Prolog

1155 Kata
Hai! Aku tidak tahu bagaimana cara memulai cerita ini. Tapi pertama-tama yang kau harus tahu kalau aku tampan. Itu yang utama. Dan yeah, aku juga suka masak. Jadi sekarang apa kau bisa menebak apa yang aku lakukan untuk mendapatkan uang? Food blogger. Sekarang aku tengah bersiap-siap untuk live-streaming di i********:. Aku juga lupa memberitahu kalau aku juga cukup terkenal melihat dari banyaknya jumlah followers yang aku punyai sekarang. Beberapa perusahaan makanan juga menginginkanku menggunakan produk dan barang-barang dapur mereka. Jadi sudah dipastikan aku hampir tidak perlu meninggalkan rumah untuk mendapatkan uang. Padahal aku tidak mudah untuk mempercayai seseorang begitu saja pada zaman seperti ini dan aku mendapatkannya dengan mudah. Semua hanya bermodalkan wajahku yang rupawan. Aku lalu mengecek penampilanku melalui pantulanku di pintu kulkas. Sudut mataku yang lancip, hidung yang tinggi, dan bibir merah merekah adalah alasan kenapa aku percaya diri memilih food blogger sebagai mata pencarianku. Berdebatlah sebanyak yang kalian inginkan. Tapi jangan menyangkal jika kalian menyukai keindahan lebih dari apapun. Aku lalu mengedarkan pandangan ke arah dapur yang kudesain semirip mungkin dengan yang ada di acara masak di TV. Tidak lupa juga  memilih warna yang senada antara kitchen set dan peralatan yang masak yang ada. Begitu selesai menganggumi isi dapurku, aku kembali pada pekerjaan mempersiapkan peralatan live-streaming yang tertinggal. Hari ini aku berencana untuk membagi resep cheese potato casserole milik ibu yang biasa ia buat pada setiap hari raya. Setelah semuanya persiapan live-streaming telah siap, sekali lagi aku melirik ke arah pantulanku di pintu kulkas sebelum menyadari jika gorden jendela seluruh apartemenku masih tertutup. Aku biasanya membiarkannya seperti itu karena sinar matahari yang terlalu terik biasa menghancurkan make-up. Tapi tunggu dulu. Aku sendiri bahkan lupa kapan terakhir kali aku membuka gorden jendelaku. Aku kembali mengecek perlengkapan live-streaming. Tidak lupa kembali mengecek bahan-bahan makanan yang aku akan pakai apakah sudah sesuai dengan apa yang tertulis di buku jurnal yang berisi seluruh resep kepunyaan ibu. Aku kemudian melirik sekilas ke arah jam yang tergantung di dinding. Lima menit sebelum waktu live-streaming yang sudah aku jadwalkan. Aku selalu mengadakan live-streaming sekali sepekan dan tidak lupamengunggah tiga video setiap bulannya. Aku bersiap di depan kamera begitu jam dinding menunjukkan waktu yang dijanjikan. Memencet tombol “mulai” bersamaan dengan memasang senyum yang lebar. Sekali lagi mengedarkan pandangan ke arah bahan-bahan makanan sebelum mengucapkan salam dengan kalimat, “Hello, semuanya! Kalian sudah tahu siapa aku, kan? Cook yang paling tampan yang pernah kalian kenal dan itu fakta. Jadi...” Aku berhenti sejenak untuk membaca komentar-komentar dilayar yang memuja wajahku seperti biasa atau akan ada beberapa follower yang betul-betul ingin tahu aku akan memasak apa hari ini. Tapi entah kenapa aku hanya melihat beberapa komentar hari ini dan itu jarang sekali terjadi. Aku melanjutkan, “...Hari ini aku akan memperkenalkan kalian salah satu resep terbaik ibuku...” Jamie, aku kira waktu kau bilang kau jarang keluar rumah itu kau hanya bercanda. Jamie, sebaiknya kau mulai mengumpulkan bahan-bahan makananmu yang lain. Apa maksudnya komentar-komentar itu?  Aku terus membaca dan kebanyakan komentar bernada yang sama. Jamie, aku rasa ini adalah yan terakhir kali... Jamie, kau sebaiknya lebih banyak menonton banyak acara berita daripada bermain game. Dimulai dari sekarang... Setelah itu aku mengecek barapa banyak penonton live-streaming ku hari ini dan secara mengejutkan jumlahnya sangat sedikit. Di hari aku pertama kali melakukan live-streaming aku tidak pernah mendapatkan penonton sesedikit ini. Mereka bahkan tetap mengatakan hal yang sama sehingga membuatku makin gelisah. “Apa yang kalian katakan? Kalian benar-benar membuatku takut.” Dan pada saat bersamaan komentar-komentar bernada sama tetap berdatangan. “Aku akan  mengecek berita sekarang. Dan kalian tahu aku bahkan tidak tahu kapan terakhir kali aku meletakkan remote TV-ku.” Aku mencoba tertawa, tapi gagal. Pada saat itu juga aku berlari ke ruang tengah, meninggalkan live-streaming begitu saja. Aku hampir tersungkur jatuh terantuk sudut konter dapur ketika berlari. Aku nyaris memporak-porandakan ruang tengah untuk mencari keberadaan remote. Aku menggumam lega begitu mendapatkannya. Lagipula aku tidak harus aku harus mencari saluran beritanya jauh-jauh. Semuanya menyiarkan hal yang sama. Berita utama memberi judul saat ini kita tengah berada dalam kondisi zombie-apocalypse. Sudah terjadi kekacauan di mana-mana. Terlihat rekaman video orang-orang yan berjalan terpincang-pincang tengah mencoba mengejar dan mengigit orang-orang yang masih bisa berlari dan menjerit. Video rekaman kemudian berubah orang-orang yang melakuan penjarahan. Melihat betapa rakus dan terburu-burunya mereka. Para penyintas juga terlihat seperti zombi yang berebut mangsa.  Sang pembawa berita itu lalu menjelaskan jika semua hal itu terjadi akibat dari sebuah mutasi dari penyakit yang tidak diketahui yang tiba-tiba menyebar begitu saja tanpa ada peringatan sama sekali. Pada saat yang bersamaan aku mendengar seseorang menjerit di lorong di luar apartemenku. Aku tidak mendengar seluruh isi berita karena kakiku sudah membawaku ke jendela. Dengan kasar aku membuka gordennya dan menggeser jendela ke samping. Mataku membalalak begitu menyadari apa yang terjadi di jalan utama... Setelah apa yang telah aku capai? Apakah ini yang harus aku hadapi sekarang? Aku berjengit terkejut begitu mendengar ponselku yang tiba-tiba berdering. Aku mengenali nada deringnya dan aku tahu itu berasal dari ponsel pribadiku. Aku nyaris terjatuh lagi akibat tersandung ketika mencari-cari ponselku itu. Ketika aku aku mendapatkannya aku melihat wajah ibu berkedip-kedip di layar. “Jamie, aku mendapatkan notifikasi live-streaming-mu hari ini. Kau masih sangat percaya diri, ya?” “Mom!” Aku menghardik terlalu keras. Cukup kesal karena harus mendengar nama itu disebut ibuku. “Jamie, Mom. Dan ini bukan saatnya bercanda. Di mana kau sekarang? Dad?” “Kami berada...” Terdengar suara seperti sesuatu yang berat terjatuh diujung sambungan sana. “...Baik-baik saja. Sepertinya. Ngomong-ngomong, kami akan pergi...” Sekarang terdengar seseorang tengah memaki-maki. “...Ke rumah abangmu sebelum semua kegilaan ini semakin menggila.” Butuh waktu beberapa saat baru aku paham maksudnya. “Apa? Ke rumah Alec? Apa yang bisa ia lakukan untuk kalian? Ia sudah sibuk mengurusi sapi dan ayam-ayam peliharaannya!” “Paling tidak ia lebih perhatian pada kami daripada kau. Dan rumahnya benar-benar indah. Berani-beraninya kau mengatainya seperti itu.” Sekarang aku bisa mendengar suara ayahku bertanya sesuatu dan ibuku menjawabnya dengan cepat. “Dan ayahmu bertanya. Apa kau mempunyai sesuatu untuk melindungi diri? Jangan katakan padaku kau hanya punya penyemprot lada dan pisau.” “Tentu saja aku tidak punya. Kau tahu aku tidak menyukai kekerasan.” “Tapi kau tetap bermain game-game itu.” Aku memencet pangkal hidungku. “Mom, sudah ada penelitian yang membuktikan jika tidak ada hubungan antara bermain video game dan keinginan untuk menembak seseorang. Kecuali jika sudah ada yang tidak beres dengan isi kepala mereka. Dan itu bukan aku!” Tapi aku berharap waktu yang aku habiskan untuk bermain game memperlihatkan hasilnya sekarang. Tapi bagaimana caranya jika tanpa senjata sama sekali? “Yah, oke.” Ibuku menggumam tidak rela. “Jadi, jika kau ingin ikut dengan kami...” Tapi aku tidak bisa mendengar sisanya karena tiba-tiba ibuku menjerit sangat menyeramkan dan telepon tiba-tiba terputus.   Aku merasakan sesuatu yang dingin menjalar di punggung dan aku tahu itu bukan pertanda yang baik. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN