Baik aku dan Alec sekarang duduk sambil memeluk kaki. Dari kejauhan aku melihat Dad dan Abe masih bekerja dan sesekali entah menertawakan apa...
Brooke seorang gadis...
Kenyataan yang menghantamku sedemikian rupa hingga membuatku terduduk dan merenungkan semua hal yang aku pikir adalah kemampuanku dalam menebak apapun yang terjadi dalam kepala seseorang.
Dan ternyata aku salah.
Namu kenyataan itu tidak sepenuhnya membuatku marah. Malah membuatku memikirkan lebih banyak kemungkinan yang bisa terjadi di masa depan...
"James, berhenti menyeringai seperti itu. Kau membuatku takut."
Aku menoleh dan mendapati Alec menatapku dengan ekspresi jijik yang membuatku berkata, "Apa?"
Alec menghela napas panjang sebelum berkata, "Tapi aku tidak bisa menebak usianya. Jadi aku harap kau tidak macam-macam."
Aku mendengus tidak terima. "Kau kira apa yang akan aku lakukan setelah mendengar informasi itu. Langsung menerkamnya?"
Alec entah kenapa serius sekali ketika berkata, "Iya, bisa saja. Soalnya kau sudah lama dengan duniamu sendiri dan lihat apa yang sedang terjadi saat ini. Aku rasa sekarang adalah skenario yang cocok untuk pertanyaan." Suara Alec melengking ketika berkata "jika kau dan aku adalah dua orang terakhir di dunia ini. Apa yang akan kau lakukan?""
"Alec, kau tahu aku tidak menyedihkan seperti itu."
Si b******k itu malah menyipitkan mata. "Lalu kenapa kau bereaksi sekuat ini...."
Tiba-tiba aku mendengar Dad berteriak memanggil-manggil Abe yang tiba-tiba meninggalkan pekerjaannya dan sekarang berjalan ke arah kandang milik Alec dengan langkah pasti. Membuatku dan Alec saling bertukar pandang sebelum berlari mengejar Dad.
"Aku sedang menceritakan tentang masa mudaku dulu sebelum mendengarnya berkata, "ini saatnya" dan tiba-tiba berbalik pergi begitu saja," Dad menjelaskan dengan napas terengah dan wajah dan bersimbah keringat.
Abe mengangkat palang kunci kandang yang terlihat berat itu dengan sangat mudah lengkap dengan ekspresi paling serius yang pernah aku lihat dari wajahnya.
Ia tahu apa yang ia lakukan.
Begitu palang terbuka. Kami mendengar rintih dari salah satu kandang. Alec menyumpah kecil dan sekarang berlari mendahului Abe menuju kandang itu.
"Ia dalam kesakitan." Abe dengan nada paling serius suaranya ketika Alec telah berjongkok dan mendapati salah satu sapinya sudah terbaring di atas jerami dengan napas pendek-pendek dan merintih. Alec mengelus-elus leher sapi itu dan si sapi mengerjapkan matanya sekali. Seakan-akan ia lega kalau Alec di sana.
"Ia senang kau datang, Alexander. Ia juga ingin kau tahu kau ia sangat bersyukur menjadi sapimu."
Keadaan ini mengingatkanku ketika pertama kali bertemu dengan Gray. Waktu itu Abe juga memberitahuku apa yang ada di dalam kepala kucing itu.
Alec sekarang berbaring di atas jerami untuk memeluk sapi itu. Terdengar dengkuran dan sapi itu sekali lagi mengerjap.
Terdengar seruan dari beberapa binatang lain. Seakan-akan mereka merasakan pedih yang sama...
"Aku juga berterimakasih padamu karena telah menjadi sahabat yang baik, sobat..."
Dan sama denganku, Alec juga percaya dengan apa yang Abe katakan. Mungkin disaat penuh emosi seperti ini kita menjadi lebih mudah untuk mempercayai apapun yang kita dengar. Kita memakan omongan apapun yang membenarkan perasaan kita...
Namun tidak ada kesan kalau ia sedang mempermainkan kami dan dibeberapa kesempatan Abe memang sangat serius. Hingga akhirnya ia berjalan diantaraku dan Dad untuk ikut berjongkok di sebelah Alec.
"Ia tidak akan bisa pergi jika kau tidak merelakannya."
Aku tidak tahu kalau Alec ternyata sudah menangis hingga membuat suaranya serak. "Tidak..." Ia memeluk leher sapinya dengan lebih erat.
"Alexander, kau hanya membuatnya tersiksa lebih lama." Ada nada menegur dalam perkataan Abe yang membuatku terpana. Nada yang biasa dikatakan seseorang yang mempunyai otoritas tertentu.
Alec makin terisak, namun ia akhirnya mengangguk. "Selamat jalan, sobat. Kau adalah salah satu dari banyak hal terbaik yang pernah terjadi padaku." Ia lalu menyentuhkan dahinya di dahi sapinya itu kemudian memejamkan mata.
Aku mendengar Dad menghela napas panjang di sebelahku.
Abe kemudian meletakkan tangannya di antara dahi mereka yang saling menempel. Diiringi suara mendengking sedih dari seluruh binatang yang ada di dalam kandang ini, tubuh sapi itu bergetar sejenak sebelum akhirnya benar-benar diam...
Lalu tidak lama kemudian aku mendengar Dad memaki.
Sepasang zombi mengulurkan tangan ke depan. Berjalan menyeret dengan cepat ke arah kami. Aku baru sadar kalau aku tidak membawa senjata apapun bersamaku dan Dad dengan cepat telah menarik senjata api dari ikat pinggangnya dan dengan ahli menembak kedua zombi itu tepat di dahi mereka. Keduanya langsung terkapar di tanah...