Bab 1. KASIH YANG BERLEBIHAN

1077 Kata
"Maaf Bu, Anggun tidak setuju." Situasi tegang di ruang tamu sempit itu. Hanya ada empat orang disana tapi terasa sempit karena topik yang sedang di bicarakan juga menghimpit dari segala aspek. "Kalau mau bidang kesehatan, bidan atau perawat kan masih bisa, nggak harus dokter," ucap gadis bernama Anggun itu. Dia menatap satu orang gadis lain yang ada di ruangan itu. "Kamu tahu kan Dek, kalau sekolah kedokteran itu mahal? Bidan atau perawat aja. Nanti kakak akan bantu ayah sampai kamu selesai," ucapnya lembut pada adiknya yang bernama Indri. Gadis kelas tiga SMA yang sangat ngotot untuk kuliah di kedokteran tanpa memikirkan dari mana biayanya. "Bidan? Perawat? Nggak mau! Indri nggak mau tinggal di asrama, nggak bebas!" "Justru bagus dek, kamu jadi fokus dan terarah sama tujuan kamu." "Nggak mau, kamu aja!" Gadis bernama Anggun Melisa yang merupakan anak kedua dari pasangan Herman Hasan dan Linda Siregar itu menarik nafas dalam-dalam karena kerasnya kepala adiknya yang ingin memaksakan kehendak tanpa melihat kondisi keluarga. Memang, Herman seorang guru PNS, tapi belum sertifikasi. Sementara Linda hanya ibu rumah tangga yang sesekali menerima pesanan warga sekitar jika ada hajatan atau acara partangiangan. Anggun Melisa, gadis 27 tahun yang bekerja sebagai finance di salah satu perusahaan besar yang bergerak di bidang ekspor impor di kota Medan. Kepribadiannya sangat tertutup dan dia cenderung kudet karena jarang bepergian dengan teman satu kantor atau teman lainnya untuk menikmati masa muda. Pikirannya selalu ada di rumah dan kebutuhan tambahan yang selalu saja ada setiap bulannya. Malam ini, mereka berkumpul di rumah karena permintaan adiknya dan ini sudah yang kedua kalinya. "Lagian, kenapa harus dokter? Memangnya kamu sudah yakin lulus SNMPTN?" tanya Anggun pada Indri. Bukan untuk menjengkali kemampuan adiknya itu, tapi dia sudah tahu dari nilai rapornya saja sudah jelas kalau otak remaja itu sangat pas-pasan. "Ya di coba dulu. Kalau nggak lulus, kan masih ada jalur mandiri," ucapnya enteng dengan mata julid pada kakaknya. Kakinya di angkat ke sofa seperti tidak punya sopan santun padahal mereka sedang berdiskusi bersama orang tua. "Kamu tahu jalur mandiri, kan? Itu untuk orang-orang yang tidak lulus jalur reguler tapi punya uang lebih untuk membayar. Itu bahkan lebih mahal dari swasta, Indri. Jalur mandiri itu ada uang pangkalnya, puluhan juta. Kalau kamu mau kedokteran, mungkin seratus juta. Coba tanya ayah sama ibu, ada uang seratus juta mereka? Lagian kenapa harus dokter?" tanya Anggun sekali lagi setelah panjang lebar menjelaskan pada adiknya yang otaknya seperti tertutup aspal. Bebal! "Karena Rudy mau ambil kedokteran juga! Banyak kali pertanyaanmu. Kalau nggak mau kau ya udah, aku kan minta ayah sama ibu. Kok jadi kau pula yang repot," jawab Indri tanpa sopan santun. Memang dia tidak minta langsung kepada Anggun. Tapi selama Anggun masih di rumah ini, otomatis tanggungan juga akan di bebankan padanya. Okelah selama ini tidak seberapa. Penghasilan Herman masih cukup untuk kebutuhan dapur dan biaya sekolah Indri yang masih SMA. Tapi, kalau sudah kuliah apalagi kedokteran, pasti kurang. Lumayan kalau otaknya encer dan bisa beasiswa. Ini? Oo Tuhan. "Kenapa pula si Rudy yang kamu jadikan kiblatmu? Lihat orang tuamu, keluargamu, itulah kiblatmu menentukan pilihanmu. Kamu tahu keluarga si Rudy, kan? Mamaknya tokke, bapaknya dokter, udah punya praktek sendiri lagi, pastilah uang mereka banyak Indri. Tuhan, payah kali sama anak ini," Anggun hampir menyerah tapi tidak bisa, otak adiknya harus di pulihkan dari cemaran rasa ingin seperti orang lain padahal nggak sanggup. Selalu saja begitu. Temannya les bahasa inggris ikut-ikutan, udah habis dua paket tapi tetap aja nggak bisa ngomong bahasa inggris, padahal tempat lesnya bukan kaleng-kaleng. Temannya bimbel, ikut-ikutan juga, tapi nilai sekolahnya tetap aja pas-pasan. "Sudah, sudah, ibu sudah putuskan, nanti kalau Indri masuk USU, kita jual rumah saja!" Mata Anggun terbelalak ke arah ibunya. Apa-apaan jual rumah? Rumah cuma satu dan mau di jual? Rumah itu bahkan baru lunas KPRnya setelah Anggun lulus kuliah. Masih lima tahun di tempati tanpa status kredit udah mau di jual? "Jadi kita ngontrak lagi, Bu?" tanya Anggun pelan ke arah ibunya. Ada sedikit nada kecewa pada ibunya karena terlalu memanjakan Indri. Apa yang di minta selalu di turuti. Padahal, seingat Anggun, dulu dirinyalah yang ingin sekali sekolah bidan. Tapi alasan rumah masih kredit menjadi penghalangnya masuk asrama dan akhirnya kuliah di USU jurusan Akuntansi. Jurusan yang asal pilih karena sewaktu SMA dia jurusan IPA. Tapi, mungkin sudah takdirnya disana, dia malah lulus. Program Sarjana yang membutuhkan waktu empat tahun dia lahap menjadi tiga setengah tahun walaupun sebenarnya tidak terlalu berpengaruh pada p********n uang kuliah. Dia aktif pada setiap informasi sehingga dia bisa mendapatkan beasiswa untuk meringankan beban orang tuanya. Tapi lihatlah yang terjadi pada si bungsu, bukankah orang tuanya sudah kelewatan? "Ya nggak apa-apa ngontrak. Atau kamu bisa ajukan kredit rumah. Ambil yang subsidi aja biar lebih murah," ujar ibunya tanpa mengerti perasaan anak gadisnya itu. "Ibu kayaknya ringan sekali ngomong seperti itu ke Anggun. Kayak Anggun punya gaji besar aja," ucap Anggun. Umurnya sudah 27, memang masih jomblo, tapi kalau tiba-tiba ada yang suka dan bilang taaruf gimana? Gimana nasib rumah kredit? Janganlah dulu soal taaruf, kalau ada pacar dan ingin menikah walaupun tiga tahun lagi, gimana? Kredit rumah sepuluh atau lima belas tahun, siapa yang lanjutin lagi? Ayahnya? Sebentar lagi udah pensiun. "Udahlah Bu, nggak usah ibu tanggapi dia, dia begitu karena cemburu aja Indri mau sekolah kedokteran di USU. Dia kan nggak jadi sekolah bidan waktu itu, makanya nyuruh Indri sekolah bidan. Cuih, nggak level lah!" ucap Indri lalu berdiri dan berlalu ke kamarnya. Singgasana istimewa karena hanya kamar itulah yang ada kamar mandi di dalam rumah ini. AC tidak mau kongsi dengan kamar Anggun yang di sebelahnya. Linda juga berlalu mengikuti anak bungsunya dan masuk ke dalam kamar. Meninggalkan Anggun dan Herman yang sedari tadi diam tidak berkutik. "Ayah kenapa diam saja? Apa ayah tidak bisa menjelaskan lebih rinci pada ibu? Sampai kapan ayah terus di tekan? Sampai kapan Indri terus di elu-elukan di rumah ini? Bikin paspor, kalian setuju. Liburan ke Singapore, kalian setuju. Kredit mobil, ayah setuju. Sampai kaos ayah pun nggak pernah ganti walau udah robek karena harus mengikuti kemauan dia. Apa yang kalian dapat dari semua yang kalian berikan padanya? Prestasi? Nggak ada. Masih ingatkan kemarin ikut les ini itu sampe modeling karena ada temannya ikut, nggak ada hasilnya. Ikut les musik, hanya buang-buang duit aja. Teruslah kalian junjung dia itu, biar makin ngelunjak. Bentar lagi, ayah sama ibu pun akan di pijak-pijaknya." Anggun berdiri dan meninggalkan ayahnya yang tetap diam. Selama ini memang begitu, selalu saja mengalah pada ibunya yang punya mulut seperti mercon.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN