"Oiya Davina. Nanti siang, kamu temenin saya ke rumah mantan istri saya, ya?" tanya Pak Abrisam yang terdengar seperti permintaan. Kami berdua sudah masuk ke dalam mobil dan duduk di belakang kemudi karena ada Pak Supir yang menyetir.
Aku yang baru aja mau ngecek jadwal Pak Abrisam langsung menoleh dan menganggukan kepala. "Oke, Pak!" jawabku. Dalam hati sebenarnya menggerutu, masalahnya bukan apanya, harusnya setelah selesai kantor aku bisa beristirahat. Tapi malah diajak bertemu mantan istrinya.
Setelah cerai, beberapa bulan akhir-akhir ini, Pak Abrisam seperti tertarik lagi sama mantan istrinya. Setiap seminggu sekali, atau Pak Abrisam lagi pengen lihat Bu Arini-mantannya. Bosku itu langsung mengajaku ke rumahnya. Sekedar menemani, atau nggak, aku bantuin Pak Abrisam ngasih saran apa yang bagus untuk di bawa dijadikan buah tangan.
Pak Abrisam bilang-- padahal aku nggak nanya--- kalau dia masih sayang sama mantan istrinya. Waktu ceraiin Bu Arini, katanya dia khilaf. Aku sih, percaya-percaya aja. Dari pada berkomentar, nanti gajiku yang jadi tumbalnya.
Tapi anehnya, Pak Abrisam ngedeketin Bu Arini setelah mantan istrinya itu jadi model majalah dewasa. Fotonya banyak yang seksi-seksi. Kalau mata macem punya Pak Abrisam jelas langsung tergoda. Orang matanya langsung hijau kalau lihat yang semok dikit, untung badanku tidak kurus dan tidak gendut.
Otak Pak Abrisam memang ter-setting untuk hal yang begitu.
"Dav, kamu cuma bawa satu jas?"
Aku mengangguk. "Iya, Pak. Soalnya, hari ini hanya dua pertemuan dengan klien," jawabku. Perasaan masalah jas juga sudah kubilang waktu masih di rumah.
Dapat aku dengar Pak Abrisam berdecak. "Kamu pulang!" suruhnya tanpa pikir panjang.
Lah? Pak Abrisam marah, nih? Waras nggak sih, masa cuma gara-gara bawa jas satu aku disuruh pulang. Tentu aku melongo.
"Apa, Pak?" tanyaku pura-pura tidak dengar. Biar Pak Abrisam mengulangi perkataannya, barangkali memang aku yang salah dengar.
"Pulang. Ambil jas saya," tuturnya penuh penekana di setiap kata.
Sontak aku melongo lagi. Apa-apaan Pak Abrisam ini? Supir saja baru mengantarkan kami di tengah perjalanan. Dan, kalau aku pulang, otomatis akan menyita waktu. Lagi pula, masa satu jas tidak cukup. Pak Abrisam kayak mau Fashion show saja!
"Kamu dengar kan, Davina?"
"Pak, ini hampir sampai. Lagian, jas yang Bapak pake udah bagus," ujarku. Mencoba memengaruhinya. Siapa tau, Pak Abrisam berubah pikiran kan, Alhamdulillah...
"Masa, sih?" tanyanya sambil memperhatikan jas yang digunakannya.
Aku mengangguk antusias agar dia percaya. "Beneran, Pak! Bapak, terlihat ... ganteng!" jawabku, mengacungkan dua jempol sekaligus. Lidahku sebenarnya susah payah mengucapkan kata terakhir. Kayak, susah banget, gitu. Tapi sekali lagi, aku cuma jilat lidah.
Bosku terkekeh. Syukurlah, kayaknya Pak Abrisam terpengaruh sama omonganku. Dalam hati aku mendesah lega.
Tapi Pak Abrisam menatapku dengan ekspresi datarnya. "Kamu lagi menggoda saya?" tanyanya dengan kepala mendekat padaku.
Eh? Maksudnya apa, ya?! Goda Pak Abrisam? Eh, nggak salah? Seleraku bukan duda kayak dia.
Jujur aku sebenarnya agak gimana gitu karena jarak kepala kami berdua dekat banget. "N--nggak, Pak. Saya cuma ngomong apa adanya," jawabku setelah kepala Pak Abrisam menjauh. Huuuh, deg-degan juga deketan sama Pak Abrisam.
Entah apa yang Pak Abrisam lakukan, tapi dia menyenggol bahuku dengan bahunya. "Kamu ini, bisa aja mengelak," balasnya sambil geleng-geleng kepala, bibirnya senyum-senyum aneh.
Eh?
Pak Abrisam ini kenapa? Jadi orang kok gak jelas banget, ya. Harusnya, dia yang diceraikan sama Bu Arini bukan Pak Abrisam yang malah menceraikan. Duh, dunia sudah kebalik.
Jelas, aku hanya menatapnya bingung sambil ngumpet-ngumpet garuk kepala. Bos dudaku ini betulan aneh. Bagaimana aku mau menggodanya, tertarik saja tidak. Meski ganteng, tapi kalau otak dan kelakuannya macam gitu siapa yang mau?
Aku pastiin waktu dulu Bu Arini terima Pak Abrisam dia lagi khilaf. Atau mungkin terpaksa? Oh! atau mungkin diguna-guna?! Hiih, kok serem juga.
"Ya sudah, kamu gak usah pulang. Lagian bentar lagi sampai," putusnya, membenarkan jasnya.
Tadi kan, aku bilang begitu Pak! Aku mengelus d**a. Sabar Davina sabar ....
Dalam hati aku mengumpat sejadi-jadinya. Untung bos, kalau bukan sudah saya makan!
Tapi walaupun begitu, aku cukup lega. Pak Abrisam tidak jadi menyuruhku pulang.
"Tapi, setelah sampai di kantor tolong beliin saya ketoprak yang dekat pertigaan itu, ya," pintanya lagi dengan gaya bossynya.
Aku menghela napas pelan. "Oke, Bos!"
_________________________
Setelah sampai di kantor, aku langsung masuk ke ruanganku. Masih kuingat kok, kalau aku disuruh sama Pak Abrisam buat beli ketoprak dekat pertigaan.
Tadi, waktu di mobil aku sudah tawari dia untuk mampir saja di penjual ketopraknya daripada aku harus bolak-balik. Tapi, kalian tahu sendiri gimana Pak Abrisam. Dia lebih suka bikin kakiku sakit dan lebih suka ngelihat aku sibuk mondar-mandir. Dia menolak dan katanya akan lebih bagus kalau aku yang beli.
Menurutku, prinsip Pak Abrisam itu gini : "Kalau ada yang sulit, kenapa cari yang mudah?"
Kutaruh berkas-berkas yang kubawa dari rumah ke atas meja kerjaku bersama dengan tas yang selalu kubawa. Setelah itu, aku langsung keluar ruang kerja dan segera memenuhi perintah bosku.
"Dav, mau kemana? Pagi-pagi udah mau pergi aja," tanya Senja yang tidak sengaja bertemu di lobi. Dia adalah temanku, kami satu ruangan.
"Anu, ini gue mau beliin Pak Abrisam ketoprak," jawabku sambil sibuk mengecek ponsel. Hanya ingin melihat keributan apa yang sedang terjadi di grup chat masa kuliah.
"Asataga, lo mau-maunya sih disuruh sama duda itu. Padahal kan itu kerjaan OB," kata Senja berbisik. Mungkin dia takut kalau kepergok sama Pak Abrisam karena bos satu itu bisa muncul dimanapun dan kapanpun.
"Serah lo, udah ya. Gue buru-buru." Segera aku meninggalkan lobi dan menuju ke tempat yang Pak Abrisam suruhkan. Kalau aku sampai telat pasti Pak Abrisam bakal marah-marah lagi.
Dug!
Duh, apa lagi ini! Aku mengusap jidatku karena terasa sedikit sakit menabrak sesuatu yang entah apa. Tapi kupastikan aku menabrak seseorang.
Aku mendongak lalu kulihat ayah Pak Abrisam berdiri di depanku ketika aku sudah sampai di halaman kantor.
"Eh, Bapak...," sapaku sok ramah. Aku membungkuk singkat.
Aku dan ayah Pak Abrisam cukup akrab. Sebenarnya, perusahan periklanan ini milik ayah Pak Abrisam. Tapi, berhubung perusahan ini hanya cabangnya... jadi, sekarang diambil alih oleh bosku. Mungkin, ayah Pak Abrisam kesini hanya mengecek keadaan kantor. Biasanya seminggu dua kali beliau datang.
"Iya, kamu kayaknya sedang buru-buru, Dav?" tanya Pak Risam.
"Ah, iya Pak. Ini saya mau beliin Pak Abrisam ketoprak," jawabku sambil tersenyum setelahnya.
"Oh begitu. Ya sudah, saya masuk dulu ya."
Aku mengangguk setelah itu berlalu segera menuju tukang ketoprak pinggir jalan. Takutnya, jika telat maka akan kehabisan. Di sana cukup ramai karena rasa makanannya memang enak. Dulu, aku pernah mencoba seporsi dan saat itu Pak Abrisam yang mentelaktirku. Ya, hitung-hitung menghemat uang.
***
Masukan Cerita INI ke library ya.
Kuy, Baca cerita Dua Istri Abu-abu, Dating With Psychopath, Possesive Ghost, dan My Tetangga Is My Husband!
CERITA INI AKAN BERBEDA VERSI DENGAN VERSI n****+. TENTU KELENGKAPAN AKAN ADA DI VERSI n****+. KALIAN BISA PESAN BUKUNYA DI s****e dan atau bisa chat i********: aku @rizkamursinta31. ATAU KALIAN BISA MENUNGGU CERITA INI SAMPAI TAMAT :)