Bab 13. AKU TIDAK MELIHATNYA

1503 Kata
Menguping pembicaraan seseorang seperti sebuah perintah yang tidak begitu kita sadari. Selalu saja ada kejadian sebelumnya yang membuat kita menjadi penguping dan mengetahui fakta yang setengah fakta dan setengah praduga. Seperti Anggun, kalimat sepotong soal hamil, anak laki-laki dan pertemuan keluarga membuat kepalanya pusing. Dia ingin menggabungkan ketiga kata kunci ini tapi dia tidak tahu. "Hah, aku baru saja tinggal satu malam disana, jadi tentulah aku nggak tahu apa-apa. Seiring berjalannya waktu, aku akan tahu itu," ucapnya untuk menenangkan diri sendiri. Tekadnya sekarang, sebelum Agung menyentuhnya, setidaknya dia punya sedikit uang untuk menghentikan pria itu dan memohon pada pria itu untuk menerima p********n utang melalui uang saja. Bukan melalui tubuh Anggun yang di balut pernikahan. Sungguh, Anggun masih belum rela melepas kesuciannya pada pria itu. Dia masih belum bisa menerima pria itu sebagai suaminya terlebih dia belum bisa terima kenyataan bahwa dia sudah menjadi seorang istri. "Please God, n****+ yang aku submit tadi malam, tolong bantu agar segera di kontrak dan aku menangkan hadiahnya. Aku sangat ingin membayar utang dengan uang. Kira-kira berapa yah yang di minta Ibu." Anggun berbicara dalam hati selama berada di boncengan tukang ojek menuju kantornya. Mereka berhenti di lampu merah tepat di samping sebuah mobil putih milik Agung. Anggun mengangkat pergelangan tangan hendak melihat jam tetapi dia langsung menepuk keningnya karena jam yang dia letakkan tadi tidak jadi dia ambil setelah mendengar pembicaraan kedua mertuanya yang duduk di kursi teras. Dia merogoh tas dan melihat jam di ponsel. Lalu menatap lampu lalu lintas yang masih betah di warna merah walaupun sudah terdengar klakson dari arah belakang. Agung yang melihat semua tindakan Anggun dari mobilnya hanya mengetuk bibir dan dagunya dengan jemari sembari menunggu lampu menjadi hijau juga. Dia mengingat tampilan Anggun tadi yang berdandan dan sekarang memakai kaca mata. "Kamu cantik, tapi kenapa mau menjatuhkan harga diri kamu pada pria seperti aku? Apa kamu sebegitu cintanya dengan uang?" ucap Agung. Dia masih lebih percaya pada perkataan Rosa walau sudah melihat kejanggalan dari ucapan Rosa itu tadi malam. Di pikirannya, bisa saja Anggun playing victim agar di kira gadis baik-baik padahal emang gadis yang suka uang dengan cara menghalalkan segala cara. Apalagi hidup jaman sekarang. Para anak muda rela menjadi simpanan om-om hanya untuk gaya hidup. . . Anggun bersikap biasa aja di kantor. Wajahnya yang sembab udah hilang karena mekapnya. Concealer memang hebat, bisa menutupi kantong mata Anggun yang bengkak dan menghitam. Kacamatanya berfungsi untuk menutupi kemerahan di bola mata dan mungkin wajah yang terlihat lebih tembem karena sembab. "Gimana semalam?" Anggun menggeleng seraya tersenyum. Dia tidak akan menceritakan itu. Karena baginya, itu aib! "Kamu habis berantem sama ibu kamu lagi? Kenapa muka kamu bengkak gitu?" Anggun meraih cermin kecil yang dia letakkan di kaki komputernya lalu bercermin. Memang, walau sudah di tutupi sedemikian rupa tapi kalau teman seperti Tiffani, pasti langsung bisa membedakan penampilan Anggun sekarang. "Nggak papa kalau nggak mau cerita, tapi aku disini buat kamu sampai kapanpun. Saat kamu udah siap bercerita, cerita saja. Aku akan mendengar dan memberi solusi pada kamu jika aku bisa. Jika tidak, aku bisa menjadi pendengar yang baik. Biar kamu lega. Ok!" "Ya, nanti!" ucap Anggun sambil menunduk. Dia mendongak sambil tersenyum walau matanya memerah dan berkaca-kaca saat tangan Tiffani mendarat di punggungnya dan menepuknya pelan. . . Siang hari, dia pulang dengan motornya sendiri. Ada keinginan dalam hati untuk kembali ke rumahnya dan menanyakan total jumlah uang yang di terima ibunya selain mas kawin lima juta kemarin sore. Motornya berbelok ke arah rumahnya dan tidak lama, dia sampai. Rumah terkunci, tidak ada tanda-tanda keberadaan orang. "Mereka kemana?" gumamnya seraya berjalan dan mengetuk pintu untuk memastikan. Dia berjalan ke arah samping rumah dan pintu juga tertutup. Bermodalkan alamat yang dia gunakan tadi pagi di aplikasi ojol, gadis itu kembali ke rumah yang katanya sekarang juga rumahnya. Jika tidak ingat dosa, dia sebenarnya sangat ingin pergi ke tempat lain saja. Bukan ke rumah itu. Jarak yang lumayan jauh apalagi siang menjelang sore hari jalanan padat. Anggun tiba di rumah tiga puluh menit kemudian. Dia bertanya pada satpam, dimana dia bisa memarkirkan motornya. "Pelakor!" sarkas Maryam anak kedua Agung ketika Anggun baru saja memasuki rumah dari pintu samping. Gadis beranjak remaja itu sedang ada di ruang kosong di dekat ruang makan yang biasa mereka gunakan untuk bermain. Huffff Anggun menghembuskan nafas panjang untuk tidak terpengaruh pada ucapan Maryam. "Hai gadis manis. Maaf yah!" ucapnya seraya tersenyum. Dia menahan perih di hatinya ketika mendengar sebutan itu di sematkan padanya. Itu masih hanya di dalam rumah ini, bagaimana jika orang luar? Anggun melangkah lebih dalam ke dalam rumah dan melewati ruang makan lalu ruang keluarga. Disana sudah ada duduk dua pasangan beda generasi dan juga putri bungsu Agung. Hufff Sekali lagi Anggun menghela nafas panjang dalam diam. Dia menunda langkahnya yang hendak menaiki tangga dan menghampiri empat orang itu lalu salim di mulai dari mertuanya. Dia melakukan itu dalam diam kemudian permisi naik ke kamarnya. Langkahnya di ikuti oleh Agung melalui sudut mata tajamnya hingga Anggun menaiki anak tangga pertama. Rosa melihat itu semua dan wajahnya tidak senang. Dia langsung menjatuhkan kepalanya ke lengan Agung dan berbicara dengan manja, "Kita makan malam di luar aja, gimana?" Agung mengangguk dan menyerahkan semua pada Rosa. Begitulah dia selama ini, apa yang Rosa ucapkan adalah hal yang harus dia maui, dia turuti dan dia percaya. Karena apa? Karena cintanya yang begitu besar pada wanita itu. Perempuan bekas karyawannya dulu. Agung jatuh cinta ketika Rosa yang berwajah polos itu pertama kali menginjakkan kaki di kantor Agung untuk interview. Wajahnya kucel tetapi ayu. Polos khas baru lulus sekolah. Agung yang langsung tertarik pada Rosa langsung meloloskan Rosa dan menempatkan Rosa menjadi sekretarisnya. Hal yang membuat orang lain iri karena mereka sudah bekerja sejak Agung membuka perusahaan ini tetapi malah di langkahi oleh anak bawang yang bahkan tidak mengerti apa-apa. Tak lama, Agung langsung melamar Rosa dan menikahinya dan Rosa berhenti bekerja sejak kehamilan pertama. Perlahan wanita itu berubah menjadi lebih modis dan semakin kaya. Ibunya yang hanya orang tua tunggal dari dua bersaudara mendapat angin segar karena semua kebutuhannya menjadi tanggungan Agung. Tidak perlu lagi bekerja berat dan menghemat untuk menutupi biaya kontrakan karena Agung membelikan rumah. Abang Rosa juga di masukkan ke kursus mekanik dan sekarang sudah membuka usaha bengkel dan dimodali oleh Agung. Semua yang Rosa dan keluarganya dapatkan merupakan bukti cinta besar Agung pada Rosa. Hal itulah yang membuat Rosa menjadi di atas angin. Agung yang terlalu mencintainya dan akan menuruti semua kemauannya. . . Rosa meninggalkan keluarganya ke kamar guna mempersiapkan diri, tetapi sebelumnya dia berpesan pada art untuk tidak memasak sore ini. Dia berdiri di depan lemari dan melihat-lihat pakaian yang bagus dan cocok untuk malam ini. Pekerjaan yang berlebihan karena gaun tali spagheti atau yang bling-bling tidak di perlukan dalam acara makan malam keluarga. Risma- ibunya Agung- berdehem mencari atensi. Wanita sepuh itu menegakkan punggungnya dan menatap Agung. "Ajak Anggun juga. Dia istrimu, kenapa kamu seolah-olah tidak melihatnya ada di rumah ini?" "Bukan Agung yang bawa dia ke rumah ini, tapi ayah bunda dan Rosa. Aku memang tidak melihatnya," jawab Agung tanpa menoleh pada orang tuanya. "Kalau kamu tidak melihatnya tadi, sekarang naiklah ke kamarnya agar kamu bisa melihatnya. Sekalian ajak dia makan malam dengan kita." Agung menggeleng. "Tidak, ini makan malam keluarga, orang lain tidak di perbolehkan!" "Gung, dia bukan orang lain. Dia istri kamu sekarang!" tegas Risma pada Agung. "Kalau kamu seperti ini terus, kapan dia akan hamil?" lanjutnya membuat Agung memejamkan mata karena kesal setelah mengingat untuk apa Anggun di rumah ini. "Agung lagi menunggu waktu yang tepat. Dokter langganan kami sedang ke Jakarta karena ada seminar. Agung berencana akan konsultasi bagaimana agar Anggun hamil tanpa bersentuhan dengan Agung. Ayah dan Bunda tenang saja, semua pasti berjalan lancar." Risma beristighfar di depan Agung. Kenapa kepala anaknya begitu keras? Apa salahnya tidur dengan Anggun yang sudah jelas-jelas menjadi istrinya sekarang. Sah dan halal. Kenapa harus membuang uang ratusan juta jika bisa di dapatkan tanpa pengeluaran uang. Risma menggeleng, semua ini pasti adalah ide Rosa lagi yang katanya ikhlas tapi terlihat jelas dia tidak ikhlas. Mengusir Anggun di lantai tiga dan menahan Agung di lantai satu. Siapapun bisa tahu kalau itu hanya trik murahan dari Rosa. . . Anggun mengucek mata setelah melepas kaca mata anti radiasinya. Dia melihat jam di ponselnya dan terkejut karena ini sudah malam. Dia menyelesaikan semua pekerjaannya dan menyimpan file yang penting. Interaksi dengan pembaca novelnya menyita waktunya karena mereka mengatakan menyukai tulisan Anggun. Akhirnya Anggun membalas satu persatu pesan itu dan berlanjut menjadi balas-balasan. Setelah layar laptop menghitam, Anggun merebahkan punggungnya sejenak di kamarnya. Dia lalu mengambil kantong kresek yang dia bawa tadi dan memasang anti nyamuk elektrik di kamarnya. Berdiri dan mengambil sepasang piyama lalu mandi. Karena dia masih tahu diri akan posisinya di rumah ini, dia bergegas turun ke lantai satu dan helaan nafas yang panjang dan kesal ketika harus menuruni puluhan anak tangga. "Loh, nyonya nggak ikut pergi?" Anggun mengerutkan kening ketika mendengar pertanyaan salah satu art di rumah itu. "Pergi? Kemana?" "Semua orang pergi makan malam di luar, kenapa nyonya tidak ikut?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN