Bab 5

1838 Kata
"Tapi ... tapi masalahnya ...." "Kenapa?" tanya Naka memperhatikan wajah Hening yang berubah, semakin mengelam hingga nyaris sebuah tangisan pecah. "Aku udah enggak punya uang untuk bayar tukang tambal sepeda," jawab Hening lirih, bahkan nyaris tidak terdengar jika saja mereka tidak berdiri di tempat yang tidak begitu jauh. "Kamu tenang saja, aku yang bayar," jawab Naka yang sudah mulai menggerakkan sepeda yang bahkan lebih mirip milik seorang pedagang keliling hanya saja sepeda itu tidak memiliki keranjang di belakangnya. "Tapi ... aku enggak mau ngerepotin Mas Naka terus," gumam Hening, ragu untuk menerima bantuan Naka meski diri tahu jika tidak ada pilihan kedua. "Kalau begitu, kamu mau nuntun sepeda ini jalan kaki sampai rumah? Desa tempat kamu tinggal itu jauh, loh, Ning." Naka menatap serius gadis yang tampak masih ragu akan kebaikannya. "Iya, ya sudah. Terima kasih sebelumnya," jawab Hening, membuat Naka tersenyum senang lalu melepaskan helmnya untuk Hening pakai karena gadis itu yang akan membawa motornya. Awalnya tetap agak ragu, tetapi akhirnya Hening menerima helm yang Naka ulurkan, seketika harum maskulin dari Pomade yang Naka pakai menguar di hidung mancung Hening yang entah mengapa membuat jantungnya kian berdegup kencang. "Ayo," ajak Naka membuat Hening yang sudah mengenakan helm, tetapi tetap mematung. "Iya," jawab Hening yang lalu menaiki sepeda motor bebek keluaran terbaru yang Naka dapatkan dari kedua orang tuanya sebagai hadiah ulang tahunnya, Naka segera naik ke boncengan sambil memegangi sepeda Hening, perlahan Hening menjalankan sepeda motor itu keluar pagar belakang sekolah. "Ke sana, seingatku di sana ada tukang tambal ban." Naka menunjuk satu arah saat Hening bingung hendak melaju ke mana, tanpa banyak bertanya Hening mengikuti arahan Naka yang masih memegangi sepeda yang ban belakangnya benar-benar kempes. Mereka hanya saling diam, Hening berkonsentrasi dengan sepeda motor yang sedang ia kendarai sedangkan Naka juga berkonsentrasi memegangi stang sepeda Hening tetapi tetap ada kesamaan antara keduanya, yaitu debaran aneh dalam daada. * Dita Andriyani * "Kenapa sepedanya, Mas?" tanya Bapak tukang tambal ban pada Naka yang menuntun sepeda Hening mendekat. "Ini, Pak, bannya kempes," jawab Naka sambil menyandarkan sepeda itu di dinding tempat tambal ban yang terbuat dari papan. "Oh, tapi ngantri, ya. Mereka dateng lebih dulu," jawab lelaki itu sambil menunjuk dua sepeda motor yang juga bannya kempes. "Iya, Pak, enggak apa-apa, kami tinggal cari es dulu, ya Pak." Naka meninggalkan tempat itu mendekati Hening yang masih menunggunya di atas sepeda motor. "Gimana, Mas?" tanya Hening begitu Naka berjalan mendekat, pemuda itu membetulkan tali tas yang sedikit merosot dari pundaknya. "Ngantri, tuh, masih harus nunggu dua motor lagi," jawab Naka, Hening mengikuti arah pandang Naka yang menoleh menatap kedua motor itu. "Aduh ... gimana, ya," gumaman Hening terdengar, Naka tersenyum mendengarnya. "Hening." Gadis itu menoleh mendengar Naka memanggil namanya, pemuda itu menunjuk satu arah, kedai yang menjual es campur. "Aku haus, kita nunggu sepedanya di sana, ya." Tidak ada pilihan lain, rasanya tidak enak hati karena telah merepotkan Naka membuat gadis itu lebih tidak tega membuat Naka kehausan, apa lagi cuaca kota cukup terik siang itu. Hening hanya menggunakan kepala lalu turun dari sepeda motor membiarkan Naka mengendarai, tanpa melepaskan helm yang ia kenakan Hening naik ke boncengan. . Dua mangkuk es campur berkuah sirop merah berpadu dengan aneka buah dan jelly warna-warni kini sudah terhidang di hadapan kedua orang yang duduk berhadapan. Sepertinya Naka memang benar-benar haus hingga dalam sekejap saja es campurnya hanya tinggal tersisa separuh sedangkan Hening hanya menikmati es itu dengan tidak bersemangat. "Kenapa, esnya enggak enak?" tanya Naka melihat Hening terlihat tidak begitu menikmati hidangan di hadapannya padahal es campur itu terkenal sebagai es campur terenak di kota itu, terbukti dengan kedainya yang tidak pernah sepi pembeli, cabang kedai itu juga sudah ada di berbagai penjuru kota. "Enak, kok, Mas. Aku suka, aku cuma lagi mikirin Bapak sama Ibu, mereka pasti khawatir karena aku terlambat pulang." Naka mendengar dengan seksama luahan keresahan hati Hening, apa yang Gadis itu khawatirkan memang benar. "Rumah kamu jauh, teman dari desa kamu juga enggak ada yang sekolah di sini, tapi kenapa kamu sekolah di sini?" tanya Naka, selain karena memang ingin tahu lebih jauh tentang Hening lalu lebih dekat dengan gadis itu, Naka juga ingin mengalihkan perhatian Hening dari kekhawatirannya. "Mas Naka dan semua siswa di sekolah harapan bangsa ini juga pasti sudah tau, tho, kalau aku bisa sekolah di sini karena beasiswa. Ini kesempatan langka, karena untuk pertama kalinya sekolah harapan bangsa menerima murid yang menggunakan beasiswa dengan jalur prestasi," ujar Hening, Naka menganggukan kepala. "Karena itu aku bangga dan kagum sekali sama kamu," jawab Naka, Hening sedikit tersipu mendengarnya. "Ini adalah kesempatan yang bagus untukku, karena jika berhasil menjadi lulusan terbaik aku juga akan mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Mas Naka harus paham, jika hanya untuk bersekolah saja aku harus mengandalkan beasiswa maka berkuliah adalah sebuah mimpi yang sangat tidak mungkin dapat aku raih tanpa bantuan pemerintah, dan jalan satu-satunya adalah menjadi murid berprestasi." Semakin dalam kekaguman Naka pada Hening, selain pintar Hening juga penuh semangat. "Apa cita-cita kamu?" tanya Naka, seketika wajah Hening berbinar mendapat pertanyaan itu. "Aku ingin menjadi guru," jawab Hening singkat. "Guru? Dengan kepintaran kamu, kamu bisa meraih lebih, kamu bisa menjadi seorang dokter atau ... apapun yang lebih menjanjikan untuk hidup kamu," ujar Naka, bukan bermaksud merendahkan profesi yang Hening cita-citakan tetapi Naka memang merasa Hening bisa dan pantas mendapat lebih. Mendengar apa yang Naka ucapkan Hening tersenyum tipis. "Memang kenapa? Bukankah aku menjadi pintar begini semua itu karena seorang guru?" Naka hanya diam. "Menjadi seorang dokter, polisi atau lain sebagainya juga profesi yang mulia, tapi seorang dokter, polisi atau profesi lainnya itu juga mendapat ilmunya dari seorang guru," sambung Hening. "Bapak bilang, dulu beliau juga bercita-cita menjadi seorang guru, tapi karena segala keterbatasannya akhirnya beliau hanya bisa menjadi seorang buruh tani. Tapi Bapak dan Ibu adalah guru terbaik bagiku, guru pertama yang aku miliki, dan guru yang akan selalu menjadi pendamping dan pengajar dalam hidupku." Naka dapat melihat jika Hening memang seorang anak yang begitu menghormati dan menyayangi kedua orang tuanya. "Mas Naka, cita-cita pengen jadi apa?" tanya Hening tiba-tiba membuat pemuda yang tengah terlarut dalam kekaguman itu kembali pada kesadarannya. "Aku ... aku tidak pernah merasa terobsesi pada sebuah profesi, mungkin aku akan menjadi seorang pengusaha. Aku merasa tidak suka dengan ritme pekerjaan, kamu tau, kedua orang tuaku seorang pekerja dan mereka seperti menjadi seseorang yang terkekang. Bahkan waktu untuk bersama keluarga di rumah juga hanya sedikit," jawab Naka, Hening hanya diam. Hidup memang seperti itu, semua ada baik dan buruknya ada lebih dan kurangnya. Dirinya yang kekurangan harta berlimpah kasih sayang dan waktu kebersamaan dengan orang tuanya, sedangkan Naka yang tidak kekurangan harta merasa kekurangan perhatian dan waktu bersama keluarga. "Mas, sepertinya ini sudah cukup lama. Mungkin sepedaku sudah selesai di tambal," ujar Hening yang sudah sangat tidak sabar untuk pulang, sang ibu yang biasanya sudah pulang dari sawah pasti sudah sangat cemas karena ia pulang terlambat. "Iya, sebentar aku bayar ini dulu." Naka segera membayar es yang sudah mereka pesan sementara Hening sudah keluar kedai dan menunggu Naka di sebelah sepeda motornya. * Dita Andriyani * "Wah, Mas, Mbak. Lihat, ban ini rusak parah luar dalam," ucap tukang tambal ban sambil menunjukkan ban sepeda yang sudah terlepas dari rodanya. "Enggak bisa ditambal, harus diganti ini." "Kenapa ban sepeda saya bisa seperti itu, ya, Pak. Padahal tadi pagi baik-baik saja," keluh Hening gadis itu benar-benar hampir menangis jika saja tidak merasa malu, tetapi rasa sedih dan bingung itu benar-benar memenuhi hatinya, dirinya bahkan tidak punya uang untuk membayar biaya menambal ban, apa lagi untuk membeli ban baru luar dan dalam. "Sepertinya ini, sih, sengaja disobek pakai pisau, Mbak. Kalau cuma ketusuk paku enggak mungkin seperti ini," jawab Bapak yang tangannya menghitam karena kotor itu, Hening menghela napas, rasanya semakin sesak. Mengapa ada yang berbuat demikian padanya, padahal dirinya tidak pernah membuat masalah dengan siapapun tetapi semua orang seolah tidak suka padanya. "Ya sudah, Pak, ganti saja bannya," ujar Naka menjawab kebingungan Hening yang hanya diam dalam kebingungan, air matanya menitik dalam diam dan segera ia sembunyikan. "Itu dia masalahnya, Mas, saya enggak ada persediaan ban. Harus beli dulu besok," jawab bapak itu ringan lalu tersenyum ramah pada seseorang yang baru datang sambil menuntun sepedanya. Hening hanya diam menatap Naka, seolah menanyakan solusi terbaik untuk masalah ini. "Pak, sepedanya kami tinggal, besok pulang sekolah kami ambil, dan pastikan semuanya sudah beres," kata Naka, Bapak penambal ban itu mengangguk yakin. "Ayo, aku antar pulang, atau kamu mau di sini nungguin sepeda sampai besok?" tanya Naka konyol, sengaja untuk meledek Hening yang masih diam mematung. Lagi-lagi Hening tidak punya pilihan lain selain menerima bantuan dan kebaikan Naka, karena sepertinya memang hanya Naka yang baik padanya di sekolah itu, selain pada guru yang justru menganggapnya istimewa karena kepandaiannya tentu saja. Hening hanya diam di bonceng dengan berpegangan pada besi yang ada di ekor jok motor yang ia duduki saat Naka perlahan menyusuri jalan menuju desanya. . "Menurut kamu kenapa ada seseorang yang melakukan itu sama sepeda kamu?" tanya Naka memecah keheningan antara mereka berdua di tengah riuhnya suara kendaraan. "Aku sadar kalau aku berbeda dengan kalian, Mas. Jadi wajar jika kalian enggak suka sama aku, dan kalau orang enggak suka ya pasti ada aja ulahnya buat melampiaskan ketidaksukaannya," jawab Hening. "Eh, tunggu dulu. Jangan sebut kalian, sebut mereka karena aku bukan bagian dari mereka. Mereka boleh aja enggak suka sama kamu, tapi aku enggak seperti mereka," kata Naka, Hening mengulum senyum. "Iya, Mas Naka emang beda sama mereka, tapi Mas Naka juga beda sama aku, sebaiknya mulai besok Mas Naka enggak usah deket-deket aku lagi," jawab Hening, Naka menatap wajah Hening dari spion. Gadis itu hanya menatap kosong ke arah depan seolah dipikirannya bergelayut sebuah beban, itu wajar menurut Naka kerena apa ya g sudah teman-temannya lakukan pada Hening keterlaluan. Naka memang belum mengetahui siapa yang telah melakukannya tetapi ia pastikan jika sang pelaku akan mendapatkan hukumnya. "Loh, kok, begitu? Memang kenapa?" tanya Naka, rasanya tidak terima saat Hening meminta dirinya menjauh. "Aku enggak mau karena dekat-dekat denganku Mas Naka juga bakal ketiban sial. Aku enggak apa-apa kok, enggak punya teman di sekolah yang penting aku tetap bisa belajar," jawab Hening, ia menatap wajah Naka juga dari kaca spion, sepertinya kaca itu sudah kehilangan fungsi sesungguhnya. "Ya enggak bisa begitu, dong. Enggak ada hubungannya, kamu sama ketiban sial, lagi pula, kalau kamu dijahatin lagi siapa yang akan nolongin kamu?" tanya Naka, Hening diam apa yang Naka ucapkan benar tetapi ia lebih merasa tidak enak hati jika Naka juga mendapat masalah karena dirinya. Mereka kembali saling diam, sepeda motor yang Naka kendarai kini sudah berada di jalanan desa yang tidak beraspal hanya jalanan tanah berbatu yang dapat dipastikan akan sangat licin dan sulit dilalui jika sedang musim penghujan. Seketika Naka membayangkan bagaimana Hening melalui jalan itu jika musim kemarau telah usai, jalanan itu juga cukup panjang sekitar satu kilo hingga Hening menepuk bahu Naka memintanya memasuki sebuah gang yang lebih kecil, terus memasuki gang terjal itu dan sebuah tepukan di bahu kembali Hening berikan. Naka mengetahui arti tepukan itu dan menghentikan sepeda motornya, Naka tertegun melihat pemandangan di hadapannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN