Bab 7. RENCANA BERUBAH

1228 Kata
Gadis itu menatap dirinya yang sedang di rias di dalam cermin. Tidak ada aura kebahagiaan terpancar dari wajahnya walau orang-orang di sekitarnya termasuk periasnya memberikan pujian padanya karena anugerah yang dia terima dari yang maha kuasa. Sedari tadi, perias itu memuji bentuk wajahnya dan semua bagian-bagian wajahnya yang katanya sangat sempurna. Matanya yang bulat seperti boneka, alisnya yang tebal dan juga bulu mata yang lebat. Bentuk bibir dan mancungnya hidung yang dia miliki juga tidak luput dari pujian yang terlontar tiada henti dari mulut perias itu. "Kamu kok bisa sih kebagian semua ini? Aku di kasih satu aja udah bersyukur sekali," ucap perias itu seraya menyapukan kuas-kuas andalannya di wajah gadis itu. Anggun hanya tersenyum menanggapinya. Dia melihat semua apa yang di sebutkan oleh perias itu tadi, benar dia sangat cantik. Selama ini, dia tidak pernah memuji dirinya cantik, dia sibuk mengeluh kehidupan yang dia jalani. Ceklek Daun pintu terbuka dan muncullah sosok wanita paruh baya yang sudah mengenakan gamis terbaiknya. Dia tersenyum pada Anggun melalui pantulan cermin di depan Anggun. "Nak, kenapa wajahnya murung begitu? Senyum dong!" ujar wanita itu dengan wajah sumringah. Dia meletakkan tangannya di bahu Anggun dan sedikit meremasnya memberikan kode pada Anggun. Anggun meringis walau langsung berusaha menahan ringisannya. Dia beradu tatapan dengan ibunya -yang berdiri di belakangnya- lewat pantulan cermin. Perlahan, gadis itu menarik kedua ujung bibirnya ke atas dan terbitlah senyumnya. Senyum terpaksa yang di minta oleh ibunya. "Apa ayah sudah datang?" "Sudah!" Wajah Linda -ibu Anggun langsung muram. Teringat perdebatan barusan di kamar mereka. Perdebatan yang kesekian kali karena Herman -ayah Anggun tidak menerima rencananya. Dia menolak menerima lamaran pria yang bernama Agung itu. Pria yang dia tahu sudah menikah dan sudah berusia empat puluhan. Herman selalu menegaskan bahwa putrinya Anggun berhak memilih dan menentukan dengan siapa dia akan menikah. Namun, Linda mengeraskan hatinya, bahwa Agung adalah pria terbaik untuk Anggun saat ini dan keluarga mereka, terlebih untuk putri bungsu mereka -Indri- yang sebentar lagi akan kuliah. "Jangan pikirkan ayah, tenang saja. Ayah sudah di depan menunggu tamu kita," usapan lembut di pundak Anggun membuat Anggun berusaha untuk menahan air mata apalagi periasnya sedari tadi sudah kepayahan mengurus wajahnya yang berkali-kali di tetesi oleh air mata. Linda menunduk dan mencium pipi Anggun, "Muka kamu jangan di buat muram seperti itu. Kamu harus senyum!" Anggun mengangguk bodoh. Mencekik ibu yang melahirkan kita dosa tidak? Jika tidak, Anggun sudah sangat ingin mencekik ibunya dan mengirimkannya ke neraka ke tempat ibu-ibu zalim pada anaknya. Linda menegakkan punggung dan sekali lagi menatap Anggun dengan senyum di bibirnya tetapi pandangan matanya menusuk seperti jarum tak kasat mata. Linda mengangguk pada tukang rias yang berhenti sejenak karena memberi waktu pada ibu dan anak itu lalu dia membalikkan badan dan keluar dari kamar Anggun. Usai kepergian ibunya, Anggun tak kuasa menahan air matanya. Dia menunduk dan membiarkan air matanya jatuh di pangkuannya. Punggungnya semakin bergetar kala usapan dari penata rias itu terasa di pundak hingga punggungnya. Ada tepukan pelan disana untuk menenangkan Anggun. Tanpa sepatah kata pun, Anggun mengerti keprihatinan tukang rias itu pada dirinya. Dia menegakkan pundaknya dan berkedip beberapa kali sambil tersenyum, "Maaf ya Ka, mekapnya rusak lagi, kakak capek lagi." "Tidak apa, akan kakak perbaiki lagi. Yang sabar yah. Semoga calonmu nanti orang yang bisa mengerti dirimu!" ***** Linda bersedekap di daun pintu kamarnya yang tertutup dari dalam. Dia melihat suaminya masih berdiri menghadap keluar melalui jendela kamar. Kedua tangannya di masukkan di saku celana dan pria itu tidak menoleh sama sekali walau dia mendengar suara pintu di buka. "Mereka sudah di jalan. Jangan perlihatkan wajah kamu yang masam seperti itu. Ingat, ini untuk kebaikan kita semua." Herman terkekeh tanpa menoleh pada istrinya. Punggungnya terguncang karena merasa lucu atas ucapan istrinya. Dia bertanya-tanya dimana urat malu istrinya ini berada? Apa kesadarannya juga hilang? Herman berbalik dan berjalan pelan ke arah istrinya itu. "Untuk kebaikan kita semua, ya? Baiklah, jika ini untuk kebaikan kita semua. Aku harap kamu tidak akan menyesal atas apa yang kamu ambil ini, Linda. Ingat ini, bukan hanya anak yang kena karma karena durhaka pada orang tua, tapi orang tua juga bisa dapat karma karena tidak mengurus anak dengan baik. Kamu bilang memaksakan Anggun menikah dengan pria pilihan kamu itu untuk kebaikan kita semua, kan? Hahahaha, tidak Linda, tidak! Ini bukan untuk kebaikan kita semua, tetapi kebaikan kamu dan putri kesayanganmu, Indri. Lihat ini, apa ini hasil dari menjual putrimu sendiri?" Herman, menunjuk rantai berkilau yang menggantung di leher istrinya. Dia tertawa mengejek istrinya yang mematung dan menyentuh kalung emas di lehernya. "Kamu memang hebat Linda. Hebat sekali! Semoga kamu puas dan bahagia melihat air mata Anggun." Herman keluar dari kamar dan beranjak ke dapur melewati pintu kamar Anggun yang terbuka sedikit. Dia tidak sanggup jika harus masuk dan melihat Anggun disana. Jika dia sampai masuk, maka acara ini di pastikan batal dan akan mengakibatkan huru hara yang bisa menjelekkan nama keluarga dan keluarga pria itu. Karena bisa saja Herman menyeret Anggun dan menyuruhnya pergi sebelum acara ini di mulai. Tak berselang lama, terdengar suara beberapa mobil berhenti di depan rumah mereka. Tetangga dan beberapa teman Linda sudah ada di rumah itu karena undangan Linda. Mereka menunggu pria mana yang akan menjadikan gadis seanggun Anggun menjadi istri. Mereka penasaran karena selama ini Anggun tidak pernah terlihat berduaan dengan pria. "Bu Linda, bisa bicara sebentar?" tanya Rosa yang langsung masuk ke rumah. Yang lain masih ada di mobil entah sedang mempersiapkan apa. "Bapak ada? Sekalian saja," lanjutnya dan Linda mengangguk. Dia bergegas ke dapur dan bertemu dengan suaminya yang berjalan santai ke ruang tamu dengan wajah yang datar. Linda memberi kode lewat tatapan dan mulutnya misuh-misuh tanpa suara agar suaminya itu merubah raut wajahnya menjadi sedikit santai dan ceria. "Ayo, istri Agung mau bicara. Sepertinya penting!" ucapnya seraya menyeret Herman ke ruang tamu. Mereka duduk seperti seorang rendahan di hadapan majikan angkuh. Ini kali pertama Herman bertemu wanita itu dan dalam hati dia mencibir istrinya yang sudah pasti mabuk uang dan kekayaan ketika berkenalan dengan wanita ini dan tidak heran kenapa Linda langsung menyetujui permintaan wanita ini tanpa bertanya padanya ataupun Anggun. "Ada perubahan rencana!" ujar Rosa dengan datar dan terkesan angkuh. Dia mengatakan niat keluarganya tanpa mau di cela dan tidak mau mendengar penolakan. Dia begitu berkuasa sampai-sampai Linda hanya bisa mengangguk setuju. "Aku ikut bu Rosa saja. Jika itu yang terbaik dan jika keluarga bu Rosa sudah setuju. Kalau kami..." Linda menyikut lutut suaminya mencari dukungan. "Kami setuju dan mengikuti yang terbaik aja!" lanjutnya karena Herman hanya menatapnya dengan alis terangkat bermakna 'emangnya aku punya hak untuk menolak? Kan kamu yang punya kuasa dan pemegang keputusan' Herman sudah sangat putus asa sekarang. Hanya saja, dia lemah! Tidak punya keberanian untuk melawan istrinya. Kelemahan yang di pupuk sedari dulu karena berusaha mewaraskan pikiran. Karena jika dia membantah satu kata saja, maka istrinya akan menjawab seribu kata sambil berteriak. "Baiklah kalau begitu. Anak kalian sudah di rumah, kan?" "Sedang di rias!" Rosa mengangguk sambil bibirnya mencebik lalu berdiri dan berjalan ke arah mobil di halaman rumah Anggun. Bicara beberapa saat dengan penghuni mobil, lalu keluar bersamaan dengan tiga orang sepuh yang pernah berkunjung ke rumah Herman juga. Lalu dari mobil lain juga keluar beberapa orang dan berjalan menuju rumah Herman. Linda menyapa semuanya dan mempersilahkan mereka duduk lalu berbasa-basi sedikit. "Sebentar, saya cek Anggun dulu!" Wanita itu dengan langkah ringan masuk ke kamar Anggun dan berkata, "Tolong di percepat, penghulunya sudah sampai!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN