Agung berdiri dan langsung masuk ke ruang kerjanya. Dia menutup pintu dengan sedikit keras dan menguncinya dari dalam. Tubuhnya merosot di balik pintu karena desakan dari orang-orang terdekatnya terutama istrinya.
Bukankah seharusnya Rosa berada di pihaknya dan menentang orang tuanya? Kenapa malah dia di barisan paling depan? Apa hanya karena tanah warisan dia rela membagi Agung?
"Kenapa kalian tidak mengerti perasaanku. Aku tidak mau menyakiti siapapun termasuk gadis yang kalian jodohkan," gumamnya seraya meluruskan kakinya di lantai.
Dia mengingat wajah gadis itu. Dari penampakan luarnya, sudah pasti dia gadis baik bukan pengejar harta. Kenapa berbeda sekali dengan cerita Rosa.
Rosa mengatakan gadis itu dan keluarganya sudah sepakat karena Rosa menawarkan sejumlah uang.
"Harusnya kamu menikah dengan orang sepantaran kamu. Bukan pada bapak-bapak tiga anak seperti aku. Apa uang begitu menggelapkan matamu?" gumam Agung lagi.
Dia memohon pada sang pencipta agar hati anak-anaknya tidak seperti gadis itu. Agar ketiga putrinya bisa mensyukuri apa yang di miliki dan mencukupkan dirinya dengan apa yang ada. Bukan menggadaikan diri dan harga diri demi uang dan mungkin gaya hidup.
.
.
Di luar, Rosa menenangkan kedua mertuanya yang gelisah karena kepergian Agung di tengah pembicaraan mereka.
"Ayah sama Bunda tenang aja, mas Agung hanya kaget saja. Rosa yakin dia tidak akan menolak permintaan kalian.
Rosa juga akan membujuknya dan kita akan segera kedatangan anggota keluarga baru dari gadis itu. Rosa akan pantau agar anak yang dilahirkannya laki-laki."
Kedua pasangan sepuh itu mengangguk dan mempercayakan semua pada Rosa. Mereka lupa, bahwa bukan Rosa yang menentukan jenis kelamin yang akan berada di kandungan gadis yang akan di nikahi oleh Agung.
Bukan mereka tidak suka pada Rosa, hanya saja, seperti kata Rosa, dia tidak mau melahirkan lagi. Dan ide untuk menikahkan Agung ini adalah ide Rosa dengan persyaratan setengah tanah itu akan menjadi milik ketiga putrinya dan setengah untuk anak lelaki itu. Kontrakan seratus pintu mertuanya juga untuk cucu yang dari Agung tanpa membagi pada cucu yang lain yang dari anak perempuan.
"Tapi Bun, orang tua Rosa sampai sekarang tidak setuju walau Rosa sudah bilang hanya untuk mendapatkan anak laki-laki." Wajah wanita itu di buat sendu. Namun di balik wajah sendu itu ada senyum picik karena melihat wajah mertuanya itu juga ikutan sendu dan penuh rasa sesal dan permintaan maaf.
Orang tua Rosa tidak sekaya orang tua Agung. Mereka tidak punya tanah yang luas pun dengan rumah di beberapa tempat.
Bahkan rumah yang di tempati sekarang, mereka dapatkan dari Agung sebagai hadiah pernikahan kala itu.
Setelah Rosa resmi menjadi istri Agung, semua kebutuhan orang tuanya di tanggung oleh Agung bahkan untuk membayar tagihan listrik rumah itu pun Agung.
Sekarang, dia mau mengambil keuntungan lagi untuk orang tuanya karena mengijinkan Agung menikah lagi demi anak laki-laki.
"Bunda merasa bersalah pada ibumu. Bunda seperti wanita yang tidak mengerti perasaan wanita lain. Ibu manapun tidak akan rela jika putrinya di madu. Nanti, Bunda akan menemui ibumu."
Rosa bersorak dalam hati, ini yang dia mau. Dia bisa mengabari ibunya agar tetap bersedih ketika mereka bertemu nanti. Dengan begitu, satu rumah lagi pasti akan menjadi hak ibunya.
*****
Sepanjang malam Agung mendiami Rosa. Dia bahkan memunggungi Rosa ketika tidur.
Pikirannya bercampur antara marah dan resah. Marah karena Rosa merelakannya pada wanita lain dan resah karena wanita yang di jodohkan padanya ternyata masih muda dan cantik tapi sayang berasal dari keluarga pecinta uang dan kekayaan.
Akan bagaimana dirinya nanti? Apakah dia akan menjadi bahan olok-olokan teman-temannya karena menikah lagi? Apakah dia sanggup melihat wajah istri barunya yang sudah terlanjur dia benci walau belum sah?
Agung merasakan pelukan Rosa di perutnya tapi tidak dia hiraukan.
Biarkan saja Rosa beranggapan dia sudah tidur dalam keadaan marah.
"Aki tahu kamu belum tidur. Aku sudah menemani kamu tidur selama tujuh belas tahun. Apa kamu marah padaku juga?"
Agung diam, dia membiarkan wajah istrinya menempel di punggungnya.
Biar diamnya menjawab pertanyaan istrinya itu.
"Kalau kamu tanya apa aku rela atau tidak, jawabannya tidak. Tapi aku tidak punya pilihan lain karena melihat ayah dan bunda frustasi soal cucu laki-laki.
Kamu masih ingat kan apa perjanjian kita? Delilah adalah anak terakhir yang akan keluar dari perutku.
Aku tidak peduli soal anak laki-laki, mungkin sudah takdirku tidak bisa melahirkan anak laki-laki," lanjut Rosa di punggung itu.
"Kamu tidak peduli soal anak laki-laki, lalu kenapa kamu menyuruhku menikah lagi hanya untuk anak laki-laki?" tanya Agung datar tanpa membalikkan tubuhnya. Bahkan matanya tetap terpejam.
Agung tidak tahu tentang perjanjian di balik kesepakatan ini antara orang tua dan istrinya. Semua itu di sembunyikan dua belah pihak itu atas permintaan Rosa.
"Kamu hanya perlu menghamilinya, setelah bayinya lahir, kalian bisa cerai. Begitulah perjanjianku dengan keluarga Anggun. Anggun juga tidak akan keberatan karena dia juga butuh uang itu," dusta Rosa.
Dia membuat perjanjian hanya pada Linda -Ibunya Anggun.
Ini bermula ketika mereka sama-sama menghadiri hajatan dan para ibu-ibu bercerita soal anak.
Rosa yang duduk di belakang mereka hanya mendengar karena tidak levelnya untuk bergabung dengan para wanita kampung itu.
Setelah yang lain pulang, wanita bernama Linda itu mengeluh anak gadisnya yang hanya kerja di sebuah perusahaan dan mulai berumur sementara anak bungsunya mau melanjut sekolah kedokteran. Dia menceritakan kegundahan hatinya apabila anak gadisnya menikah siapa yang akan membantu mereka. Sekarang saja hanya bisa menutupi sedikit apalagi sudah menikah pastilah anaknya itu tidak bisa membantu dapur mereka lagi.
Rosa mencibir karena mendengar anak bungsu wanita itu sangat bersikeras sekolah kedokteran padahal dari keluarga secukupnya.
Rosa juga mendengar keluhan sang ibu karena harus menjual rumah untuk biaya kuliah anaknya.
"Aku terlanjur berjanji pada Indri untuk menjual rumah kalau dia mau masuk sekolah kedokteran. Sekarang aku sesali ucapanku karena aku nggak rela untuk mengontrak lagi."
Rosa mencibir di belakang karena cara didik orang tua itu tidak benar menurutnya. Walau dia tidak aktif bersama anak-anaknya terus setiap saat, tapi dia tidak menjanjikan hal yang mustahil pada anak-anaknya di luar kemampuan ekonomi mereka.
"Kamu masih pernah dengar juragan Rohim yang lagi cari istri nggak? Kalau apa, mungkin aku akan paksa si Anggun asal Indri bisa sekolah dokter dan rumah tidak di jual."
Dua orang ibu yang sepertinya tidak peduli pada perasaan anak sendiri.
Ibu yang satu malah menanggapi dan setuju jika anak bernama Anggun itu di korbankan.
"Coba saja, tapi mungkin jadi istri kedua apa ketiga yah, soalnya baru menikah dengan janda dari kampung sebelah. Coba nanti aku tanya lagi," ucapnya.
Wanita itu saling setuju jika ada anak yang masih bisa berkorban untuk kesuksesan adik-adiknya, ya harus di manfaatkan. Anak itu juga tidak bisa menolak karena surganya ada di telapak kaki ibu.
Ide cemerlang langsung muncul di otak cerdas Rosa. Karena mertuanya mulai merengek soal warisan yang mengharuskan keturunan laki-laki beberapa minggu terakhir ini. Bahkan sampai meminta Rosa untuk hamil lagi walau usia sudah hampir empat puluh.
Rosa menunggu wanita yang punya anak gadis itu di pinggir jalan.
"Bu, bisa bicara sebentar? Hanya berdua!" ucapnya memberitahu wanita satu lagi agar pergi.
Dengan wajah penuh penasaran, wanita itu pergi dan sesekali menoleh pada temannya yang tinggal bersama wanita elegan dan tampak kaya.
"Aku mendengar pembicaraan ibu tadi. Kalau tidak keberatan, maukah anak ibu menjadi maduku sampai dia melahirkan anak laki-laki? Aku akan membayar dua ratus juta,"