Rosa mondar mandir di depan rumahnya karena Agung dan Anggun belum juga sampai di rumah. Sudah jam tujuh malam dan tidak ada kabar berita dari dua orang itu. Ketika dia memutuskan untuk menelepon Agung, pria itu tidak menjawab panggilannya.
Ingin menelepon Anggun, tapi dia tidak punya nomor ponselnya.
"Mas, apa kalian lagi bersama?" ucapnya dengan rasa tidak rela walau dia sadar hubungan Agung dan Anggun adalah sah dan atas ijinnya.
Tetapi ketika dua orang itu bersamaan tidak ada di rumah dan tidak bisa di hubungi, hatinya resah dan takut jika Agung sedang melakukan tugasnya sebagai suami pada Anggun.
Dirinya semakin resah dan dia hendak melampiaskan semuanya pada barang yang ada di dekatnya.
Sementara orang yang membuatnya resah sedang duduk di sisi gadis yang tengah pingsan dan sudah di baringkan di atas ranjang di kamarnya. Di tangannya ada botol minyak angin yang barusan dia usapkan di telapak tangan dan kaki gadis itu.
Pria itu lupa bahwa sekarang di rumahnya ada yang menunggunya. Pikirannya kalut karena tidak bisa mengambil keputusan semaunya karena surat perjanjian sah di atas materai yang di buat oleh ibu mertua keduanya dan istri pertamanya. Ada kekuatan hukumnya!
Agung tak habis pikir dengan cerdiknya Rosa dalam menjebak Anggun dan keluarganya terutama ibunya yang sangat cinta uang itu.
Agung kasihan pada Anggun yang menjadi tumbal dari keegoisan ibu dan saudarinya padahal tujuan utama dari transaksi ini tidak jadi di ambil. Gadis itu jadinya kursus kecantikan dan meninggalkan niatnya yang ingin menjadi dokter itu dengan alasan 'aku tidak minat lagi.'
.
.
Saat Agung keluar dia mendengar suara sayup-sayup perdebatan kedua mertuanya di salah satu kamar di rumah itu. Agung melewatinya begitu saja dan dia beralih ke arah mobilnya karena hendak memberi kabar pada istrinya -Rosa yang mungkin sedang menunggu kabar darinya di rumah.
Ngeeeenggg
Suara motor melaju cepat keluar dari rumah Anggun dan di ikuti dengan teriakan Herman memanggil Anggun.
Agung melihat ke arah hilangnya motor itu dan melihat sekitar bahwa motor Anggun sudah tidak ada disana lagi. Dia akhirnya masuk dengan terburu ke dalam mobil dan melalui insting dia mencari Anggun di jalanan.
"Bukankah tadi dia sedang pingsan? Kenapa tiba-tiba langsung sadar dan langsung naik motor?" gumamnya.
Hanya berselang beberapa menit dia keluar dari rumah itu bahkan panggilannya pada Rosa juga belum tersambung.
Jalanan yang satu arah memudahkan mata Agung menangkap punggung Anggun yang sedang melaju di jalanan sepi. Gadis itu melaju terus ke arah yang semakin sepi jauh dari permukiman lalu berhenti di sebuah perlintasan kereta api dan mendudukkan dirinya di rel kereta api. Terlihat dia melihat jam di pergelangan tangannya.
Agung menyipitkan mata dan mencerna apa kira-kira alasan Anggun duduk disana di malam hari.
Lalu Agung melompat dari mobil begitu dia mendengar suara kereta api di kejauhan dan Anggun tidak bergerak dari sana. Pria itu menyeret Anggun yang meronta bahkan memukuli tangan Agung yang menyeretnya hingga ke dalam mobil. Agung memasukkan Anggun ke dalam mobil dan menampar gadis itu dengan keras di pipinya hingga pipi Anggun terlempar ke samping.
"HAAAH!" teriak Agung lalu menutup pintu mobil dengan membantingnya cukup keras membuat Anggun di dalam terlonjak kemudian dia menangis terisak.
Kenapa untuk mati saja begitu sulit rasanya?
Agung berkacak pinggang di luar mobil dan membiarkan kereta api itu melintas di depan mobilnya yang terparkir. Ini perlintasan kereta yang jarang penduduk jadi tidak akan ada yang mengetahui Anggun jika gadis itu terlindas sampai besok pagi ketika penjaga palang datang atau keluar dari posnya untuk memeriksa sekitar perlintasan.
"Kamu pikir dengan kamu mati tertabrak kereta api bisa menyelesaikan semua masalah, hah?" tanyanya dengan murka ketika dia masuk ke dalam mobil dan segera mengunci pintu agar gadis itu tidak bisa keluar lagi.
Dia menatap tajam ke belakang melalui kaca spion di dalam mobil. Anggun masih memegangi wajahnya yang tadi di tampar Agung dengan begitu kerasnya.
Masih terasa perih walau sudah berlalu beberapa menit. Anggun menutupi wajahnya dengan tangan dan membiarkan rambutnya berantakan karena dia merasa malu pada Agung karena ketahuan ingin menabrakkan diri pada kereta api yang sedang lewat.
"Tolong segera datang ke lokasi yang aku kirimkan mapnya. Bawa satu orang yang bisa naik motor. Kalau bisa kalian naik motor saja biar cepat!" ucap Agung di telepon.
Dia menoleh ke belakang setelah memutus panggilan dan bertanya pada Anggun. "Kamu bisa saya percaya atau tidak? Kalau kamu tidak, saya akan mengambil tindakan lain untuk keselamatan kita berdua."
Walau Anggun tidak mengerti maksudnya, tapi kepala di balik hamburan rambut dan telapak tangan itu mengangguk dengan samar.
Huffff
Agung menghela nafas dan menyandarkan punggungnya di sandaran kursi. Dia mengetik pesan pada Rosa.
Agung:
[Maaf, aku pulang terlambat. Ada urusan penting!]
Wife:
[Urusan apa? Kenapa baru kabari sekarang? Aku udah nungguin kamu dari tadi]
Agung:
[Mendesak, nanti aku ceritakan!]
Agung menolak panggilan dari Rosa karena tidak mau membuat istrinya itu berspekulasi yang tidak-tidak setelah melihat ada Agung dan Anggun di dalam mobil di tempat yang sepi.
Dua kali panggilan di tolak dan Rosa di seberang sana hampir gila karena pikirannya yang mengatakan sesuatu.
Dia dengan segera menghubungi Linda untuk memastikan.
"Ya Halo!" sapa Linda dengan datar dan suaranya di buat sedatar mungkin.
Mata besar suaminya sedang mengawasinya dan dia sudah di wanti-wanti sebelumnya untuk tidak membocorkan apa yang terjadi di rumah ini jika tidak ingin melihat kemurkaan Anggun yang sekarang sedang hilang dan Agung mencarinya.
"Anggun ada disana? Dia belum pulang soalnya. Agung juga ada?"
Rosa bertanya dengan cepat tanpa menyaring pertanyaan. Satu hal yang kurang darinya adalah, mengenai kecemburuan dia ratunya tetapi kecerdikan untuk mengawasi atau mencari tahu, dia paling g****k.
"Anggun ada. Dia pulang kemari dari tempat kerjanya dan barusan pergi ke tempat temannya di gang sebelah karena temannya lamaran. Apa dia tidak izin? Saat aku tanya dia tadi hanya menjawab hmm," Linda dengan sangat lancar berbohong dan tidak menyinggung Agung sedikitpun.
"Ya sudah, aku pikir dia kemana makanya tidak pulang sampai sekarang!"
Klik!
Panggilan di putus oleh Rosa karena dia percaya bahwa Linda tidak akan berbohong. Bahwa Linda ada di pihaknya yang tidak menyukai Anggun juga. Sekarang, wanita itu percaya bahwa Agung punya urusan mendesak. Memang, soal pekerjaan, apa saja yang Agung lakukan, Rosa tidak ambil pusing. Sebelum ini juga Agung sering pulang terlambat tapi karena statusnya sudah berubah dan kebetulan istri mudanya tidak pulang, itulah kenapa dia berpikir yang tidak-tidak pada keadaan ini.
Karena hatinya sudah tenang, akhirnya dia berbaring di kasurnya dan berselancar di ponselnya.
Membalas pesan dari beberapa orang yang mengirimkan pesan balasan pada foto story yang sore tadi di uploadnya.
"Hmmm, siapa yang akan mengira kalau aku sudah hampir tiga delapan," ucapnya melihat foto dirinya yang mengenakan pakaian olah raga di sebuah gym.
.
.
"Ingat ya Bu. Kali ini ayah tidak main-main lagi. Sekali malu, malu saja tidak apa. Jika ibu masih mengganggu Anggun dan menjelek-jelekkan Anggun pada Rosa dan membuat hidup Anggun yang sudah hancur semakin hancur, ayah tidak akan segan menggugat cerai ibu dan pergi dari rumah ini. Hidup saja berdua dengan putri kesayangan kamu itu."
Linda mengangguk. Sudah puluhan tahun menjadi istri Herman, baru kali ini Herman mengatakan perceraian sebagai imbalan mulut Linda yang lancip.
"Ingatkan Indri agar dia menjaga sikapnya juga. Ingatkan dia apa yang dilakukan Anggun padanya tadi. Jangan bersikap semena-mena lagi pada Anggun."
Linda mengangguk lagi dan sesekali menarik cairan di hidungnya yang ikut keluar karena panas di dalam.
Herman berdiri di depan pintu rumahnya dan melihat ke sekeliling rumah yang jaraknya lumayan jauh dari tetangga karena pekarangan masing-masing. Dia bersyukur karena keadaan lingkungannya yang seperti itu, dengan begitu tidak akan ada tetangga yang mendengar keributan yang baru saja terjadi.
"Apa ada kabar dari Agung?"
Suara Linda di belakang punggung Herman. Mereka melihat Agung mengejar Anggun yang melongos pergi dengan motornya begitu dia sadar dari pingsannya.
"Tidak. Ayah bahkan tidak punya nomer ponselnya untuk bertanya."
Linda hendak beranjak ke kamarnya lagi.
"Jangan coba-coba meminta nomor Agung dari Rosa. Pikirkan perasaannya sebagai istri pertama!" ujar Herman tanpa berbalik dan itu berhasil menghentikan langkah Linda.
"Percayakan saja pada Agung. Kalau tidak ada kabar sampai besok pagi, baru cari tahu."
Herman melangkah ke luar rumah dan duduk di kursi teras, memandangi perkampungan yang sudah gelap dan hanya di terangi oleh lampu teras setiap rumah yang berpenghuni.
Satu hal yang dia banggakan pada dirinya hari ini yaitu, dia bisa melawan istrinya dan untuk pertama kali wanita yang sudah membersamainya tiga puluhan tahun itu mengangguk patuh. Mulut istrinya itu langsung bungkam ketika ancaman di ceraikan keluar dari mulut Herman.
.
.
Tok tok tok
Kaca mobil Agung di ketuk dari luar dan menyadarkan Agung dari pikiran melayangnya tentang hidup keluarganya ke depan. Jika Anggun tidak bisa menceraikan atau di ceraikan dengan segera tanpa memberikan hasil sesuai perjanjian yang sudah di buat, itu artinya gadis itu akan semakin lama dengannya.
Agung menoleh ke belakang dan gadis itu sudah tertidur. Dia membuka pintu dan bicara pada temannya yang datang bersama orang lain.
"Tolong bawa motor ini ke tempatmu. Besok bisa kamu antar ke alamat yang akan aku berikan besok."
"Punya siapa?"
"Anggun,"
"Istri mudamu?"
Agung mengangguk. Pria itu bernama Lambok. Temannya sejak jaman sekolah dan sekarang merintis usaha pengangkutan. Segala apa yang terjadi pada Agung belakangan ini, dia ceritakan pada Lambok sebagai tempat berkeluh kesah termasuk soal pernikahannya dengan gadis muda demi anak laki-laki.
"Bisa liat? Awak penasaranlah!" ucap Lambok seraya mendekat ke mobil.
Dia membuka pintu dan melihat gadis yang tertidur itu di jok belakang.
"Cantik begini, kamu nggak selera? Kenapa harus pake inseminasi? Sikat ajalah!"
Agung menggeleng. Soal ini dia sudah ceritakan pada Lambok juga.
"Aku tidak tega pada Rosa."
"Karena apa? Kan dia yang suruh kamu. Kalau aku di posisi kamu, aku akan menikmatinya karena ini bukan salahku tetapi salahnya yang memberi ijin."