Bab 16. AGUNG MULAI TERGUGAH HATINYA

1579 Kata
Istri bisa menuntut hak nafkahnya pada suami ketika dia juga berperan sebagai istri bagi suaminya. Benar, kan? Anggun tidak mau di cap kemaruk jika dia menerima uang dari Agung saat dia sudah di beri tumpangan gratis dan makan gratis selama sebulan ini. Mengenai jajan anak-anak Agung, tidak sedikit memang, tapi anggap saja dia membalas kebaikan keluarga Agung. "Maaf Pak, saya tidak bisa menerimanya. Bapak sudah menafkahi saya karena sudah membiarkan saya tinggal disini dan memberi saya makan. Terimakasih," ucap Anggun masih dengan menunduk. Ekor matanya menatap ujung sepatu mengkilap Agung yang diam bagai terpaku di depannya. Dia hendak meninggalkan Agung lebih dulu tapi takut di cap tidak sopan karena mengabaikan orang tua. Tidak hormat! Agung menarik tangannya kembali dan mengantongi uangnya di kantong kemeja lalu berlalu dari hadapan gadis yang setia menundukkan kepala dengan hembusan nafas pelan. Anggun menghela dengan berat lalu berjalan memasuki rumah dari ruang samping. Mengeluarkan beberapa camilan dan memberikannya pada salah satu art untuk di bagi-bagi. Setelahnya dia langsung naik ke lantai tiga dan mendekam disana hingga larut malam. Tidak mempedulikan waktu makan malam seperti biasanya. Semenjak tinggal di rumah ini, dia berubah menjadi orang yang semakin anti sosial dengan terus mendekam di kamarnya. Tidak berani pulang lebih lama saat jam kantor selesai. Bahkan jika Tiffani mengajaknya mencoba makanan yang lagi viral. Tengah malam, saat dia tengah fokus menulis, dia meraih botol minumnya karena tenggorokannya seret. "Ck! Lupa isi lagi!" ucapnya berdecak. Biasanya dia akan mengisi botol minuman dua liter itu setelah makan malam selesai dan membawanya ke lantai tiga.Sehingga tengah malam jika merasa haus seperti ini, dia tidak perlu turun ke dapur. Kakinya di langkahkan sangat pelan bahkan di tidak mengenakan sendal rumahan agar gesekan kakinya tidak terdengar dan mengganggu tidur ketiga gadis itu di lantai dua. Dan tuan rumah di lantai satu. Yang kebetulan juga mertuanya ada di rumah ini. Sebenarnya, pasangan sepuh itu punya rumah berjarak seratus meter dari rumah Agung, tapi karena sepi, mereka lebih sering disini dan pagi setelah sarapan mereka akan kembali ke rumahnya dan berkebun di belakang rumahnya. Tapi semakin tua ini, mereka lebih sering menginap di rumah Agung. "Gung, kamu sadar kan punya dua istri sekarang?" Langkah Anggun terhenti di dinding ruang makan karena mendengar suara dari dalam ruang makan itu. "Hmm! "Kalau kamu sadar, kenapa kamu tidak pernah mengunjungi istrimu di lantai tiga? Sudah satu bulan dia tinggal disini dan bunda lihat kamu selalu bersama Rosa. Apa Rosa tidak mengizinkanmu ke atas?" Anggun tahu, menguping bukan salah satu hal yang baik. Tapi dia sangat penasaran dengan topik yang melibatkan dirinya. Dan mungkin ini salah satu cara untuk mengetahui besaran utang keluarganya dan apa imbalan yang akan di ambil dari dirinya setelah sah di nikahi. "Agung yang tidak mau pergi. Rosa tidak pernah melarang. Hanya saja Agung tidak sanggup meninggalkan Rosa demi perempuan lain." "Kamu tidak meninggalkan Rosa. Rosa tetap menjadi istrimu dan nomor satu di hatimu. Kamu hanya perlu berkunjung ke kamar Anggun. Kalau kamu bersama Rosa terus, bagaimana bisa Anggun hamil dan memberimu keturunan laki-laki. Ayah dan Bunda sudah sangat tua, sebelum harinya tiba, kami sangat ingin menimang cucu laki-laki dari kamu. Karena itulah kamu menikahi Anggun. Anak laki-laki." Agung terdiam dan tidak membantah apa yang bundanya katakan. Hal itu membuat Anggun yang berada di balik dinding meremas pegangan botolnya dengan erat dan kakinya lemas seperti tidak bertulang. Anggun membekap mulutnya sendiri karena mendengar langkah di seret. Dia melihat ibu mertuanya lewat. Hatinya semakin rapuh dan iblis di pikirannya berbisik bahwa semua ini adalah kejahatan ibunya. Ibunya menjual Anggun pada orang kaya ini agar Anggun melahirkan anak laki-laki dengan imbalan sejumlah uang. Anggun bangkit dengan berpegangan pada dinding. Botol air minum di tangannya di pegang erat dan langkahnya tertatih ke lantai atas. Mengabaikan kekeringan di tenggorokannya. Punggungnya yang hampir hilang di lantai dua tertangkap oleh mata Agung. . . Pagi hari saat sarapan, Agung memperhatikan raut Anggun yang sendu dan sedikit bengkak. Walau dia merias wajahnya, tapi matanya yang memerah tetap tidak bisa di tutupi oleh kacamata itu. Hal yang tidak pernah di lakukan Anggun selama satu bulan ini di pagi hari, memakai kaca mata. Hal itu memperkuat dugaan Agung bahwa Anggun mendengar pembicaraannya dan bunda tadi malam. Dalam hati Agung mencibir, "Kenapa harus menangis? Munafik sekali. Bukannya itu tujuan dia disini?" Agung pura-pura tuli pada bisikan hatinya yang mengatakan Anggun adalah korban. Pandangan Agung pada Anggun membuat genggaman Rosa mengerat pada sendoknya. Dia mulai di landa rasa was-was jika Agung sampai dekat dengan Anggun seperti yang ketiga putrinya lakukan. Rencana harus di percepat sebelum Agung terjerat atau terpesona raut anggun milik Anggun. . . Seharian ini Anggun lebih banyak diam di kantor. Mengerjakan pekerjaan dengan diam dan hanya membuka mulut ketika di tanya. Makan siangnya juga di meja saja dan seperti tidak selera. "Kamu ada masalah?" tanya Tiffani menggeser kursinya ke arah Anggun. Anggukan dari temannya itu membuat Tiffani menghela nafas panjang. Dia sudah tahu bahwa ini pasti seputaran Indri lagi. "Maaf mengatakan ini, Nggun. Tapi beberapa hari ini, aku melihat Indri keluar dari Willi salon. Dia membawa box. Apa dia belajar salon?" Pertanyaan yang membuat Anggun menghentikan tangannya yang sedang mengetik. Benar juga, pengumuman seleksi perguruan tinggi harusnya sudah keluar, kenapa Anggun lupa dan tidak cek hasil Indri? "Aku tidak tahu!" jawab Anggun datar. "Itulah yang ingin aku tanya Nggun, bukannya dia ngotot mau jadi dokter? Kok keluar dari Willi salon." "Aku tidak mengurusi mereka lagi, Fan. Terserah mereka mau lakukan apa. Aku sekarang tidak tinggal dengan mereka lagi." "Apa?" Tiffani terkejut. "Ya, aku belum bisa cerita. Dalam waktu dekat akan aku ceritakan. Setelah ini, aku akan cek Indri dulu. Apa benar dia belajar salon atau nggak." Dalam hati dia menangis lagi, ternyata dia di jual untuk hal yang sia-sia. Mungkin uang yang di terima itu sudah di pakai untuk foya-foya. Tak terasa karena rasa marah di dalam hatinya, Anggun menggenggam penanya dengan erat hingga tak sadar tangannya sudah di tusuk oleh besi runcing ujung pena itu. . . Suasana hati yang sudah buruk semakin buruk. Raut Anggun tidak bisa di sembunyikan lagi. Bahkan dia pulang sedikit terlambat karena sengaja. Dia berhenti di pinggir jalan dan menikmati semangkok bakso pedas hingga membuat dirinya mengeluarkan air mata. Tidak apa jika dia mati mencret setelah ini yang penting emosinya saat imi terbakar. Hidungnya berair pun dengan matanya. Bukan karena dia kepedasan saja tapi karena memang dia melampiaskan kesedihannya. Tanpa dia tahu, mobil yang berhenti di seberang sana adalah milik Agung yang entah kenapa matanya menangkap Anggun yang duduk sambil menyeka wajahnya yang memerah dengan tissu. "Bodoh!" ucap Agung dan duduk dengan setia disana menunggu Anggun. Agung menunggu dan membiarkan Anggun berada di depannya. Entah apa yang ada di pikiran gadis itu makanya mengambil arah random dan menghabiskan waktu dan bensin dengan berkeliling tidak menentu. Agung berhenti beberapa meter kala Anggun menghentikan laju motornya dan turun dari motor. Membuang ingusnya lalu berjongkok dan punggungnya bergetar. Gadis itu menangis sesenggukan di pinggir jalan untung saja orang yang lewat itu tidak berhenti dan hanya membiarkan Anggun yang mungkin mereka anggap kurang waras. Aaaaaaaaa Teriak Anggun kencang ke arah pohon di pinggir jalan lalu bergegas naik motornya setelah dia membuang nafasnya kasar. Agung membiarkan Anggun pergi beberapa meter baru dia menyusul. Dan setelah melihat belokan yang di ambil Anggun ke rumah mereka, Agung memilih melewati Anggun dan menstabilkan kecepatannya agar bisa mengawasi Anggun. Baru saja Agung turun dari mobil dan berjalan ke dalam rumah lewat pintu depan, Anggun tiba di pintu gerbang. Gadis itu masuk ke dalam rumah lewat pintu samping seperti biasa. Dia langsung naik ke lantai tiga bahkan dengan helem yang masih melekat di kepalanya. Hingga waktu makan malam tiba gadis itu tidak turun membuat Rieka hendak memanggilnya ke atas. "Rieka! Biarkan saja. Kalau dia tidak lapar nggak usah di paksa. Jangan biasakan memanggilnya. Dia punya pikiran. Jangan mengantarkan makanan untuknya. Kalau tidak mau makan dan mau kelaparan, biarkan saja. Asal kita tidak larang dia makan di rumah ini saja." Rosa tersenyum dalam hati karena Agung masih miliknya seorang. Berarti tatapan Agung beberapa kali pada gadis itu bukanlah tatapan pria pada wanita. Sementara Anne, mengerutkan kening karena perilaku ayahnya pada istrinya yang lain. Kenapa papanya serasa tidak menyukai Anggun? Sudah satu bulan lebih Anggun disini tapi seperti tidak seorang istri bagi papanya. Alasan kenapa Anggun menjadi mama tirinya sampai hari ini belum di jawab mamanya. Mamanya hanya bilang, suatu saat mereka akan tahu dan melarang mereka terlalu dekat dengan Anggun karena Anggun bukan orang yang baik. Perkataan mamanya yang membuatnya bingung karena sejauh ini Anggun sangat baik. Sikapnya pada mereka bertiga sangat luwes jika mereka berada di lantai tiga. Tapi memang tidak begitu terbuka jika di depan semua orang. Usai makan malam, mereka duduk bercengkrama seperti biasa di ruang keluarga. Mamanya ijin pergi ke kamar dan setelah itu Anne berpikir ingin melihat Anggun saja di atas karena mungkin mama tirinya itu segan turun karena terlambat makan malam. Saat langkahnya sudah ada di anak tangga, dia melihat punggung ayahnya berbelok melewati anak tangga di lantai dua. Anne mengurungkan niatnya. Di lantai tiga, Agung melihat pintu Anggun yang tidak tertutup rapat. Dia melangkah mendekat dan mendorong pintu itu dan melihat Anggun yang tertidur di kasurnya bahkan belum berganti baju kerja. Agung masuk dan melihat wajahnya sembab dan masih ada bekas air mata. Agung menarik selimut dan menutupi seluruh tubuh Anggun. Dia mengedarkan mata ke seluruh kamar. Tidak ada AC dan pasti banyak nyamuk karena jendelanya bahkan di biarkan terbuka. "Aku berada di ujung dua jalan sekarang, hati kecilku mengatakan kamu sedang di korbankan tetapi pikiranku menolaknya, sebenarnya ada apa?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN