qinara dan Qeila yang sudah tertutup rapat, kedua putrinya memang selalu tidur dengan pengasuh masing-masing. Hanya sesaat mematung di ruang tengah menghela napas yang tiba-tiba terasa berat lalu melangkah masuk ke dalam kamar, menghempaskan diri di ranjang yang telah ia tempati seorang diri bahkan sejak awal pernikahannya dengan Kinasih dulu. Seolah terbawa arus balik, pikirannya bergerak mundur kembali pada saat yang sudah sangat lama berlalu. Memang sudah sejak tadi siang bayangan demi bayangan itu kembali berkelebat seperti lembaran buku yang terbuka halamannya satu persatu, tetapi karena kesibukannya semua itu berlalu begitu saja. Akan tetapi, kini ia sendiri digulung sepi rasa itu mulai menghampiri. Sisa-sisa rasa manis yang pernah dikecapnya tetapi lebih meninggalkan rasa pahit karena ketidak berdayaannya. Dulu .... "Hei! Jangan keterlaluan kalian! Kalian ingin aku laporkan pada kepala sekolah? Masa orientasi sekolah ini bukan ajang untuk menunjukkan kekuasaan kalian lantas melakukan hal seperti ini pada murid baru!" Tiga orang pemuda berseragam OSIS itu segera meninggalkan ruangan kelas yang berada di ujung komplek sekolah menengah atas itu. Seorang siswi baru yang mengepang rambutnya menjadi lima bagian dan mengikatnya menggunakan tali rafia warna-warni itu menunduk, ia tidak berani menatap seorang pemuda yang baru saja menjadi penolongnya. Ya, penolong, karena jika tidak, ciuman pertamanya aja dicuri oleh kakak kelas yang mengatasnamakan masa orientasi sekolah untuk memanfaatkannya. "Siapa nama kamu?" tanya Pemuda yang sedang memungut tas yang terbuat dari kantung gandum yang kedua sisinya diikat menggunakan tali goni. "Tukiyem," jawab gadis itu sesuai tulisan besar yang ada di kertas berwarna merah muda yang terkalung di lehernya. "Bukan, namamu sebenarnya." Tangan pemuda itu terulur memberikan tas yang semula tergeletak di lantai, tas yang oleh para anggota OSIS diperintahkan agar para murid baru membuat dan mengenakannya selama masa orientasi sekolah. "Hening Prihatini," jawab gadis itu menyebutkan namanya, lembut, bahkan nyaris tidak terdengar. Sepertinya dia memang gadis yang lemah lembut, wajar saja jika Bembi dan kawan-kawan yang terkenal nakal di sekolah memanfaatkannya. Terlebih lagi dia cantik, Naka mengakui Hening terlihat paling cantik diantara semua murid perempuan yang baru masuk ke sekolah itu. "Kanaka Gandhi Ismoyono, kelas sebelas A." Pemuda itu mengulurkan tangan, membuat gadis itu mengangkat kepala demi bisa melihat wajah pemuda yang telah membebaskannya dari hal memalukan, bisa dibilang itu adalah sebuah pelecehan yang tentu saja tidak ada dalam agenda masa orientasi siswa baru. Mata gadis itu indah, perpaduan warna hitam legam dan putih bersih, bulu matanya yang lebat dan lentik bergerak naik turun saat mata itu mengerjap. "Kamu kenapa bisa ada di sini?" tanya Naka yang kembali menarik tangannya yang tidak juga mendapat balasan dari Hening, sepertinya gadis itu terlalu terpesona pada ketampanan pemuda yang berdiri di hadapannya. "Em ... eh, itu. Tadi, mereka bilang kalau masih ada tugas yang harus aku kerjakan di sini. Tapi—." "Tapi, mereka memintamu mencium mereka?" Naka memotong kalimat penjelasan Hening, gadis itu menunduk. Malu. "Mereka memang keterlaluan, kamu harus berhati-hati dengan murid nakal seperti mereka," ucap Naka. "Iya, Mas. Beruntung Mas Ka—." Hening mengingat-ingat siapa nama pemuda yang baru dikenalnya itu. "Naka. Panggil aja begitu." Naka tersenyum melihat wajah malu-malu gadis di depannya. "Iya, Mas Naka. Terima kasih," ucap Hening lalu kembali menundukkan kepala. "Ya sudah, ayo pulang." Keduanya beriringan berjalan keluar dari ruang kelas itu, bahkan tetap beriringan meski Hening tampak malu-malu sampai gerbang sekolah. . Naka menghela napas, bahkan kedua matanya terasa memanas mengingat pertemuan pertamanya dengan Hening terasa meremas hatinya. Ia teringat kembali pertanyaan Meisya tadi siang. "Bagaimana rasanya ketemu mantan pacar? Cinta pertama lagi, bukankah kata orang cinta pertama tidak akan pernah mati?" Naka sendiri tidak pernah menyangka rasanya akan seperti ini, cinta pertama yang tidak pernah mati, terlebih lagi karena cinta pertama itu terenggut secara paksa. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN