Baru kali ini Aline melihat Andrian yang sedikit memaksanya, itu membuat dia merasa sedikit takut. Maka dari itu lah dia menyodorkan tangannya yang terkilir kepada Andrian.
"Tunggu di sini."
Andrian menyuruh Aline untuk menunggunya, sedangkan dirinya pergi ke atas untuk mengambil salep. Tidak membutuhkan waktu yang lama, Andrian kembali membawa salep untuk Aline.
Lewat matanya Andrian menyuruh Aline untuk duduk di kursi, wanita itu menurut. Andrian melakukan hal yang sama duduk di samping Aline. Andrian melihat pergelangan tangan Aline yang sedikit bengkak, di dalam hatinya Andrian berpikir pekerjaan apa yang dilakukan Aline sehingga membuat tangannya luka seperti ini.
"Apa yang kau lakukan sehingga membuat tanganmu terkilir?"
Andrian bertanya dengan tangan yang masih mengobati tangan Aline.
"Aku hanya jatuh tadi, terus nahan pakai tangan. Makanya tangan aku kekilir."
Aline menjawab dengan cepat, yang jelas membuat Andrian curiga.
"Benar kah?"
Andrian kembali bertanya, setelah menutup salep tersebut. Kini fokusnya menatap Aline yang membuat wanita itu gugup.
"Aku akan bertanya pada Bu Dewi apakah kau memang terjatuh atau --- "
Aline berdecak sebal kemudian memundurkan wajahnya, yang dirasa begitu dekat dengan wajah Andrian. Dia tidak bisa terlalu dekat dengan Andrian dia merasa Andrian seperti ancaman untuknya.
"Baiklah-baiklah, aku mengaku."
Aline berujar pasrah.
Aline menunduk tak ingin memandang Andrian yang seolah tengah menyudutkannya.
"Tadi aku membuat sambal, mungkin aku terlalu bersemangat sehingga membuat tanganku terkilir."
Andrian menghela napasnya.
"Kenapa kau tidak hati-hati?"
"Mana aku tahu akan seperti ini!"
"Kenapa kau tidak menggunakan blender saja?"
Mendengar perkataan Andrian membuat Aline seakan tersadar. Kenapa dia tidak terpikirkan ke sana? Dia benar-benar lupa, ada alat secanggih itu saja dia lupa.
"Kau lupa?" Tebak Andrian asal yang jelas tepat sasaran.
Aline hanya mencebikan bibirnya sebal. Membuat Andrian tersenyum melihatnya, karena dia dapat melihat sisi lain dari Aline. Selain bersikap ketus dan marah, Aline juga bisa bersikap merajuk.
"Sudah lah sebaiknya kita makan."
Aline segera beranjak dari duduknya lalu berjalan ke dapur, di ikuti Andrian yang berjalan di belakangnya.
Mata Andrian memandang meja di hadapannya dengan pandangan takjub.
"Kau sendiri yang memasaknya?"
Andrian bertanya sambil duduk di sebrang meja.
"Aku hanya membantu Bu Dewi."
Andrian mengangguk namun dia tahu jika Aline juga bekerja keras memasak ini semua.
"Apa tanganmu yang lain terluka?"
Aline segera menyembunyikan kembali tangannya.
Andrian mendengus melihatnya.
"Sudah lah, cepat makan aku lapar."
Andrian kali ini tidak menutupi ketawanya, dia benar-benar terhibur dengan Aline.
"Baik-baik, mari kita makan."
Andrian dan Aline kemudian makan dengan tenang, tidak berkomentar tentang masakan yang dibantu oleh Aline. Andrian terlalu banyak berpikir, takut jika dirinya salah berbicara. Jika dia bicara, dia takut jika Aline tidak menerimanya dan membuat wanita itu terluka. Maka dia hanya bisa diam menikmatinya, sambil sesekali melirik Aline yang tengah meringis menahan nyeri.
Setelah mereka makan, Andrian memilih untuk membersihkan diri. Sedangkan Aline memilih untuk membereskan meja makannya, dia tidak akan mencuci piring. Tangannya masih sakit untuk bergerak banyak, jadi dia hanya akan membereskannya. Biar Bu Dewi besok yang mencucinya, pikir Aline.
Aline yang akan masuk ke dalam kamarnya seketika teringat, jika dirinya lupa untuk meminta nomor Andrian. Dia lalu mengetuk pintu kamarnya, menggedor pintu di hadapannya itu. Tak lama kemudian Andria membuka pintu kamarnya dengan pakaian tidurnya.
"Iya Line?"
Andrian bertanya bingung.
"Ah aku lupa tidak meminta nomor ponselmu, bisakah aku meminta kontak mu?"
Andrian tersenyum, sedikit lucu. Mengingat jika mereka adalah sepasang suami istri, tapi nomor ponsel saja tidak punya.
"Tunggu sebentar."
Andrian kembali masuk ke dalam kamarnya meninggalkan Aline yang masih berdiri di depan pintu kamar Andrian.
Andrian kembali datang membawa ponselnya, Aline tersenyum melihatnya. Pria itu kemudian mengotak-atik ponselnya tak lama kemudian ponsel yang dipegang Aline berdering.
"Itu nomor ponselku."
Aline langsung melihat ponsel yang dipegangnya itu tengah berdering, di sana terdapat nomor baru. Aline segera mematikannya begitu tahu jika yang meneleponnya adalah Andrian. Wanita itu langsung menyimpan nomor Andrian.
"Darimana kau tahu nomorku?"
Bukannya menjawab pertanyaannya Andrian malah membalas dengan perkataan lain.
"Selamat malam, Aline. Terima kasih untuk makanannya."
Aline mendengus sambil tersenyum mendengar perkataan Aline.
"Ck baiklah, tapi ini tidak gratis."
Senyum Andrian seketika pudar mendengar balasan Aline alisnya bahkan tertarik ke atas.
"Tidak gratis?" Beonya.
Aline mengangguk.
"Lalu, aku harus membayar berapa untuk makan malam tadi?"
Aline tersenyum main-main.
"Emm akan aku pikirkan nanti,"
Kali ini Andrian yang berdecak sambil tersenyum, menggeleng tak percaya jika Aline menanggapi leluconnya.
"Kalau begitu, selamat malam."
Andrian hanya mengangguk kemudian menutup pintunya begitu Aline menutup pintu kamarnya juga.
-
-
-
-
Andrian tengah mengerjakan pekerjaannya, sampai kemudian lampu kamarnya tiba-tiba saja mati membuat dia memandang ke sekitar kamarnya. Jika seperti ini dia tidak bisa untuk kembali mengerjakan pekerjaan, baterai laptopnya pun tersisa sedikit. Takut jika mati lampunya yang akan lama, Andrian memilih untuk segera menyudahi pekerjaannya. Dia lalu menyimpan laptopnya ke atas nakas yang berada di sisi ranjangnya. Kedua matanya sudah lelah, dia ingin istirahat baru saja dia menyimpan kacamatanya. Suara gedoran dipintu kamarnya membuat Andrian kembalu duduk dengan tegak. Padahal dirinya baru saja akan tidur, tapi siapa yang menggedor pintu kamarnya? Tidak mungkin bukan jika Bu Dewi? Asisten rumah tangganya itu sudah pulang ketika sore hari. Lalu, jika bukan Bu Dewi siapa? Apa mungkin itu Aline istrinya? Segera ditepisnya kemungkinan itu, dia mungkin berhalusinasi. Tidak mungkin Aline yang menggedor kamarnya kan? Seharusnya wanita itu sudah pergi tidur.
Gedoran di depan pintu sana seolah tidak sabar, dan sekarang Andrian yakin jika itu Aline. Dengan cepat dia beranjak dari ranjanya, lalu berjalan untuk membuka pintu. Begitu dirinya membuka pintu, terlihat wajah Aline yang berantakan dengan napas tidak beraturan.
"Bisakah aku tidur di sini?" Seloroh Aline sebelum Andrian bertanya.
"Kenapa?"
"A-aku ... "
"Kau takut gelap?"
Tebak Andrian yang menyadari jika Aline masih berdiri dengan gelisah.
"Ck bisakah kau tidak bertanya?"
Andrian menggelengkan kepalanya, takjub dengan Aline. Wanita itu seperti bunglon, sikapnya selalu berubah-ubah tak menentu.
"Masuk lah,"
Andrian membukakan pintunya lebar agar Aline bisa masuk ke dalam.
Aline masuk ke dalam kamar, dia melihat ke sekitar.
"Kau tidur di sini, biar aku yang tidur di sofa."
"Kau tidak apa?"
Andrian tersenyum menenangkan.
"Tidak apa, sebaiknya kau tidur sudah malam."
Aline mengangguk kemudian mulai membaringkan tubuhnya di atas ranjang Andrian.
Andrian mengambil bantal lalu membawanya bersamanya. Andrian lalu tidur di sofa, dengan memandang punggung Aline yang membelakanginya.
"Semoga nanti aku bisa tidur di sampingmu Line, dengan aku yang memeluk tubuhmu." Batinnya dengan senyum tipis.
TBC