27

4347 Kata
 Setelah selesai makan dengan Alec sebagai ketua regu ia membagi kami menjadi tiga tim. Tim satu adalah Dad dan Abe yang mengajukan diri untuk membantunya untuk menyelesaikan pagar. Tim kedua adalah Dalla, Mom, Brooke yang bertugas untuk membersihkan rumah dan mencuci pakaian di sumur tempat Alec mendapatkan sumber airnya sekaligus untuk memompa air untuk penampungan air ke rumah. Tim terakhir adalah aku dan Alec yang bertugas untuk  membuat green-house dan menanam bibit dan membersihkan kandang ternak.Mom menginginkan kami untuk terus bekerja. Dan Alec adalah orang yang paling tidak mau rugi yang aku kenal dalam hidupku. Mereka adalah dua kekuatan yang tidak ada yang mampu melawan ketika telah memberi perintah. Alec mendekat ketika aku baru selesai menyimpan peralatan skincare-ku ke dalam tas. “Aku dengar kau punya dua Glock? Boleh kupinjam satu? Karena aku lihat sendiri aku tidak punya senjata yang kecil dan pekerjaan kita...” . Tanpa kata aku menyodorkan Glock yang aku tidak pernah pakai dari dalam tas ke arahnya. Dengan cekatan Alec memeriksa magasinnya sebelum memasangnya kembali. Tampak puas dengan hasilnya sebelum menyelipkan pistol itu di balik ikat pinggangnya. Sedangkan aku menyelipkan Glock yang lain di ikat pinggangku. Kami memutari rumah dari luar sehingga kami melihat para wanita yang mulai mencuci di dekat sumur. Aku mengedipkan mata ke arah Brooke sebelum berlari menyusul Alec yang entah kenapa meneriakkan namaku seraya menyuruhku bergegas. Alec dan aku memulai pekerjaan kami dengan membersihkan kandang terlebih dahulu. Selama ia mengumpulkan kotoran di samping pintu kandang, aku mengisi kotak-kotak pakan ayam dan mengisi bak jerami untuk para sapi. Aku juga mondar-mandir mengambil air dari sumur untuk minum hewan-hewan itu. Setelah kandang bersih aku membantu Alec yang sudah berhasil menggergaji beberapa batang kayu untuk rangka green-house. “Tunggu dulu. Dari mna semua barang-barang ini berasal?” tanyaku karena aku sendiri benar-benar heran dari mana semua kayu ini berasal. Dan pengerjaan pagar itu membutuhkan kayu yang tidak sedikit. “Aku sudah lama membelinya dan kau tahu hanya tidak sempat mengerjakannya.” Alec setelah selesai memotong kayu dan kayu itu jatuh ke tanah. “Dan green-house karena aku juga ingin menanam...” “Apa kau dengar apa yang baru saja kau katakan? Semua pekerjaan ini nantinya jelas bukan untuk dikerjakan dua orang!” Aku dengan kedua tangan di pinggang. “Mom dan Dad telah berencana untuk ikut pindah dengan kami ke sini” Aku mengerjap.  Karena aku tidak pernah mendengar informasi itu sama sekali. “Kapam tepatnya mereka memberitahumu itu?” “Sebulan yang lalu. Kami berencana untuk membangun satu kabin lagi untuk mereka. Di dalam area pagar ini, tentu saja. ” Aku masih menatapnya dengan perasaan terkhianati sebelum akhirnya aku mendengarnya berseru memintaku mengumpulkan kayu-kayu yang sudah ia potong. Kami bekerja dalam diam hingga akhirnya perasaan berat di dadaku mulai mereda. Alec bekerja sama cekatannya dengan Dad. Aku membantu menggali untuk pancang-pancang green-house. Lalu menyambungnya dengan kayu-kayu lentur untuk rangka atapnya. Ketika Alec datang dengan terbal bening untuk atapnya dan bersiap untuk memasangnya, aku langsung berseru. “Sebaiknya kita mencangkul tanah untuk menanam dulu sebelum menutupnya dengan terpal. Akan sangat panas sekali di dalam walaupun sekarang adalah musim gugur!” Alec menatapku sejenak sebelum menggumam setuju. Jadi ia mulai mencangkul tanah untuk menanam bibit-bibitnya. Dengan cepat napas suara erangan terdengar diikuti oleh keringat yang membanjir. Sudah ada beberapa baris tanah yang telah dicangkul dan Alec langsung merebahkan diri ke tanah dekat tiang pancang green-house-nya. Sedangkan aku duduk dengan berselonjor kaki di sebelahnya. “Jika seandainya Alexander Kim sepuluh tahun lalu tahu ia akan berakhir dengan bau kotoran sapi dan berlumur tanah seperti ini...” katanya dengan napas terengah dan wajah basah akibat keringat. Ia menyeringai lebar ke arahku. “Tapi aku rasa Alexander Kim sepuluh tahun lebih muda itu juga tahu apapun pilihannya itu mengandung janji akan membuatnya bahagia.” Aku balas seringainya. “Apalagi lengkap dengan zombie-apocalypse yang tiba-tiba datang. Ia mungkin berpikir ia sudah terlalu lama bergaul denganmu.”  Alec menunggu hingga ia bernapas dnegan tenang sebelum bangkit. Belakang kepalanya penuh dengan rumput ketika ia berkata, “Jadi kau akan menikah, hah?” Aku mendongak menatap langit cerah. Berbeda sekali dengan langit kemarin. “Yeah, dengan orang yang tepat di saat yang tepat pula. Aku rasa jika keadaan memunginkan kau mungkin akan membangun sau kabin lagi untuk kami.” “Aku akan dengan senang hati menerima siapapun yang mau tinggal di sini selama mereka juga mau membantuku mengurus semua ini. Tapi keputusanmu itu bukan karena kau merasa kau akan mati sebentar lagi, kan?” Aku melemparkan sejumput rumput ke arahnya dan ia mengelak dengan sangat lihai. “Bagaimana kau bisa mengatakan hal yang sama dengan Brooke?” seruku tidak terima. “Karena bisa saja. Mungkin kau melihatku dan Dad dengan pasangan kami masing-masing dan itu membuatmu cemburu...” “Kau tahu, kan aku tidak seputus-asa itu?” Alec mengedikkan bahu sebelum berdiri sambil membersihkan rambut dan belakang celananya. “Kau mungkin tidka putus asa. Tapi aku tahu benar kalau kau ksepian.” Aku tidak punya balasan untuk itu karena ia memang benar. Jadi setelah itu kami bekerja dalam diam. Alec sibuk memotong-motong bibit kentangnya sedangkan aku yang bertugas untuk menanamnya. Ia memarahiku beberapa kali karena aku melakukannya sembarangan, namun setelah itu aku bisa melakukannya sendiri sebelum Alec mengambil-alih untuk meneruskan menanam bibit yang lain. Ia kemudian menyuruhku untuk mengambil air untuk menyiramnya. Jadi aku kembali ke sumur. Kali ini hanya ada Brooke yang sedang menginjak-injak sesuatu yang berat di dalam baskom yang besar. “Apa itu?” tanyaku sambil mengisi emberku. “Seprei. Untuk kamar pengantin.” Brooke tanpa melihat ke arahku sama sekali. Ia sibuk menunduk memandang kakinya. Aku merasakan wajahku memanas juga. Rambut pirang pasir Brooke sekarangtampak lebih panjang dan menutupi bagian atas telinganya. Ia tidak lagi memakai pakaian lelaki dan sekarang memakai blus yang aku rasa adalah pakaian lama Dalla. Jadi tanpa kata aku kemudian mengulurkan tangan ke arahnya yang ia balas dengan pandangan penuh tanya. “Berdansalah denganku,” kataku setelah aku selesai mengisi penuh emberku. Brooke mengulum senyumnya dan meraih tanganku. Dengan kakinya yang masih dalam ember bersabun. Kami berdansa tanpa musik. Aku membuatnya berputar di dalam ember dan Brooke tertawa lebar. Ia juga hampir terjatuh yang dengan segera aku menarik pinggangnya agar lebih dekat. Setelah itu kami bergerak ke kiri dan ke kanan dengan kepala Brooke di atas bahuku... “Sudah berlatih untuk acara dansa pertama, hah?” Itu Alec dengan senyum yang tidak sampai ke matanya. Ia jelas kesal. “Aku kira kau sakit perut atau apa.” Dan ia mengambil emberku dan berbalik begitu saja. Dengan perlahan aku melepas Brooke dengan emmastikan kalau ia tidak akan terjatuh. Mengirimnya cium jauh sebelum berlari mengejar Alec. “Ayolah, jangan bertingkah seperti kau tidak pernah menjadi penganti baru sebelumnya.” Aku mencoba menggoda Alec, namun aku langsung mengurungkan niatku begitu melihatnya sedang menyekop tumpukan besar kotoran sapi dan melemparkan masuk ke ember yang berisi air. Aku langsung berjengit menjauh. ***      Pagar sedikit lagi selesai. Bibit-bibit telah ditanam. Dan pakaian-pakaian sudah dijemur. Dan kami sekarang berkumpul di teras untuk menikmati makan siang. Karena kami sudah bekerja keras hari ini sebagai hadiahnya Alec berbaik hati mengeluarkan satu botol wine lagi. “Aku berharap kita bisa menemukan es atau apa.” kataku setelah mengucapkan terimakasih untuk gelas wine-ku yang telah terisi. Aku dan Alec duduk di undakan. Mom sudah meminta kami untuk langsung mandi di dekat sumur. Tapi tidak ada satupun dari kami yang punya tenaga. Belum lagi kami berbau seperti kotoran sapi. Setelah selesai menanam bibit, Alec dan aku langsung membuat pupuk kompos untuk disiramkan pada bibit setiap harinya. “Sebentar lagi musim salju. Jadi kau tidak perlu menunggu terlalu lama.” Alec kemudian menyesap wine-nya. Karena rumah peternakan ini berada di daerah perbukitan kami masih bisa melihat pemandangan tanaman anggur Alec dari atas pagar Dad. “Jadi bagaimana tanaman-tanaman anggur itu nantinya?” Aku mengedikkan dagu ke arah tanaman anggur sambil memain-mainkan isi gelasku. Alec menegak habis wine-nya sebelum menjawab. “Aku rasa untuk saat ini kita tidak bisa melanjutkannya dulu. Urusan kita sudah cukup banyak di dalam pagar ini.” Aku mengangguk-angguk menyetujui keputusan itu. Hari cukup cerah untuk tidak membuat kami harus memakai pakaian yang lebih tebal. Namun bukan berarti aku tidak mendengar Alec sesekali bersin akibat pakaian kami yang basah akibat keringat. Aku menoleh ke belakang. Abe dan Dad sedang terlibat percakapan seru dengan masing-masing gelas wnine di tangan. Wajah Dad sudah memerah akibat minuman sedangkan gelas Abe masih penuh. Para wanita akhirnya keluar. Membagikan sandwich dengan mayonaise yang Dalla kataan sebagai buatan rumahan dengan dendeng yang sangat tebal. Brooke yang mengantar bagianku sendiri. “Bagaimana kalau kita mengadakan upacara pernikahannya lusa? Well, setelah semua urusan dengan rumah peternakan ini selesai.” Dalla dengan wajah berbinar-binar setelah memaksa kami memberinya jalan agar ia bisa menyampaikan pengumunan itu di bawah undakan. Aku dan Brooke bertukar pandang dan Brooke hanya bisa mengedikkan bahunya. “Tidak ada yang menunggu dan tidak ada yang menahan kita untuk melakukannya dengan segera.” Dalla mengedarkan pandangan dengan raut tidak percaya karena tidak satupun dari kami yang memberinya respon. “Karena untuk saat ini semuanya memang seperti itu.” Aku mendengar Abe menyahut di belakang dan tentu saja aku berbalik untuk memberinya lirikan tajam. Abe dengan sengaja memandang lurus ke arah Dalla. *** “Jadi bagaimana?” Dalla sekarang berkacak pinggang. “Kau seharusnya membicarakan ini hanya dengan kedua calon mempelai, Dalla.” Alec dengan nada geli. “Kau juga seharusnya bertanya apakah mereka memang sama semangatnya dengan kau ingin melaksanakan pernikahan itu secepat itu.” Aku tahu itu suara Dad dengan nada paling serius yang pernah ia gunakan selama aku berada di sini. “Aku bahkan tidak punya cincin untuk Brooke!” seruku akhirnya teringat hal yang paling penting dari semua masalah ini. Aku menoleh ke arah Brooke. Memberinya pandangan penuh permintaan maaf. “Anggap saja masalah itu sudah beres.” Itu Mom tiba-tiba, membuatku memutar tubuh ke belakang. Wajah beliau tampak lelah namun berbinar dengan sesuatu yang lain. “Kalian tinggal menyetujui apakah upacaranya aan dilakukan lusa apa tidak?” Brooke akhirnya mengangkat suara. “Apa tidak merepotkan? Ada banyak pekerjaan yang masih harus kita selesaikan...” “Besok setelah membersihkan kandang seperti biasa dan menyiram tanaman, para pria akan menyelesaikan sisa pagar yang belum terpasang. Setelah itu tidak ada yang bisa kita lakukan selain makan dan tidur dan menunggu kapan ajal datang.” Itu Dad lalu menghabiskan sisa minumannya dalam satu kali tegak. “Kita butuh sesuatu yang dirayakan. Aku tidak ingin menghabiskan waktuku terlalu lama berduka untuk orang yang tidak aku kenal.” Aku tidak mengerti arti dari pandangan Abe ke ayahku. Terkejut? Tidak percaya? “Apa yang Dad maksud adalah New Jersey?” Itu Alec yang juga memutar tubuhnya ntu menghadap Dad. “Yeah, dan kita tidak tahu berapa banyak yang selamat di sana. Kalaupun jika mereka selamat berapa banyak yang mampu bertahan sebelum kelaparan, penyakit atau para zombi menyerang mereka!” Kemudian Dad bangkit. Berjalan cukup dekat di deat pagar undakan sebelum menatap langit dengan marah. “Apa yang sebenarnya Kau rencanakan?!” Aku mendengar suara terkesiap. Mom bahkan maju untuk menyambar lengan Dad dan pria itu menarik tangannya dengan kasar hingga membuat Mom terhuyung. Sedetik itu jug Dad menyadari apa yang baru saja ia lakukan. Sambil mengacak-acak rambutnya ia lalu meminta maaf pada Mom. “Aku butuh sendiri.” Kemudian beliau menghilang ke dalam rumah. “Ayah kalian penuh dengan kejutan, ya?.” Itu Abe setelah hening yang canggung. Mom menghela napas panjang dan setelah meyakinkan semua orang kalau ia baik-baik saja. Mom kemudian tersenyum lembut. “Jadi James dan Brooke. Apa kalian tidak apa-apa jika menikah lusa?” Ada permohonan dalam suara itu. Walau au yakin Mom akan menerima apapun keputusan kami. Tapi sepertinya keputusan itu juga akan berpengaruh padanya dan Dad. Aku merasakan remasan tangan Brooke di lenganku sebelum ia mengangguk. “Yeah, Mom  Kami bersedia.” Setelah mendengar itu Mom langsung menghela napas panjang dan mengangguk. “Kalau begitu semuanya beres.” Kemudian menghilang masuk dengan bahu merosot. “Di saat-saat seperti inilah kita baru menyadari betapa pentingnya waktu itu.” Alec berkomentar sebelum bangkit berdiri. Mengecup pipi istrinya dan ikut masuk setelah lebih dulu melepaskan kaosnya di ambang pintu. “Kalau begitu aku harus meminjam calon pengantin wanitanya juga.” Dalla lalu mengulurkan tangan untuk membantu Brooke berdiri. Sama-sama mereka masuk ke rumah dengan tangan Dalla melingkar di lengan Brooke. Tinggal aku dan Abe yang ada di teras. Aku memutar tubuh kembali menghadap ke arah tanaman-tanaman anggur milik Alec. Udara dingin kembali berembus dan langit mulai menggelap. Sepertinya akan turun hujan lagi. “Apa kau tahu ke mana takdir dunia ini, Abe?” tanyaku tanpa berbalik dan sambil memutar-mutar gelasku. Isinya bergoyang mengikuti gerakan berlawanan arah jarum jam yang kubuat. “Tahu,” jawabnya. Aku menyadari Abe tidak pernah menjawab pertanyaanku lebih dari yang seharusnya ia jawab. “Apa aku boleh mengetahuinya?” “Boleh. Ketika saatnya tiba.” Abe lagi dengan sama tenangnya. “Dan kau harus menyelesaikan latihan menembakmu juga.” “Kenapa?” tanyaku lagi disaat kilat petir muncul dikejauhan. “Karena kau harus mempunyai kekuatan untuk menjaga istrimu kelak. Kau tidak bisa terus-terusan bergantung padanya.” Aku menyeringai dengan jawaban itu. “Tapi sepertinya Brooke tidak keberatan jika aku melakukannya.” “Akulah yang keberatan. Jadi cepat bersihkan dirimu dan kita akan melanjutkan latihan kita.” “Kenapa kau bersikeras untuk aku bisa melakukannya, Abe?” Kali ini Abe butuh waktu untuk menjawab. Dan jawabannya seperti ia desiskan di sela-sela giginya. “Karena itu tugasku dan aku tahu kau sedang mencoba mengorekku. Lakukan saja dan itu demi kebaikanmu.” Demi kebaikanmu, katanya?! Aku mendengus dengan kalimat itu. Namun tetap saja aku menurutinya. Aku bangkit dengan kaki terseret. Saling pandang dengan Abe ketika aku masih berada di ambang pintu. Kilat menyambar di kejauhan. Aku bisa melihatnya dari balik punggung Abe. Dan pemandangan itu membuat Abe tampak jauh menakutkan apalagi ditambah dengan pandangan matanya dibalik ikal rambutnya. Gray tiba-tiba muncul di dekat kakiku. Memutariku untuk duduk di pangkuan Abe. Setelah kucing itu bergulung dan terlelap, Abe memutuskan adu pandangannya denganku lalu kembali menghadap ke depan. Aku meninggalkanya ketika ia sedang menyesap wine-nya. “Jadi bagaimana?” Dalla sekarang berkacak pinggang. “Kau seharusnya membicarakan ini hanya dengan kedua calon mempelai, Dalla.” Alec dengan nada geli. “Kau juga seharusnya bertanya apakah mereka memang sama semangatnya dengan kau ingin melaksanakan pernikahan itu secepat itu.” Aku tahu itu suara Dad dengan nada paling serius yang pernah ia gunakan selama aku berada di sini. “Aku bahkan tidak punya cincin untuk Brooke!” seruku akhirnya teringat hal yang paling penting dari semua masalah ini. Aku menoleh ke arah Brooke. Memberinya pandangan penuh permintaan maaf. “Anggap saja masalah itu sudah beres.” Itu Mom tiba-tiba, membuatku memutar tubuh ke belakang. Wajah beliau tampak lelah namun berbinar dengan sesuatu yang lain. “Kalian tinggal menyetujui apakah upcaranya aan dilakukan lusa apa tidak?” Brooke akhirnya mengangkat suara. “Apa tidak merepotkan? Ada banyak pekerjaan yang masih harus kita selesaikan...” “Besok setelah membersihkan kandang seperti biasa dan menyiram tanaman, para pria akan menyelesaikan sisa pagar yang belum terpasang. Setelah itu tidak ada yang bisa kita lakukan selain makan dan tidur dan menunggu kapan ajal datang.” Itu Dad lalu menghabiskan sisa minumannya dalam satu kali tegak. “Kita butuh sesuatu yang dirayakan. Aku tidak ingin menghabiskan waktuku terlalu lama berduka untuk orang yang tidak aku kenal.” Aku tidak mengerti arti dari pandangan Abe ke ayahku. Terkejut? Tidak percaya? “Apa yang Dad maksud adalah New Jersey?” Itu Alec yang juga memutar tubuhnya ntu menghadap Dad. “Yeah, dan kita tidak tahu berapa banyak yang selamat di sana. Kalaupun jika mereka selamat berapa banyak yang mampu bertahan sebelum kelaparan, penyakit atau para zombi menyerang mereka!” Kemudian Dad bangkit. Berjalan cukup dekat di deat pagar undakan sebelum menatap langit dengan marah. “Apa yang sebenarnya Kau rencanakan?!” Aku mendengar suara terkesiap. Mom bahkan maju untuk menyambar lengan Dad dan pria itu menarik tangannya dengan kasar hingga membuat Mom terhuyung. Sedetik itu jug Dad menyadari apa yang baru saja ia lakukan. Sambil mengacak-acak rambutnya ia lalu meminta maf pada Mom. “Aku butuh sendiri.” Kemudian beliau menghilang ke dalam rumah. “Ayah kalian penuh dengan kejutan, ya?.” Itu Abe setelah hening yang canggung. Mom menghela napas panjang dan setelah meyakinkan semua orang kalau ia baik-baik saja. Mom kemudian tersenyum lembut. “Jadi James dan Brooke. Apa kalian tidak apa-apa jika menikah lusa?” Ada permohonan dalam suara itu. Walau au yakin Mom akan menerima apapun keputusan kami. Tapi sepertinya keputusan itu juga akan berpengaruh padanya dan Dad. Aku merasakan remasan tangan Brooke di lenganku sebelum ia mengangguk. “Yeah, Mom  Kami bersedia.” Setelah mendengar itu Mom langsung menghela napas panjang dan mengangguk. “Kalau begitu semuanya beres.” Kemudian menghilang masuk dengan bahu merosot. “Di saat-saat seperti inilah kita baru menyadari betapa pentingnya waktu itu.” Alec berkomentar sebelum bangkit berdiri. Mengecup pipi istrinya dan ikut masuk setelah lebih dulu melepaskan kaosnya di ambang pintu. “Kalau begitu aku harus meminjam calon pengantin wanitanya juga.” Dalla lalu mengulurkan tangan untuk membantu Brooke berdiri. Sama-sama mereka masuk ke rumah dengan tangan Dalla melingkar di lengan Brooke. Tinggal aku dan Abe yang ada di teras. Aku memutar tubuh kembali menghadap ke arah tanaman-tanaman anggur milik Alec. Udara dingin kembali berembus dan langit mulai menggelap. Sepertinya akan turun hujan lagi. “Apa kau tahu ke mana takdir dunia ini, Abe?” tanyaku tanpa berbalik dan sambil memutar-mutar gelasku. Isinya bergoyang mengikuti gerakan berlawanan arah jarum jam yang kubuat. “Tahu,” jawabnya. Aku menyadari Abe tidak pernah menjawab pertanyaanku lebih dari yang seharusnya ia jawab. “Apa aku boleh mengetahuinya?” “Boleh. Ketika saatnya tiba.” Abe lagi dengan sama tenangnya. “Dan kau harus menyelesaikan latihan menembakmu juga.” “Kenapa?” tanyaku lagi disaat kilat petir muncul dikejauhan. “Karena kau harus mempunyai kekuatan untuk menjaga istrimu kelak. Kau tidak bisa terus-terusan bergantung padanya.” Aku menyeringai dengan jawaban itu. “Tapi sepertinya Brooke tidak keberatan jika aku melakukannya.” “Akulah yang keberatan. Jadi cepat bersihkan dirimu dan kita akan melanjutkan latihan kita.” “Kenapa kau bersikeras untuk aku bisa melakukannya, Abe?” Kali ini Abe butuh waktu untuk menjawab. Dan jawabannya seperti ia desiskan di sela-sela giginya. “Karena itu tugasku dan aku tahu kau sedang mencoba mengorekku. Lakukan saja dan itu demi kebaikanmu.” Demi kebaikanmu, katanya?! Aku mendengus dengan kalimat itu. Namun tetap saja aku menurutinya. Aku bangkit dengan kaki terseret. Saling pandang dengan Abe ketika aku masih berada di ambang pintu. Kilat menyambar di kejauhan. Aku bisa melihatnya dari balik punggung Abe. Dan pemandangan itu membuat Abe tampak jauh menakutkan apalagi ditambah dengan pandangan matanya dibalik ikal rambutnya. Gray tiba-tiba muncul di dekat kakiku. Memutariku untuk duduk di pangkuan Abe. Setelah kucing itu bergulung dan terlelap, Abe memutuskan adu pandangannya denganku lalu kembali menghadap ke depan. Aku meninggalkanya ketika ia sedang menyesap wine-nya. *** Aku tidak tahu apa selama ini Abe hanya berpura-pura atau inilah Abe yang sebenarnya.  Abe tidak lagi berbaik hati. Ia berkali-kali meneriakiku ketika posisi kuda-kudaku salah atau bidikanku meleset. Sekarang ini ia mengajariku bagaimana memanah, menembak dengan semua pistol yang kami punya. Bahkan dengan senapan baru Dad yang berat itu. Alec dengan senang hati membuatku papan bidikan yang ia gambar dengan sisa-sisa cat yang entah ia dapatkan dari mana. Alec tahu aku akan dibantai oleh Abe dan ia dengan senang hati membuat itu terjadi. “Bidikanmu...” “Itu karena angin!” balasku membentak. “Dan sebentar lagi akan hujan!” “Zombi-zombi itu tidak akan mendengar alasanmu yang menyedihkan itu, James! Lakukan lagi!” Kami saling mendelik dan ingin sekali rasanya aku menembak kepalanya dengan panah yang sedang kupegang ini. Apalagi ditambah dengan Alec dan Dad yang menonton dari kejauhan. Dad sudah kehilangan selera untuk melanjutkan memasang pagar dan Alec berkata para wanita tidak mengizinkan untuk berada di dalam rumah. Dan yang anehnya keduanya tampak baik-baik saja aku diajari oleh orang asing yang senewen seperti ini. Aku mengerang keras dan kembali membidikkan senapanku pada papan bidikan yang lubang di sana-sini tapi bukn di tengah-tengahnya. Angin memang benar-benar kencang, berhembus melewati telingaku hingga membuatku tidak bisa mendengar apapun. Wangi air hujan sudah terasa dan itu semua membuat konsentrasiku buyar. Dan aku tahu seharusnya semua hal itu tidak membuyarkan konsentrasiku. Tapi melihat betapa menyebalkan wajah Abe sekarang membuatku ingin cepat-cepat menyudahi sesi latihan ini dengan memberikannya alasan pertama yang terlintas di kepalaku. Lalu tentu saja akhirnya membuatku terdengar seperti anak berusia sepuluh tahun. Angin berembus tidak kenal ampun ketika aku menarik menarik pelatuk. Suara sentakan peluru kalah dengan betapa kerasnya suara angin. Namun akhirnya aku bisa menembus titik tengah papan bidik dengan sempurna. Aku mendengar suara Alec bertepuk dan berseru dari kejauhan dan ketika aku menoleh ke sana. Aku bahkan melihat Dad juga ikut bertepuk. “Tinggal lihat saja nanti apa kau bisa sebagus ini disituasi sebenarnya apa tidak.” Abe dengan ekspresinya yang melembut, namun tidak dengan dan tajam dalam suaranya. “Itu karena aku tidak haus darah!” balasku dengan masih sama kesalnya. “Katakan itu pada orang-orang yang berperang dengan atas nama perdamaian dunia.” “Hey! Kalau kau punya dendam tersendiri pada orang-orang itu jangan kau lampiaskan padaku. Aku tidak sama dengan mereka.” Gerimis mulai turun dan Abe dengan “berbaik hati” muai mengumpukan senjata yang ada di atas rumput. “Kau benar. Kau tidak sama. Tapi tetap saja masih mungkin lebih buruk.” Aku menaruh tali senapan di salah satu bahuku dan berjalan mendekat ke arahnya. “Aku tidak ingin mengetahui apa yang sedang terjadi dalam kepalamu sekarang. Namun sebelum ini satu-satunya benda yang dapat membunuh yang pernah aku pegang sebelumnya adalah pisau masakku. Aku tidak pernah berkeinginan untuk mengakhiri hidup orang lain.” Abe mendorong folding bow ke dalam pelukanku sebelum ia berkata, “Yeah, benar dan kau akan membuat hidupmu sendiri berakhir.” “Jadi sebenarnya kau inginkan dariku itu  apa?!” Namun Abe sudah berlari kembali menuju rumah dengan semua bawaannya tepat ketika hujan besar mulai turun. Untungnya aku tidak sempat basah. Alec membantu Abe membawa barang-barangnya dan keduanya menghilang masuk ke rumah. Belum sempat aku menginjak kaki di ambang pintu aku sudah mendengar Dad memanggil namaku. Jadi aku berhenti dan menoleh ke arahnya. Gray melompat turun dari pangkuannya dan melewatiku masuk ke rumah. Dad lalu memberiku isyarat untuk duduk di dekatnya menggunakan tangannya. Aku dengan patuh duduk di sana dengan dahiku yang mengerut dalam. “Aku hanya ingin tahu apa kau benar-benar serius dengan keinginan menikahi Brooke...” Aku bersiap untuk mendebatnya namun Dad sudah mengangkat telapak tanganku ke arahku. Aku langsung menutup mulut. Hujan lebat melingkupi percakapan kami. Namun tidak cukup lebat sehingga membuatku tidak bisa mendengar suara Dad. Ketika beliau berkata dengan serius. “Aku bertanya bukan karena aku tidak mempercayaimu. Namun James yang selama ini kami kenal adalah anak yang tidak dengan begitu mudahnya membuka pintu tembok tinggi yang ia bangun pada sembarang orang.” Aku menghela napas. Melepaskan tali senapan dari bahuku dan menaruhnya di lantai bersama folding bow setelah menyadari betapa seriusnya pertanyaan itu. “Aku ingat salah satu mantan pacarku pernah menyinggung soal itu pada kalian. Ia berkata kalau aku tidak sama seperti yang ia harapkan. Dan Mom berkata kalau aku tidak punya kewajiban untuk memenuhi semua ekspektasi seseorang terhadapku. Pada saat itu aku hanya berpegang teguh dengan apa yang Mom katakan padaku. Namun sepertinya memang benar demikian. Ada tembok tak kasatmata yang aku sendiri bahkan tidak tahu kapan tepatnya aku membangunnya.”  “Karena kau tidak mungkin betah selama itu hidup tanpa benar-benar bersosialisasi dengan orang lain. Dan sekarang kau merindukan bagaimana rasanya bisa terkoneksi dengan orang lain... “...Atau lebih tepatnya aku akhirnya merasa kesepian.” Aku memotong sambil mengangguk-angguk. “Dan bukan aku yang mengatakan itu. Kau sendiri yang mengakuinya.” Kami lalu saling menyeringai. “Karena upacara pernikahan kalian tidak resmi. Ibumu hanya takut jika pada saat semuanya masih tidak pasti seperti ini kalian malah memutuskan jika perasaan kalian hanya sesaat dan menghilang setelah beberapa waktu...” “Jadi kalian sudah memikirkannya sejauh itu? Apa kalian memang tidak mempercayaiku?” “Karena memang situasi kalian istimewa...” Namun aku sudah menggeleng. “Aku berterimakasih atas kekhawatiran kalian. Namun aku cukup menyukai Brooke sebagai dirinya sendiri untuk mau menikahinya secepatnya. Aku tidak percaya jika Mom dan Dad tidak melihat bagaimana serasinya kami. Ia mengetahui apa yang tidak aku ketahui dan begitu juga sebaliknya...” “Yeah dan karena itulah sangat sulit bagi kami untuk percaya bahwa semua ini adalah sesuatu yang kebetulan. Atau memang butuh kiamat seperti ini dulu baru kau menyadari apa yang sebenarnya kau perlukan dalam hidupmu?” “Sebagian orang hanya perlu dipukul kepalanya sekali, Dad untuk ia tahu apa yang sebenarnya ia harus lakukan untuk hidupnya. Apa aku memang separah itu hingga harus melewati zombie-apocalypse dulu?” Dad tertawa bersamaku sebelum akhirnya aku memerhatikan ia mengeluarkan sesuatu dari sakunya. “Aku dengar Alec sudah memberitahumu tentang keinginan kami untuk pindah ke sini, ya? Ketika kami memutuskan untuk mempercepat kepindahan kami beberapa hari yang lalu itu. Dan dengan terburu-buru tentu saja. Aku tidak menyangka ibumu masih sempat untuk menyelamatkan ini.” Dad membuka genggaman telapak tangannya di hadapanku. Sebuah cincin dengan titik-titik berlian mungil di bagian atasnya. “Ini cincin tunangan yang kuberikan pada ibumu. Kami berencana memberikannya pada Alec ketika ia menyampaikan berita kalau ia akan melamar Dalla, tapi ia berkata ia sudah memesan cincinnya sendiri. Jadi kami menyimpan ini dengan harapan suatu saat nanti kau akan berpikir sudah waktunya kau keluar dari gelembungmu sendiri.” Aku menatap cincin itu kemudian wajah ayahku dengan perasaan penuh terimakasih. Aku mengambil cincin itu untuk kupegang sendiri. Tampak sangat menakjubkan dan cantik... “Kalau begitu... Tolong jaga Brooke, ya? Kalau tidak aku sendiri yang akan menembakmu dengan senapanku.” Aku menyeringai. Menggenggam cincin itu seperti hidupku bergantung padanya sebelum menjawab. “Memangnya yang bisa aku lakukan, Dad?  Berselingkuh dengan sapi?” Dad hanya mengedikkan bahu. “Yeah, buktinya sekarang terjadi zombie-apocalypse seperti ini. Aku tidak akan terkejut jika itu benar-benar terjadi. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN