Bab 12. ISTRI PERTAMA PAMER

1344 Kata
Hidup ini penuh warna, bukan hanya hitam dan putih. Jika hari ini kamu hanya melihat yang hitam, coba lihat kebelakang sana. Ada berbagai warna yang sudah pernah kamu lewati. Karena itu, yakinlah bahwa di depan sana ada beberapa warna lagi yang akan kamu lihat bahkan bisa kamu raih. Ada warna yang kamu suka dan kamu tidak sukai. Ada warna yang mungkin akan kamu raih lalu menyimpannya. Tetapi, pasti ada warna yang akan kamu raih lalu kamu buang karena kamu tidak menyukainya. Sama halnya dengan hidup kita, perjalanan ke depan adalah misteri. Akan ada hal yang menyenangkan dan tidak. Akan ada hal yang membuat kita bertahan atau malah pergi. Banyak hal yang tidak terduga akan kita temui. Suka atau tidak harus tetap di lalui. "Roda dunia berputar, apa yang akan kamu lakukan jika takdir membawaku lebih dekat padanya dan jatuh cinta padanya?" tanya Agung datar membuat langkah Rosa berhenti. Dia memikirkan satu kalimat itu beberapa saat sebelum berbalik dan menatap Agung dengan senyum terbit di bibirnya. "Aku percaya cintamu hanya padaku dari dulu, sekarang hingga nanti. Kamu tidak akan pernah membaginya dengan siapapun, baik itu kepada Anggun gadis muda yang sudah menjadi istrimu. Karena bagaimanapun caranya, aku tidak akan membiarkan itu terjadi. Kamu hanya akan menjadi milikku." Tanpa peduli apa jawaban yang akan di lontarkan oleh Agung. Rosa melanjutkan langkah dengan senyum kemenangan di wajahnya. Wajah lemah lembut yang tadi dia tampilkan di depan Agung dan Anggun hilang berganti dengan senyum kelicikan. Agung menatap punggung istrinya itu yang semakin menjauh karena dia tetap memakukan kakinya di anak tangga. Dia menoleh sejenak ke atas ke arah lantai tiga tempat gadis itu. Banyak pertanyaan yang muncul dalam benaknya sekarang dari sejak beberapa jam yang lalu. Saat Anggun keluar dan padangan mereka bertemu, Agung bisa melihat keterkejutan di mata Anggun dan tatapan kekecewaan pada ibunya. Lalu saat ijab kabul, Anggun juga meneteskan air mata hingga jatuh ke tangannya yang terkepal di atas pangkuannya. Lalu beberapa saat lalu, saat gadis itu bersimpuh di hadapan Agung dan Anne, meminta maaf dan meminta waktu untuk membayar utang keluarga. Ada apa sebenarnya? Apa gadis itu di korbankan? Langkah Agung berlanjut dan dia menuju ke kamar mereka. Membuka kemeja dan langsung masuk ke dalam kamar mandi. Air dingin mungkin bisa meredakan kepalanya yang memanas sejak beberapa minggu ini, tepatnya ketika topik poligami di angkat di rumah ini. Tubuhnya yang sedang tersiram air mendadak hangat karena seseorang menempel di punggungnya. Tangan lentik yang menurut Agung sangat kurus itu bergerak di sekitar perut Agung. Pasangan itu di landa keheningan untuk beberapa waktu. Membiarkan air dari shower mendinginkan hawa panas di antara mereka belakangan ini. "Malam ini, jangan pergi ke kamarnya. Tinggallah denganku di kamar ini!" pinta Rosa dengan manja. Wajahnya di tempelkan di punggung Agung dan tangannya memeluk semakin erat. Suasana yang menggambarkan bahwa dia sangat tidak ingin Agung menikmati malam pertama dengan istri barunya. Agung mengangguk dengan samar lalu menepuk tangan istrinya. Pria itu membalikkan tubuhnya dan kini mereka saling berhadapan. Dia menatap wajah istrinya yang juga di tetesi oleh air. "Jika tidak sanggup berbagi, kenapa membiarkan aku menikah. Kamu sudah mengenalku selama puluhan tahun. Aku tidak akan pernah berpaling dari kamu. Dari awal melihat kamu hingga sekarang, aku tidak pernah memikirkan wanita lain. Aku tidak pernah peduli soal anak laki-laki jika kamu hanya bisa memberiku anak perempuan. Laki-laki dan perempuan apa bedanya? Sama-sama rejeki dari sang pencipta. Jangan khawatir, aku akan tetap milikmu!" . . Anggun merebahkan tubuhnya di atas kasur. Dia menatap langit-langit kamar barunya. Ini sudah jam dua pagi tapi matanya tidak mengantuk. Dia bahkan sudah selesai menyusun bajunya di sebuah lemari susun yang ada di kamar itu. Udara di kamar itu tidak lembab lagi karena dia membiarkan exhaust fan-nya menyala. Karena mata yang tidak bisa terpejam, dia bangkit dan mengambil laptop. Memilih menuangkan kisah hidupnya dalam sebuah buku yang mungkin akan dia terbitkan menjadi n****+ atau mungkin mengambil sebagian dari cerita hidupnya itu. Sesekali dia menyedot cairan di hidungnya dan berkedip karena merasa sedih ketika menuangkan semuanya dalam tulisan. Dia terlena oleh kisah hidupnya sendiri hingga dia bisa mengalahkan malam tanpa merebahkan dirinya sepanjang malam. Ketika hari sudah pagi, dia turun untuk membantu para pekerja di rumah itu. Dan membuat para pekerja itu terkejut karena nyonya kedua mereka turun tangan di hari pertama menjadi istri. Bukankah seharusnya masih mendekam di pelukan suami dan bermesraan? Apalagi lantai tiga sangat jarang di kunjungi oleh orang di rumah ini jadi mereka bisa berekspresi dengan leluasa. Anggun mengerjakan apa yang bisa dia kerjakan. Setelah selesai, dia permisi ke atas lagi untuk mandi. Sebenarnya jika bisa protes, Anggun lebih baik di suruh tinggal di rumah lain bahkan hanya rumah petak atau kos-kosan juga tidak masalah. Berada di rumah yang luas dan lengkap apa saja membuat dirinya kikuk dan merasa tidak pantas. Selain itu, dia juga sedikit keberatan dengan keberadaan kamarnya yang ada di lantai tiga. Anggun bergegas mandi dan mengenakan pakaian semi formal. Hari ini hari Sabtu dan kantornya buka hanya sampai jam dua siang. Dia turun lagi ke lantai satu dengan menenteng flat shoesnya. Wajahnya sudah sedikit segar karena sudah di sapukan mekap tipis untuk menutupi kantung matanya yang bengkak dan menghitam. Dia berjalan ke arah pintu keluar dan meletakkan sepatunya di luar lalu kembali ke ruang makan untuk sarapan. Ternyata, sudah ada Agung dan Rosa juga anak-anak yang sedang sarapan disana. Rosa tersenyum menyambut Anggun dan mengibaskan rambutnya yang basah dengan sengaja padahal Anggun sama sekali tidak mengerti. Yang panas malah art disana dan mereka masing-masing mencibir nyonya sombong itu. "Mau kemana?" tanya Rosa setelah Anggun duduk di kursi yang dia tunjuk. "Bekerja, Bu!" jawabnya dengan pelan. Dia menolak tangan art yang hendak menyendokkan nasi goreng ke piringnya. "Aku aja, Kak!" ucapnya menatap sekilas dengan senyum di wajahnya. Dia mengambil satu centong nasi dan menyantapnya dengan pelan. "Kamu kerja dimana?" "Pabrik Ban di Mabar, Bu!" Rosa mengangguk. Dia menunggu Agung mengatakan sesuatu tetapi suaminya itu hanya diam saja hingga sarapannya selesai. Agung langsung berdiri dan di ikuti oleh Rosa. Karena hari ini hari Sabtu, Kantor Agung juga santai. Hanya masuk setengah hari. Dan Anak-anak tetap sekolah. "Naik apa kesana?" tanya Agung saat Anggun berdiri dan membereskan meja makan. "Mungkin naik ojek, Pak. Motor saya tinggal kemarin disana!" Agung hanya mengangguk dan berjalan menggiring putri bungsunya -Delilah yang sesekali menatap penasaran pada Anggun. Sementara Anne, dia melihat Anggun yang manis dan memuji perempuan itu dalam hatinya. Anne menatap ayahnya yang enggan melihat Anggun. Apa ayahnya memang tidak jatuh cinta pada Anggun? Usai membereskan meja makan, Anggun memesan ojek online lewat aplikasi. Dan dia duduk di teras rumah itu seraya memasang sepatunya. Mungkin tidak akan ada gojek yang berani masuk sampai ke dalam. Jadi lebih baik dia menunggu di luar gerbang. "Anggun? Mau kemana?" Terdengar suara seorang wanita yang sedikit bergetar dan panik. Anggun mengangkat kepalanya dan melihat orang tua Agung berjalan ke arahnya dengan pakaian olah raga. Mungkin pasangan tua itu baru selesai olah raga di sekitar rumah luas anaknya ini. Anggung tersenyum lalu segera menyelesaikan memakai sepatunya. Dia berdiri dan melap tangannya ke bajunya lalu salim pada dua sepuh itu. "Saya mau kerja, nyonya," ucapnya dengan sopan. "Udah ijin dengan Agung?" "Tadi saya sudah bilang pada Pak Agung dan Bu Rosa kalau saya bekerja." Ibu mertuanya tertawa karena mendengar panggilan Anggun pada Agung dan Rosa. Kenapa panggilan pada suami masih seperti itu? Wanita sepuh itu memperhatikan Anggun dari atas hingga bawah. Dari penampakan luarnya, Anggun terlihat sehat. Makanya wanita itu berdoa agar gadis ini segera hamil dan melahirkan anak laki-laki. "Ya sudah, kalau udah ijin. Tapi, nanti kalau kamu hamil, kamu berhenti saja yah. Agung sanggup kok membiayai hidup kamu juga!" Anggun mengangguk saja karena melihat notice di ponselnya bahwa tukang ojeknya sudah tiba. "Anggun pamit Nyonya, Tuan!" ucapnya seraya salim sekali lagi pada dua orang itu. Baru melangkah dua meter, dia teringat jam tangannya yang dia letakkan di meja teras tadi. Dia berputar dan berjalan cepat ke arah teras lagi. Kakinya berhenti di balik dinding karena ucapan dari kedua mertuanya. "Mudah-mudahan Anggun segera hamil yah, Yah. Dan Bunda harap itu langsung anak laki-laki. Jadi kita tidak menunda pertemuan keluarga lagi lebih lama."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN