Bab 9. SAH! MENJADI MADU

1341 Kata
"Sah!" "Sah!" "Saaaaah!" Anggun berkedip dan setetes air mata jatuh di pipinya. Sejak melihat pria yang akan menjadi suaminya itu tadi, pikirannya sudah tidak fokus lagi. Apapun yang terjadi dan apapun yang terucap dari mulut orang -orang itu tidak dia perhatikan lagi. Bahkan apa yang di ucapkan oleh pria di sampingnya ini saat ijab kabul tidak dia perhatikan lagi. Semua seperti angin lalu yang berhembus di samping telinganya. Hanya satu kata yang di ucapkan bersahut-sahutan dan sedikit panjang yang masuk ke telinganya sekaligus menghancurkan hatinya yang sudah retak. Dia menatap ibunya yang malah tersenyum riang pada beberapa tamu yang datang. Sementara ayahnya menunduk dengan raut sendu. Tetangga di belakang sana semakin kencang berbisik. "Salim suami kamu!" titah seseorang pada Anggun yang masih mengumpulkan nyawa yang berserakan sejak setengah jam yang lalu. Seseorang menepuk lengannya dan mengingatkannya sekali lagi lalu dia menoleh pada bapak-bapak a.k.a suami orang yang sudah menjadi suaminya yang menatap ke arahnya dengan tatapan tajam di dalam bola matanya Anggun mengambil tangan pria itu dan salim. Detik berikutnya air matanya menetes saat bibir pria itu menyentuh puncak kepalanya dan pria itu meletakkan telapak tangannya di kepala Anggun dan berbisik disana. Anggun tahu, pria itu pasti melafalkan doa di atas kepalanya. Doa untuk apa? Kebahagiaan pernikahan? Setelahnya, Anggun melihat wanita yang pernah menjumpainya. Wanita itu duduk tenang di belakang suaminya yang melangsungkan akad nikah. Tidak ada raut kemarahan yang terpancar di wajahnya membuat Anggun sedikit curiga. Mana ada wanita yang begitu tenangnya melihat suaminya menikahi perempuan lain? Mendengarkan sedikit ceramah soal pernikahan dari beberapa orang yang ada disana. Setelah itu, Anggun mengikuti arahan seseorang untuk meminta restu dan doa pada kedua pasang orang tua. Anggun tidak memperhatikan semua itu, hanya mengikuti apa yang di suruh. Kalau bisa, sebaiknya acara ini di hentikan sampai disini saja dan dia di biarkan mengurung diri di kamar. Menangisi nasib yang tidak pernah berpihak padanya. Apakah dia bisa marah pada yang maha kuasa atas semua yang dia terima ini? Anggun memeluk ayahnya sebentar lalu memeluk ibunya juga. Dia menjatuhkan kepalanya di pundak ibunya seraya mengucap terimakasih. "Terimakasih, pilihan ibu memang luar biasa. Terbaik dari yang terbaik di segala bumi ini!" ucapnya menyindir ibunya. Dia mengangkat kepalanya dan mendapati Indri berdiri di depan pintu kamarnya. Mata keduanya bertemu dan bohong jika Anggun tidak marah. Tangannya terkepal dan darah di ubun-ubunnya mendidih. Ingin rasanya dia berlari ke arah Indri dan menarik rambutnya hingga lepas lalu membenturkan kepala itu ke dinding agar otaknya sedikit bergeser dari posisi yang selama ini salah menurut Anggun. Indri membuang pandangan terlebih dahulu. **** Anggun permisi ke kamarnya saat semua orang sedang bersantap dan langsung duduk merapat di sudut kamar sambil terisak. Apa ini? Dia menjadi istri dari suami wanita lain? Apa ini yang terbaik menurut ibunya? Dia membekap mulutnya dengan tangannya karena sekali lagi berhasil di tipu oleh ibunya. Apakah menyayat urat nadi sendiri masih merupakan sebuah dosa? Kapan kah itu bisa berubah menjadi hal halal untuk di lakukan? Anggun ingin sekali melakukannya tetapi dia tidak mau ke neraka. Tak lama, langkah pelan menghampirinya dan dia merasakan tepukan pelan di pundaknya. Dia tidak mengangkat wajahnya dari lututnya yang dia tekuk. Dia membiarkan tangan hangat ayahnya itu memeluk dirinya. "Ayah memang tidak berguna, tolong maafkan ayahmu ini Anggun." Walau Herman pandai berkata-kata di sekolah pada anak muridnya, tetapi ketika di rumah dan menghadapi masalah keluarga seperti ini, kepiawaiannya berkata-kata seolah-olah hilang. Ketika berdebat dengan istrinya, dia tidak bisa berkutik karena dulu untuk bisa masuk PNS, keluarga istrinyalah yang membantu. Jadi setiap pertengkaran atau apapun kemauan yang tidak di setujui oleh Herman, istrinya akan mengatakan bahwa Herman adalah orang yang tidak tau berterimakasih. 'Kalau bukan karena pamanku dulu, kamu tidak akan bisa jadi PNS' kalimat yang akhirnya membuat Herman bungkam karena itulah kenyataan. Sekarang, ketika istrinya berbuat semena-mena pada putrinya, dia tidak bisa berbuat apa-apa untuk menyelamatkan gadis malang itu. Hanya bisa meminta maaf karena kelemahannya sebagai seorang ayah. Ruang depan sudah sepi, sepertinya para tetangga juga pak RT sudah pulang. Tak lama, terdengar langkah tergesa memasuki kamar Anggun. "Kemasi barang-barangmu, malam ini kamu langsung di bawa oleh suamimu! Jangan bertingkah disana dan jadilah istri yang patuh pada suami. Hormati mertuamu dan juga Rosa, kakak madumu." Linda berucap dengan ketus tanpa rasa bersalah sama sekali. Dia melenggang keluar setelah mengucapkan itu. Anggun masih terisak dalam posisi yang sama. Riasan yang menghiasi wajahnya sudah berantakan karena air matanya. Dia tidak bergerak sama sekali dan berharap keluarga yang baru saja menikahinya itu segera pergi tanpa dirinya. Tidak apa di cap pembangkang dan langsung di talak. Tidak peduli dia sudah janda atau tidak yang penting dia tidak pergi dengan keluarga itu. "Kenapa masih disitu? Cepat!" kata Linda yang kembali masuk dan langsung mengambil satu buah koper dari atas lemari Anggun. "Ayah keluar! Temani besan kita di luar biar ibu yang bantu Anggun disini!" Dengan isakan yang menjadi-jadi, Anggun menahan tangan ayahnya yang sudah beranjak pergi. Dia menangis dan menggeleng untuk melarang ayahnya keluar dari kamarnya. Dia tahu, selangkah setelah ayahnya keluar dari kamar ini, nyanyian merdu ibunya akan segera menyapa gendang telinganya. Pembalasan jasa dan keikhlasan akan menjadi topik yang sangat panas. Benar saja! Apa yang Anggun pikirkan benar-benar terjadi setelah ayahnya keluar di bawah tatapan tajam ibunya. "Kemari! Kemasi bajumu! Pilih pakaian yang lebih terang, jangan bawa baju yang busuk-busuk kesana. Jangan permalukan dirimu dan ibu!" ucap Linda menyeret Anggun ke arah lemari. "Kamu ya Anggun. Bisa-bisanya kamu masuk ke kamar usai akad. Kamu nggak melayani suami kamu yang hendak makan. Baru sah aja kamu udah bertingkah seperti itu. Besok gimana lagi? Harusnya kamu bersyukur mendapatkan Agung. Walau dia sudah punya istri, istrinya ikhlas kamu menjadi madunya. Kenapa pula kamu yang sesenggukan disini?" Sampai sekarang, walau Anggun sudah sah menjadi istri Agung. Linda tetap belum mengatakan imbalan apa yang di minta oleh keluarga itu dari Anggun. Bahkan uang seratus lima puluh juta yang sudah di terima Linda tidak pernah dia sebutkan pada Anggun. "Banyak orang yang sangat ingin di posisi kamu ini Anggun. Jadi jangan menunjukkan wajah seperti itu pada keluarga barumu. Nikmati peranmu dan segeralah hamil!" lanjut Linda. Dia menarik pakaian Anggun dari lemari dan melemparkannya di atas ranjang. Memilih mana yang paling bagus menurutnya. "Suatu saat, kamu pasti akan berterima kasih pada ibu karena sudah mencarikan jodoh yang tepat untukmu!" lanjutnya tanpa melihat Anggun. Anggun memasukkan pakaian yang di sisihkan ibunya ke dalam koper. Tidak semua, hanya beberapa. Dia melipat seragam kerjanya dari balik pintu dan memasukkan tas yang biasa dia pakai kerja. Semua di kumpulkan dalam satu koper. Lalu sisa pakaian yang di keluarkan ibunya dari lemari, dia masukkan kembali ke dalam. "Tolong jangan buang pakaian Anggun ini. Suatu hari nanti, Anggun akan mengambilnya. Semua barang Anggun yang tinggal tolong jangan di sentuh. Mungkin, kalau ibu mengijinkan, Anggun akan mengunci kamar ini." Linda tidak menjawab, hanya mencibir dalam hati. "Emangnya ini kamar apa sampai seistimewa itu? Baju-bajumu juga sudah busuk, cocoknya jadi kain lap aja!" batinnya seraya melihat ke seluruh penjuru kamar. Anggun berjalan ke meja riasnya dan membersihkan wajahnya dari sisa mekap dengan cairan pembersih yang dia punya. "Jangan lama-lama!" ucap Linda seraya berjalan keluar kamar. "Bu!" Langkah Linda terhenti karena panggilan dari Anggun. Anggun memutar badannya dan menatap ibunya. Dengan tatapan datar dia bertanya, "Apakah selama ini ibu pernah benar-benar menyayangi Anggun? Apakah ibu sadar bahwa Anggun juga anak ibu? Apakah ibu pernah merasa bersalah karena selalu memperlakukan Anggun berbeda dengan Indri?" Linda menatap Anggun dalam diam. Dia tidak punya jawaban untuk pertanyaan itu. Wanita itu mengibaskan tangan di depan wajah seraya berdecak. "Ck! jelas ibu sayang padamu karena kamu anak ibu juga. Sudah! Tidak usah banyak tanya. Segera keluar jika sudah selesai berkemas." Langkahnya yang sudah di ambang pintu kembali terhenti karena panggilan kedua dari Anggun. Dia menatap Anggun dengan sedikit tajam yang hanya di respon Anggun dengan tatapan datar. Bukan menunduk seperti biasa. Tangan Anggun terkepal di kedua sisi tubuhnya. Jika saja memukul ibu bukanlah sebuah dosa, kepalan tangannya pasti sudah melayang dan mendarat tepat di wajah ibunya dan wanita paruh baya itu pasti tergeletak begitu saja di lantai kamar Anggun. "Apakah ibu bahagia sudah menjual Anggun demi Indri?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN