Bab 3. MAAFKAN AYAH

1087 Kata
"Untuk apa ada barang di rumah ini kalau tidak bisa di pinjam!" Prang Usai berbicara seperti itu, ibunya Anggun -Linda menjatuhkan laptop itu dengan keras ke lantai hingga terdengar bunyi retakannya. "IBU!" teriak Anggun berlari ke arah ibunya dan langsung berjongkok memungut barang sumber pencahariannya. Memang, tidak ada data yang terlalu penting di dalam laptop itu selain file n****+ yang sudah dan akan dia unggah. Dia memeriksa bagian luar yang terlihat aman. Tanpa berdiri, dia membuka layar laptop dan menekan tombol powernya untuk memastikan apakah ada kerusakan atau tidak. Menunggu beberapa saat, layarnya tetap menghitam. Artinya laptopnya rusak ketika di hantam ke lantai. Anggun menjatuhkan bokongnya ke lantai lalu menelungkupkan kepalanya di lututnya yang dia tekuk. Tak lama terdengar isakan tertahan dari sana. Bahunya bergetar. Dia menangis di bawah pandangan ibu dan adiknya. Tidak mengatakan apapun di dalam tangisnya kecuali isakan, tapi melalui isakan ini, dia menyalurkan semua kesesakan di dalam hatinya. Semua perlakuan ibunya yang pilih kasih pada dua anak gadis di rumah ini. Belum cukup sabar kah dia menghadapi segala hal yang ada di rumah ini? Harus bagaimana lagi? Indri keluar diam-diam dari kamar itu. Masuk ke kamarnya dan menguncinya dari dalam. Dia menatap laptopnya yang ada di meja belajarnya dan di atasnya ada sebuah flashdisk dari temannya tadi. Isinya adalah beberapa drama korea yang tayang tahun ini. Tadinya, dia ingin meminjam laptop Anggun agar bisa menonton marathon karena batre laptop miliknya sudah mulai aus. Dia mengendikkan bahu dan mencebikkan bibirnya pertanda dia tidak peduli atas apa yang barusan terjadi. "Lebih baik tidak punya apa-apa kalau tidak bisa berbagi. Tidak perlu drama begitu. Laptop itu bukan ibu atau bapakmu yang mati yang harus kau tangisi." Usai berkata demikian, Linda keluar dari kamar putrinya itu dan mengurung diri di kamarnya juga. Mengabaikan bahkan melewati suaminya begitu saja yang berdiri di depan pintu kamar Anggun tadi. Tak berselang lama, terdengar suara langkah halus mendekat padanya. Anggun merasakan tepukan di pundaknya dan dia semakin terisak. Tak lama, pria paruh baya itu menarik Anggun ke pelukannya dan mengusap lembut kepala anak gadisnya itu. Air matanya juga menetes karena ketidakberdayaannya melawan istrinya. "Maafkan ayah karena lemah dan tidak bisa melindungi kamu saat kamu di marahi oleh ibumu. Maafkan ayah karena tidak berguna, Anggun." . . . Pagi harinya, dengan wajah sembabnya Anggun mempersiapkan bekalnya ke kantor. Bekal yang dia masak sendiri seperti kebiasaannya. Setiap pagi, gadis itu akan bangun dan memasak untuk satu keluarga. Setelah memasak dia akan mencuci piring bekas memasaknya lalu bersiap ke kantor. Dia menyandang dua tas. Tas kecil yang biasa dia pakai bekerja dan juga tas laptop rusak yang tadi malam di hantam ibunya ke lantai. "Anggun pulang agak lama nanti. Mau perbaiki laptop," ucapnya ketika salim pada orang tuanya. Dia langsung berangkat ke kantor dengan mengendarai motor maticnya. Motor matic yang dia cicil setelah di terima kerja. Setelah cicilan lunas, dia mengumpulkan uang dan membayar biaya DPnya pada ibunya karena saat membelinya empat tahun lalu, dia berjanji akan mengembalikan uang itu. Gadis itu berangkat dan sesekali menarik hidungnya dan mengedipkan matanya berkali-kali ketika pandangannya buram karena air mata yang mulai menggenang di pelupuk matanya. **** "Kok cepat sekali? Tumben, biasanya di menit-menit terakhirnya dirimu sampai," canda Tiffani tetangga kubikel Anggun seraya menarik kursinya dan bersiap menghidupkan komputernya "Iya, aku bangun subuh tadi," jawab Anggun tanpa menoleh pada Fani. Dia sudah langsung mengerjakan pekerjaannya walau jam kerja belum di mulai. Kali ini dia selamat dari pertanyaan teman-temannya mengenai matanya yang sembab dan memerah karena kalau di kantor, dia selalu mengenakan kaca mata anti radiasi sekaligus kaca mata gaya-gaya. "Fan, tahu dimana bagusin laptop? Yang bagus tapi murah," tanyanya seraya memundurkan kursinya. Masih hanya empat orang mereka yang sudah hadir dari tiga belas orang satu departemen. Waktunya memang masih ada lima belas menit lagi untuk mulai bekerja. "Laptop kamu?" tanya Fani yang juga memundurkan kursinya. "Hmm, tadi malam jatuh. Nggak sengaja kesenggol di meja," "Dekat kampus lah!" "Kejauhan. Nggak berani aku pulang malam naik motor. Begal. Yang dekat sini ada tahu?" "Ada, nanti pulang kerja kita singgah aja. Tapi kayaknya masih baru buka dia. Nggak tahu paten atau nggak yah, Nggun. Ada file penting kamu di dalam?" "Nggak sih, file biasa aja." "Baguslah!" . . . Satu hari berlalu dengan begitu cepat. Sore hari ketika pulang kerja, seperti yang sudah di sepakati. Keduanya pergi ke tempat perbaikan laptop. Anggun rasanya ingin menangis karena harus merogoh kocek tidak sedikit untuk memperbaiki laptopnya itu. "Huff,,, terkuras juga kantongku, Fan." ucapnya melihat kwitansi perbaikan itu. Laptop belum bagus tapi udah harus di dp untuk perbaikannya. "Makanya hati-hati lain kali. Jangan letak barang di sudut meja. Yang rugi kamu sendiri," ucap Fani menasehati. Dua wanita ini duduk di sebuah cafe di pinggir jalan untuk menikmati makan malam mereka. Kali ini, Anggun memilih untuk makan di luar dari pada pulang cepat seperti biasa. Jika saja tidak ada kata durhaka, dia sebenarnya ingin memilih ngekos saja dari pada pulang tiap hari ke rumahnya dan selalu makan hati. Belum di ucapkan saja niat itu, Anggun sudah bisa melihat ibunya merepet janda sepanjang jalan kenangan dan mengatai Anggun tidak tahu berterimakasih dan balas budi terhadap orang tua. "Gimana jadinya adik kamu? Jadi ambil di USU nanti?" tanya Fani. Fani adalah teman bercerita Anggun. Waktu itu dia pernah curhat dan minta pendapat mengenai perkreditan rumah. Dengan terpaksa dia menceritakan alasan dia ingin kredit rumah dan saat itu juga Fani mengumpati Indri anak tidak tahu diri. Anak sok pintar dan yang tahunya hanya ikut-ikut anak orang kaya aja. "Nggak tahu. Akhir bulan ini kayaknya dia ujian sekolah. Habis itu daftar seleksi perguruan tinggi. Aku harap dia berubah pikiran, sih. Bayangkan aja kalau dia lulus kedokteran. Berapa biayanya itu? Berapa lah gaji ayahku. Masih di potong kredit mobil lagi." "Sabar lah kau Nggun. Pundakmu harus kokoh kalau begitu. Kalau kau ambil rumah, berarti sampai lunas itu nggak nikah-nikah lah, hahahaha," canda Fani seraya tertawa. "Kita udah dua tujuh, bentar lagi dua lapan. Kalau tambah lima, berarti tiga tigalah kau, Nggun. Perawan tua!" ucapnya sambil terbahak yang hanya bisa di balas dengan gelengan oleh Anggun. Jujur, dia memang belum memikirkan tentang pernikahan dirinya. Melihat orang tuanya yang tidak harmonis bahkan di umur sudah melewati setengah abad dan sering bertengkar karena masalah uang, membuat Anggun mempertimbangkan untuk hidup mandiri dan punya uang di masa tuanya. Membuatnya berpikir bahwa punya pasangan itu bukanlah suatu jaminan kebahagian di masa tua. Matanya berpendar ke seluruh cafe. Tempat nongkrong yang jarang dia datangi bahkan di hari gajiannya. Tak sengaja matanya bertemu dengan mata sepasang suami istri yang sedang menunjuk dengan jari telunjuk ke arahnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN