Dua: Keegoisan

1883 Kata
Sudah 10 tahun berlalu sejak, gelar berat Putra Mahkota tersemat di depan nama Aydin. Ia yang biasanya bisa mengecualikan diri untuk hadir dalam pesta-pesta yang diadakan para petinggi kerajaan, kali ini tak bisa lagi menolak. Kemunculannya di publik bukan lagi menjadi hal yang bisa ia tawar, melainkan sebuah keharusan. Sayangnya, selama apapun Aydin membiasakan diri akan segala kesibukan ini dia takkan pernah terbiasa. Ia jadi bertanya-tanya, bagaimana sang Kakak bisa betah menghabiskan waktu cukup lama untuk berbincang dengan orang-orang yang ada di pesta? Aydin baru tiba sekitar 10 menit yang lalu, dan rasanya ia sudah lelah sekali hingga meminta pengawalnya untuk tidak membiarkan siapapun mendekat. Aydin paham akan jabatan yang ada di pundaknya, tepat ketika ia masuk taman kanak-kanak. Ia berada di urutan kedua pewaris kerajaan setelah kakaknya. Itulah mengapa ia tak terlalu ditekan seperti Nata. Menjadi seorang pangeran, bukan berarti ia bisa bersikap seenaknya. Justru dengan gelarnya, Aydin paham kalau ia tak bisa bermimpi dengan seenaknya. Alur hidupnya sudah jelas. Ia hanya diperbolehkan memikirkan tentang negeri ini dan rakyatnya. Dan Aydin membenci hal itu. Mengutamakan keegoisannya untuk tak menjabat menjadi pemimpin negeri ini, Aydin tak henti berdoa. Entah berapa malam, berapa banyak doa ia panjatkan pada sang semesta. Memohon kesehatan, umur panjang, dan kejayaan Nata. Setidaknya dengan kakaknya yang duduk di tampuk kursi kebesaran negeri ini, dia bisa menentukan sendiri sedikit keputusan untuknya. Namun doa yang dilakukan karena keegoisan, menjadi bumerang yang berbalik ke arahnya. Ia lupa bahwa Nata juga punya keinginan. Hidup bersama pujaan hatinya, yang sedikit berat karena ia masyarakat sipil biasa. Kerajaan jelas menentang hubungan mereka, termasuk ayahnya sendiri. Sang maharaja. Aydin masih mengingat jelas, hari itu dia berjalan tergesa-gesa memasuki rumah sakit. Tubuhnya terasa lemas melihat tubuh sang kakak yang terlihat lemah di atas ranjang rumah sakit. Wajahnya penuh dengan guratan luka, begitupun kaki dan tangannya yang diperban. Namun yang paling parah adalah gas arsenik yang sempat terhirup sang kakak dalam perjuangannya. Meski belum duduk sebagai penguasa tertinggi, kakaknya berhasil menunjukkan pengabdian besarnya pada masyarakat. Ia berhasil melindungi negara dari ancaman terbesar. Organisasi bersenjata yang bukan hanya bisa melukai rakyat tapi juga kerajaan sendiri. Nata berhasil menyelamatkan kerajaan dan rakyat. Pengorbanan yang sepadan dengan akibatnya. Kakaknya tak lagi diperbolehkan untuk mengikuti jadwal kerajaan yang padat. Nata harus menerima fakta bahwa dirinya bukanlah lagi Pangeran tanpa cela. Ia sekarang seorang Pangeran cacat yang kondisi kesehatannya tak menentu. Pada akhirnya gelar pewaris tahta yang telah tersemat padanya terpaksa dilucuti kemudian jatuh pada Aydin. Negara mencintai Pangeran Nata dengan amat sangat, maka ketika desas desus kerajaan akan menarik gelar kebangsawanannya, banyak rakyat menolak. Mereka tak masalah jika Pangeran Nata tak menjadi Raja kelak. Yang penting, Pangeran Nata harus tetap dengan gelarnya. Akhir bahagia untuk kakaknya sekarang. Ia tetap menjadi keluarga kerajaan, namun kewajibannya gugur. Ketika upacara pengangkatan, Aydin tak bisa menampik ada perasaan marah dalam dirinya. Ia ingin egois, tapi kewajiban yang ada di pundaknya membuatnya tak bisa berbuat apa-apa. Dia tak bisa lari dari kewajiban ini, dan ketakutannya semakin besar. Bisakah ia yang awalnya bukan pewaris mengambil alih kerajaannya kelak? Bisakah ia berkorban sebesar kakaknya? “Tidak baik melamun di tengah keramaian, tuan Aydin.” Suara halus nan familiar di telinganya, membuat Aydin tersadar dari lamunan. Menyadarkannya bahwa ia berada di jamuan mewah milik salah satu menteri. Ia menolehkan kepalanya ke asal suara, lantas tersentak menyadari siapa sosok di sampingnya. Sosok yang terakhir ia temui 10 tahun yang lalu. Sosok yang ia tinggalkan di depan pintu gerbang sekolah tanpa pernah kembali. Rana berdiri di sampingnya. Tubuhnya lebih tinggi dari yang Aydin ingat. Rambutnya yang dulu selalu terikat, kali ini terurai dengan jepitan kecil tersemat di sana. Warna rambutnya tak lagi hitam legam, tapi kini menjadi coklat tua. Jangan lupakan gaun hitam berkelip yang terlihat sangat sederhana jika dibandingkan dengan para tamu lain, namun tetap menakjubkan. Untuk pertama kalinya ia melihat cewek tomboy yang senang berdandan berantakan, berdandan secantik ini. “Kenapa lo bisa disini?” tanya Aydin setelah sadar bahwa ia menahan napasnya. Kemunculan tiba-tiba Rana sungguh mengejutkannya. “Gue ke rumah lo, dan katanya lo lagi pendidikan. Lo kuliah dimana?” “Bukan kuliah,” ujar Rana dengan senyum jahilnya yang masih sama. “Saya gabung ke BIN, dan baru naik pangkat.” Aydin berdecak tak percaya, ia memukul pelan kepalanya. Merasa bodoh, mengapa ia hanya mencari ke universitas di seluruh kerajaan. Kenapa ia tak terpikirkan untuk mencari di sekolah instansi milik negara? “Jadi, lo naik pangkat bekerja untuk menteri pertahanan kerajaan?” Aydin menyesap pelan sirup yang ada di genggamannya sedari tadi. Sedikit mengernyit ketika Rana menggeleng dan menatapnya dengan raut wajah malas. “Baiklah sepertinya saya harus perkenalan resmi.” Tubuh Rana menegap, ekspresinya tenang. Tak lama tubuhnya menunduk, seolah menunjukkan kepatuhannya pada sang pangeran. “Perkenalkan saya Rana Wirastri, pengawal pribadi baru Putri Arnita. Senang bertemu anda Yang Mulia Putra Mahkota Aydin.” Tanpa sadar Aydin menganga kecil. Tunggu jadi pengawal baru untuk adiknya adalah Rana? Lucu sekali, saking sibuknya Aydin bahkan tak tau pengawal pribadi baru milik adik kesayangannya. Dia melirik ke lantai dansa, menemukan Arnita yang sedang berdansa dengan pengawal pribadi dirinya sendiri. Pengawal lama Erika yang ia ambil alih untuk melindunginya. “Tuan Nata bilang, Anda masih tak-“ “Jangan bersikap formal ke gue Rana,” potong Aydin menyesap minumannya kembali. Matanya menatap lekat lantai dansa yang begitu ramai. “Lo tau gue nggak senang akan hal itu.” “Tapi saya tidak bisa Tuan Aydin. Kita di keramaian, dan saya tidak bisa menurunkan sikap formal ini.” Rana membalas dengan tenang, matanya tak henti menatap Arnita yang nampak bahagia di lantai dansa. Remaja itu jelas menikmati pesta dan tak terbebani akan obrolan tentang kerajaan yang silih berganti masuk ke telinga Aydin sejak dirinya tiba ke pesta. “Kenapa tiba-tiba masuk BIN? Bukannya lo mau masuk DKV?” tanya Aydin mencoba mengetahui hal apa saja yang mereka lewatkan selama 4 tahun. “Secepat itu berubah haluan?” “Permintaan ayah saya dan ada sesuatu yang membuat saya mau untuk melakukannya. Jadi mengapa tidak?” jelas Rana tertawa pelan, dari sudut matanya ia bisa melihat beberapa tamu mulai berbisik-bisik. Nampaknya hendak menghampiri sang Pangeran namun terhalang karena ada dirinya. Peraturan tak tertulis untuk keluarga kerajaan. Dilarang mendekat, ketika keluarga kerajaan sedang berbicara dengan pengawal ataupun pekerja harian istana. Itulah mengapa tak ada yang mendekat sedari tadi. “Setelah pesta ini, janji sama gue kita harus ngobrol. Kehidupan di istana terlalu membosankan,” ujar Aydin menepuk pundak Rana sesaat sebelum menghampiri beberapa petinggi kerajaan. Sejujurnya, dari kali pertama mata Rana bersitatap dengan Aydin dia memahami banyak hal. Ada ribuan emosi yang disembunyikan sang pewaris tahta. Pemuda itu lelah akan segala formalitas dan tanggung jawab yang ada di kedua pundaknya. Belum lagi ia harus mempelajari mekanisme kerajaan, di usianya yang masih sangat muda. Tak seperti sang kakak yang telah digembleng menjadi pewaris takhta sejak dini. Aydin harus mengejar ketertinggalannya. Sebab, tak ada yang tau kapan sang Maharaja akan tutup usia meski usianya masih tergolong cukup muda. Salah satu dari sekian banyak doa yang tiap malam Aydin panjatkan adalah, panjang umur sang Maharaja. “Perhatian kepada seluruh pengawal kerajaan, harap amankan Tuan Aydin dan Nona Arnita. Bawa mereka menuju istana segera.” Suara dari intercom yang tersemat di telinganya, membuat senyum Rana luntur. Ia bisa merasakan ada kejadian buruk yang akan diberitahukan ketua tim nya. Rana berjalan perlahan, menghampiri Erika yang sudah berdiri di pinggir lantai dansa. Bersamaan dengan Ranu, pengawal utama putra mahkota Aydin, yang berlari menuju sang pangeran yang masih bercengkrama dengan salah satu menteri. Langkah Rana tepat berhenti di hadapan putri Arnita yang menatapnya bingung. Apalagi ketika pengawal lain mendekat ke arahnya. Ia tak paham akan kondisi sekarang. Rana menahan napas tanpa sadar, ketika instruksi kembali terdengar di telinganya. Kepala Rana tertoleh ke belakang, mendapati ekspresi kebingungan di wajah Aydin ketika pengawal meminta mereka kembali. Rana menarik napasnya, kembali bersitatap dengan Arnita yang berusaha meminta penjelasan. “Nona Arnita kita harus kembali.” *** “Saya menolak kembali.” Gumaman kecil dari putra mahkota, sukses membuat pasukan pengawal menghentikan langkah. Sorot mata Aydin menajam, tak suka akan orang-orang yang selalu memberinya permintaan untuk pergi tanpa menjelaskan kondisi. Ia menoleh sesaat ke arah Arnita yang memancarkan ekspresi sama di paras cantiknya. Tubuh tegap Aydin menghadap sepenuhnya ke Ranu, pengawal yang paling ia percayai. “Katakan pada saya apa yang sedang terjadi di istana,” ucap Aydin tegas. Kondisi basement menteri pertahanan yang sepi, semakin menambah aura mencekam yang dibuat sang putra mahkota. Ucapannya bisa saja tenang, namun siapapun tau bahwa Aydin siap menunjukkan amarahnya kapan saja. “Kak, ada apa?” Kini Arnita ikut berdiri di sebelah Aydin, menatap Ranu dengan pandangan menuntut. Pengawal yang dulu ditugaskan untuk menjaganya, masih saja bungkam. Persis seperti pasukan pengawal yang lain. “Ranu, jika anda tak menjawab. Saya tidak akan kembali ke istana.” Aydin mengultimatum, menatap pemuda yang lebih tua setahun darinya untuk membuka suara secepatnya. “Maharaja telah meninggal dunia, Yang Mulia.” Raut wajah Aydin melunak, menunjukkan keterkejutan amat sangat di wajahnya. Bersamaan dengan suara teriakan Arnita yang tak terima akan kabar yang ia dengar. Seolah ada beban beribu-ribu ton, dihantamkan begitu saja ke atas kepalanya. Ia tak pernah menyangka mimpi buruknya akan datang dengan begitu cepat. “Seluruh kepatuhan dan kesetiaan kami, siap melayani anda Yang Mulia. Terimalah salam hormat kami, Maharaja Aydin.” Aydin membisu, ketika Ranu kini berlutut di depannya. Menunjukkan segala ketundukkan pada penguasa tertinggi negeri yang baru. Tindakan kecil yang diikuti oleh semua pasukan pengawal dan para supir yang semula menunggu di dekat mobil. Kepala mereka semua tertunduk, menunjukkan segala hormat mereka. Entah apa yang Aydin perbuat hingga waktu mempermainkannya seperti ini. *** Suara terompet panjang, menyambut Aydin ketika dia tiba di Istana. Hal pertama yang Aydin sadari, suara teriakan membahana penjaga gerbang yang menyerukan kedatangannya dengan teramat lantang. Ia tak lagi menyebutnya sebagai 'Putra Mahkota Aydin'. Panggilan itu sudah berubah menjadi 'Maharaja Aydin.' Ketika langkah Aydin tiba di ruang tengah istana, terdengar suara derap langkah kaki terdengar. Ia menoleh, mendapati sang Ibu sudah menatapnya dengan air mata menganak sungai. Tubuhnya bergetar, jelas sekali terkejut akan kematian sang Maharaja yang begitu tiba-tiba. Namun, tak ada waktu untuk terkejut. Sang Ratu, mengenggam roknya lantas memberi penghormatan. Menunjukkan kepatuhan pada sosok Maharaja yang baru. Seolah belum cukup semesta menyiksanya dengan menyaksikan langsung sang ibu membungkuk hormat kepadanya, sosok Nata muncul tak lama kemudian. Langkahnya pelan, tapi pasti. Sejak insiden tersebut, wajah kakaknya yang semula sering sekali dihiasi rona merah berubah menjadi pucat pasi. Menjadi satu-satunya tanda bahwa kondisinya tak lagi sama seperti sebelumnya. Laki-laki itu memandangi Aydin cukup lama, sebelum akhirnya dia menunduk dalam. Memberi penghormatan kepada sang Maharaja. Rasanya jantung Aydin diremas. Seharusnya detik ini, dialah yang menundukkan badan. Menyambut naiknya sang kakak untuk menjadi penguasa negeri. Seharusnya semua orang berlutut dan memberi penghormatan pada laki-laki itu. Seharusnya bukan Aydin. Seharusnya bukan dirinya. Secepatnya Aydin mengalihkan pandang, air mata bahkan enggan untuk turun dari kedua pelupuk matanya. Ia menoleh ke belakang, memberi perintah yang sangat lantang. "Panggil semua petinggi kerajaan ke istana." "Baik, Yang Mulia." Aydin mengigit bibir, beberapa detik memandang Rana yang berdiri beberapa langkah di belakangnya. Ia mendengkus, lantas menaiki anak tangga. Tujuan pertamanya adalah kamar sang Maharaja terdahulu, lantas ruang kerja Maharaja. Lupakan sesi berbincang dengan Rana. Ada hal yang lebih penting untuk ia lakukan sekarang. Mengumumkan kepada rakyat bahwa Maharaja terdahulu telah meninggal dunia. TBC
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN