Ketika aku sebenarmya ingin berbicara dengan Abe. Malaikat itu malah menyibukkan dirinya untuk berbincang dengan keluargaku, terutama Dad. Dad sepertinya mulai jatuh cinta dengannya dan Abe jelas-jelas penjilat. Lebih penjilat dari Gray yang duduk tenang menikmati garukan di belakang telinga oleh Dalla tempat mereka sekarang tengah berbincang ringan di ruang keluarga dengan penerangan lentera dan senjata api yang dekat dari jangkauan tangan. Ketika aku menoleh sekali lagi melewati bahu aku melihat sekilas tubuh Alec yang menutupi pandangan. Ia juga tampak menikmati suasana rumahnya yang sangat ramai itu.
Sedangkan aku? Aku terjebak mendapatkan tugas cuci piring bersama Mom yang berbaik hati mengeringkan piring-piring yang sudah kucuci. Kami bekerja dalam diam karena suasana rumah peternakan ini sudah penuh dengan dengung percakapan dan suara tawa.
“Kau jelas mendapatkan teman-teman yang menarik, James.” Mom akhirnya buka suara setelah suara tawa mereda.
“Yeah, untung saja mereka tidak berniat untuk mengambil-alih apapun dari kita sekarang.”
“Maaf, sir Tapi aku mendengar itu.” Itu Brooke sambil meletakkan piring kotor di dalam wastafel yang sudah kosong.
Aku mengerang pelan. Lalu tiba-tiba aku menyadari sesuatu. “Dari mana air ini mengalir, ngomong-ngmong?”
“Dari tangki penampungan. Alec menghidupkan genset sehari sekali agar mesin air berjalan dan mengisi tangkinya. Tidak ada yang mau menimba sumur dan kehabisan tenaga setelahnya. Siapa tahu para zombi tiba-tiba menyerang.” Mom sambil mengulum senyum. Mungkin ada semacam cerita dibalik kejadian itu.
Lalu ia sibuk mengelap gelas anggur sebelum berkata, “Aku senang kau sampai dengan selamat, James. Kau harus tahu itu.”
“Yeah, Mom. Terimakasih karena telah mempercayaiku,” kataku sambil menyerahkan piring yang Brooke berikan padaku yang telah dicuci kepadanya. Mom menyadarkan kepalanya di pundakku sejenak sebelum memberiku senyum keibuan.
Mungkin karena memang sudah lama kami tidak seperti ini. Belum lagi dengan adanya semua perangkat elektronik itu yang membuat kami sekeluarga sibuk masing-masing. Sekarang hal yang bisa menghiburmu hanya buku-buku usang dan percakapan dengan satu sama lain.
Ditambah dengan anggur dan dendeng yang enak. Aku rasa tidak buruk untuk tinggal di tempat seperti ini.
“Dan Alec memberitahuku jadwal besok adalah menyelesaikan pagar dan memetik anggur. Tapi Abe berkata kau harus melanjutkan latihan menembakmu. Syukurnya, kami di sini punya cukup amunisi berkat orangtua Dalla dan kamar rahasia mereka. Ini kali pertama aku bersyukur punya besan yang penggila teori konspirasi.”
“Memetik anggur? Alec masih sempat mengurusi anggur-anggurnya?” Walau sebenarnya berita itu tipikal Alec sekali. Tapi berita itu tetap saja adalah kejutan.
“Untungnya para zombi itu tidak menyukai anggur, James. Mereka melewatinya begitu saja selama tidak ada daging menggiurkan yang sedang bersusah-susah tetap bekerja ditengah-tengah kiamat seperti ini di tengah-tengahnya.”
Kami berdua tertawa bersamaan dengan pekerjaan kami selesai. Begitu berbalik aku menyadari Brooke mengambil duduk di meja makan yang telah bersih sambil memandangi keluargaku dan Abe tengah berbincang seru sambil tertawa-tawa. Abe dan Alec bahkan saling tunjuk, berdebat akan sesuatu...
“Kau tahu, ada sebuah bukit kecil dengan pemandangan kebun anggur Alec di belakang rumah ini. Aku tidak tahu bagaimana keadaannya di malam hari tapi itu tempa t yang bagus untuk mengobrol... Well, sedikit lebih pribadi.”
“Dan kau memberitahuku itu karena...”
“Siapa tahu kau ingin membawa Brooke ke sana. Untuk... Kau tahulah, berbincang tanpa ada yang mendengarkan.” Mom menyodok lenganku dengan bahunya sambil mengeringkan tangannya dengan serbet baru.
“Dan kenapa kau mengira aku ingin menghabiskan waktu berbincang dengannya?”
Mom mendongak padaku dan ia berbicara melalui sela giginya. “Karena sejak kedatangan kalian ke sini kalian tidak henti-hentinya saling mencuri pandang. Membuatku dan ayahmu gemas. Jadi sekarang, bersikap beranilah dan ajak ia berkencan.”
Aku memutar bola mataku tapi Mom sudah mendorongku maju. Brooke ikut tertawa dengan apapun yang ia dengarkan dari ruang keluarga ketika aku berdeham di sampingnya. Ia mendongak kepadaku dengan raut penasaran.
“Kau ingin menemaniku mencari udara segar?” tanyaku dengan suara yang amat pelan sekali sehingga kau tidak yakin jika ia mendengarnya apa tidak.
Dan seperti dugaanku dahinya malah mengerut. “Kenapa?”
Aku mengedikkan bahu. “Kau tahulah. Setelah apa yang sudah aku kerjakan seharian ini dan kau terjebak dengan para wanita Kim. Aku rasa kau dan aku butuh udara segar sejenak.”
Brooke menatapku dengan raut curiga. Sehingga membuatku menaikkan kedua telapak tanganku di depan tubuh. “Kita memang harus membawa senjata dan kau bisa mempergunakannya bukan hanya untuk zombi jika sesuatu terjadi di luar sana.”
Berhasil. Ia tertawa dengan semburat merah lucu di tulang pipinya. “Aku akan membawa senjataku.” Dan ia beranjak pergi dan untungnya Glock-17 masih ada di ikat pinggangku. Aku menunggunya dengan tenang sebelum Mom tiba-tiba menyorongkan dua botol jus jeruk hangat karena suhu ruangan di dalam pelukanku. “Kau tidak bisa membawanya dengan tangan kosong. Dan kalian sudah minum cukup anggur malam ini. Jika aku mendengar suara teriakan sedikit saja aku akan menembak apapun yang membuatnya takut dan aku tidak perlu memastikan jika itu zombi apa tidak.”
“Ayolah, Mom. Kau sudah menyayanginya secepat itu?”
“Aku menyayangi semua anak yang bisa menjadi anakku sekarang. Dan gadis itu sudah melewati banyak hal daripada yang bisa kita bayangkan. Jadi berbaik hati sedikit dengannya.” Mom kemudian memberitahuku jalan yang harus aku lalu dan jangan lupa untuk membawa lentera yang ada di dapur sebelum bergabung dengan kelompok ribut itu.
Tidak berapa lama kemudian Brooke kembali dengan senjatanya, sebuah kain tersampir di lengannya dan menggenakan jaket usang kepunyannya itu. Aku kemudian membuka pintu kasa belakang rumah Alec dengan bahuku karena tanganku sudah penuh dengan lentera dan botol-botol jus.
“Sini, biar aku bantu.”
Dan aku berterimakasih dan mengira Brooke akan membawa botol jus. Namun ternyata ia malah mengambil lentera dan berjalan lebih dulu dariku dengan memegang lentera tinggi-tinggi di atas kepalanya.
“Kau tahu jalannya?” Aku bertanya karena ia memang tampak yakin ke mana arah tujuannya.
“Dalla memberitahuku. Sepertinya bukit itu sudah menjadi tempat kencan favoritnya juga.”
Aku mendengus geli sebagai tanggapan.
Begitu sampai di puncak bukit yang dimaksud, Brooke menggelar kain itu di atas rumput sebagai alas duduk kami, meletakkan dua botol jus di sisi kirinya dan senjatanya di sisi yang lain. Ia meletakkan lentera di depan. Menciptakan cahaya kuning yang langsung mengundang ngengat-ngengat halus.
Aku sendiri duduk berselonjor dengan sepatuku yang berada di luar garis kain. Menghirup udara malam dalam-dalam dan merasakan rileks luar biasa.
“Jadi selama aku mengerjakan semua pekerjaan pria. Apa yang para gadis lakukan di dalam rumah?”
“Aku membantu Dalla memilih bahan makanan dan membenahi rumah dengan ibumu. Keduanya sangat baik padaku, membuatku agak canggung.” Brooke yang duduk dengan memeluk kedua kakinya dengan dagu yang ditumpukan di lutut.
“Kenapa?”
“Karena aku tidak sepenuhnya tahu tentang bagaimana bergaul dengan sesama perempuan. Ibu tiriku tidak begitu memedulikanku dan saudari tiri kecilku sudah menjadi seorang yang menganggap dirinya sangat penting sejak usia sekecil itu. Jadi aku lebih banyak berusaha untuk tidak berhubungan dengan mereka.” Brooke mendengus keras.
“Kau tahu, mungkin kau bisa menganggapku berengsek juga karena awalnya aku tidak yakin kau pria atau wanita.”
Aku tidak menyangka Brooke menanggapinya dengan tenang sekali. “Kau bukan orang yang pertama. Aku suka penampilan seperti ini karena sederhana, kau tahu. Apalagi aku besar dengan seorang ayah yang tidak tahu apa-apa tentang berdandan. Well, bukan berarti ibu tiriku tidak pernah menyinggungnya.”
Kami berdua tertawa kecil. “Maafkan aku, tapi aku benar-benar penasaran. Apa kau keturunan campuran juga?”
“Ibuku Puerto Rico. Ayahku kulit putih dan dari ia aku mendapatkan warna rambutku. Tapi dari foto-foto lama aku menyadari kalau aku lebih mirip ibuku.”
“Jadi kita sama-sama keturunan imigran...”
Brooke melepas pelukannya dan sekarang ia menatapku dengan tidak percaya. “Puerto Rico adalah bagian dari Amerika, James Kim! Kau tidak tahu itu?”
Aku mengerjap dan terkejut melihat ia terlihat kesal sebelum akhirnya menutup mulutnya dan ia tampak syok.
“Astaga, aku rasa aku butuh memberitahu Alec dan Abe soal ini!” Katanya sebelum tertawa terbahak-bahak sambil memegang perutnya.
Well, aku sangat malu sehingga berharap kami tiba-tiba diserang zombi agar Brooke bisa berhenti tertawa seperti itu...
***