BAB 3

1691 Kata
"Pagi bunda," Mince tersenyum memandang wanita separuh baya, tepat di depan daun pintu, dengan daster batik berwarna hijau, rambut hitam itu digulung tidak beraturan. Bunda Mince tersenyum memandang putri kesayangannya, "Pagi juga sayang," beliau memeluk tubuh ramping Mince. Mince membalas pelukkan beliau, tidak lupa diberinya kecupan di kening, "Tumben bener datang pagi, biasa siang," Mince melonggarkan pelukkanya, ia tersenyum, "Biasalah bunda, mulai kerja lagi," Bunda Mince mengalihkan pandangannya ke arah wanita berparas cantik itu. Dia adalah Putri, sahabatnya Mince sekaligus rekan kerja putri kecilnya. Siapa yang tidak kenal Putri artis ternama di negri ini. Wanita itu sedang menggendong bayi lucu sehingga ingin segera meraihnya. "Pagi tante," Putri memeluk tubuh beliau. "Pagi juga sayang," beliau membalas pelukkan Putri dengan suka cita. "Masuk lah," beliau memperlebar daun pintu, mempersilahkan masuk. Mince mengapit lengan sang bunda, untuk menyampaikan maksud dan tujuan ia datang ke sini. "Bunda ...," "Hemmm," "Kami titip Mona ya, soalnya kita mau syuting," Beliau tersenyum, mendengar Mona di titipkan di sini bersamanya, "Bunda malah seneng ada Mona di sini," "Bi Sinem juga dititip ya bunda, kan buat bantu-bantu bunda di sini," Bunda Mince tertawa, "Iya, kalian kapan syutingnya?," "Jam sembilan sih bunda. Ini mau berangkat takut macet di jalan," "Yaudah kalian pergi sana, hati-hati di jalan," bunda Mince mengambil alih Mona dari tangan Putri. Tidak lupa diberinya kecupan pada pipi Mona, ia sungguh menyukai bayi lucu ini. Sesungguhnya ia mengharapkan Mince lah yang memiliki baby ini, tapi apalah daya Mince saja belum menikah. "Maaf saya ngerepotin tante, untuk jagain Mona," Putri merasa tidak enak jika sudah seperti ini. "Tante justru senang sayang, macam enggak tau tante aja. Ada Mona rame nih rumah," "Syukurlah kalau tante enggak keberatan jaga mona," "Semua perlengkapan Mona udah di dalam tas tante sama susunya juga, selesai syuting nanti kita ke sini lagi jemput Mona," Putri mencoba menjelaskan. "Iya," "Yaudah kita berangkat dulu ya bunda, soalnya buru-buru," ujar Mince. "Kalian hati-hati di jalan," "Iya tante," Putri mendekati bi Sinem, , "Bi' kalau nanti bantu ibu kemas-kemas jangan diliatin. Bantu Ibu' masak juga," Putri memperingati. "Iya non," "Yaudah kita berangkat dulu," "Hati-hati di jalan non Putri," Putri mencium Mona dengan segenap hati dan jiwa, sesungguhnya ia begitu berat meninggalkan putrinya di tempat bunda Mince. Ia juga tidak bisa percaya begitu saja sama bi Sinem, karena asisten rumah tangganya itu masih baru. Apalah daya ini lah satu-satunya yang ia harapkan menitipkan Mona. Beberapa saat kemudian, Mince dan Putri meninggalkan area rumah bertingkat dua itu. *** Siapa yang tidak kenal MasterChef, suatu ajang pencarian bakat yang diadopsi MasterChef Inggris, yang ditayangkan oleh salah satu stasiun Tv swasta. Ini bukan pertama kalinya ia di undang sebagai bintang tamu di acara masak ini, dulu season pertama ia juga pernah di undang, tapi dengan juri yang berbeda. Untuk bisa memasak seperti ini memang butuh passion yang kuat. Di sini tidak hanya sekedar memasak enak, tapi butuh kecepatan mempresentasikan sajian dalam waktu yang sibgkat. Tampilan master chef dulu dan sekarang sedikit perubahan mulai dari juri dan peraturannya. Ia melihat para juri memunculkan emosi terhadap para peserta. Ia memandang para chef memberi komentar pedas pada setiap kontestan, terlebih laki-laki berkemeja putih itu. Komentarnya lebih pedas dari juri tahun lalu, dia benar-benar memarahi peserta seenak udelnya. Ada juga peserta yang diusir dan diteriaki. Oh Tuhan, wajah dan penampilan Arnold begitu menyeramkan, dia sungguh kejam. Ia tidak bisa membayangkan jika ia masak dengan susah payah dibuang ke tong sampah. Ia yakin masakan peserta itu lebih enak dari pada yang ia masak sehari-hari ala kadarnya di rumah. "Ini bukan makanan kualitas masterchef, ini tidak lebih dari makanan di warung makan," "Masakan kamu enggak enak, tidak berarti saya dapat memberi kamu kesempatan lagi, saya katakan no !," "Ini sampah !," "Tadi kami coba dulu enggak sambalnya? Kalau kamu enggak coba, kenapa kamu suguhkan ke kami?," "Saya enggak bisa rasa apa-apa dengan saus kamu, selain rasa asin !," "Memalukan !," Masterchef seperti ini memang sebuah ajang yang pantas ditonton. Jurinya cantik dan tampan, pandai sekali mereka memainkan emosi. Acara menegangkan ketika memasuki season blackteam. Mereka benar-benar di uji mentalnya dengan chef Arnold. Para kontestan berlari menuju pantri. Kali ini chef Arnold lah memberi contoh memasak pada peserta. Ia melihat tangan Chef Arnold persis seperti penari balet, dengan kecepatan yang tidak bisa diragukan laki-laki. Semua peserta melihat tehnik chef Arnold memasak dan ada beberapa peserta mencatat dibuku. Acarapun terus berlanjut hingga acara selesai. Beberapa saat kemudian, Sementara di sisi lain Arnold memandang Putri sedang sibuk ngobrol dengan Merin, Igar dan beberapa peserta masterchef lainnya. Ia lalu berjalan kebelakang panggung mencari keberadaan wanita bernama Mince. Ia melihat beberapa crew Tv, asisten pribadi Merin, manajer Igar dan Tias selaku makeup artis yang sedang mengemasi peralatannya. Ia terus berjalan mencari sosok Mince. Sepertinya di sini ia tidak menemukan keberadaan wanita asing berparas cantik. Ia terus berjalan menuju toilet, ia menghentikan langkah memandang wanita bersandar di dinding yang sibuk menekuri ponsel. Wanita itu mengenakan kaos putih polos dengan celana jins biru yang sudah pudar. Ia yakin wanita itulah yang bernama Mince, karena dialah satu-satunya wanita yang tidak ia kenali. Ia menyungging senyum dan feelingnya kuat, bahwa dialah Mince. Ia memperhatikan rambut panjang berwarna coklat kekuningan itu, mungkin dia sengaja mengecat warna rambutnya menjadi blonde. Secara fisik wanita itu tidaklah buruk, cara berpakaiannya cukup simpel. "Hai," itulah yang pertama kali ia lakukan, cara berkenalan dengan wanita. Mince menoleh menatap laki-laki berkemeja putih dengan lengan baju tergulung ke atas. Ia menelan ludah, ternyata yang menyapanya itu adalah chef Arnold. Laki-laki itu memiliki mata tajam dan alis yang tebal. Dia bukanlah laki-laki tampan, melainkan laki-laki sexy seperti Farhan. Ia memasukan ponsel di saku celana, "Saya ...," Mince seakan tidak percaya bahwa Arnold lah yang menyapanya. "Iya kamu," Arnold berusaha tenang. Arnold memperhatikan struktur wajah Mince. Wanita itu memiliki hidung mancung dan rahang menonjol. Benar kata Alan dan Farhan bahwa Mince tak kalah cantiknya seperti Putri, hanya dia memiliki gaya sporty yang simpel. "Ada apa ya," Mince bingung akan berbuat apa berhadapan dengan Arnold. "Tadi saya dari toilet, dan melihat kamu di sini," Arnold memberi alasan. "Owh gitu," "Acaranya sudah selesai ya?," tanya Mince. "Iya sudah, tapi yang lain masih sibuk, lagi nunggu siapa?," "Putri, saya manajernya Putri," ucap Mince. "Owh manajernya Putri, saya pikir pacarnya Tian," Mince mengerutkan dahi, "Tian siapa?," "Produser diacara program ini," "Bukan kok," "Syukurlah kalau gitu, tadi saya lihat Putri masih ngobrol-ngobrol sama Merin dan Igar," Mince melirik jam melingkar ditangannya menunjukkan pukul 12.30 menit. Ia menatap Arnold masih tidak sedikitpun menjauh darinya. Arnold menarik nafas, sepertinya wanita ini sama sekali tidak berniat berkenalan dengannya. Padahal di luar sana, wanita-wanita dengan sangat agresif mendekatinya. "Boleh kenalan kan?," tanya Arnold. "Boleh kok," Arnold mengulurkan tangan, diberinya senyum termanis yang ia miliki, "Saya Arnold," Mince tersenyum menyambut uluran tangan Arnold, siapa yang tidak suka berkenalan langsung dengan chef terkenal ini, "Seluruh penduduk di Indonesia ini tahu, bahwa kamu adalah Arnold Rinaldi," "Sepertinya begitu, tapi di sini saya mau mengenalmu secara personal," Arnold merasakan jemari lentik dipermukaan tangannya. "Jadi ...," "Saya Minara Cendana, panggil saja Mince," "Senang berkenalan denganmu," "Saya dong yang senang, ini merupakan suatu kebanggaan tersendiri berkenalan dengan chef hebat seperti kamu," Mince melepaskan jemarinya. Arnold lalu tertawa, ia lalu bersandar di samping Mince, "Sudah lama jadi manajer artis?," "Lumayan," Mince menyelipkan rambut di telinga, melirik Arnold. "Pasti sibuk ya," "Gitu deh, dan kamu ?," "Yah, lumayan sih apalagi di hotel," Arnold sengaja membuat suasana senyaman mungkin. "Jadi kamu kerja di hotel juga? Hotel mana?," "Swiss Hotel," Alis Mince terangkat, "Hebat dong, itu hotel bintang lima kan," "Iya, tapi biasa aja lah," Arnold terkekeh. "Udah lama ya jadi chef," "Tiga belas tahun, baru deh dapat pengakuan gelar master," "Gila lama banget, ngapain aja di luar sana," Mince seakan tidak percaya. "Belajar masak dong, dan semua itu enggak mudah," Mince memandang Arnold, ia memandang iris mata tajam itu, "Wah wah, saya enggak nyangka kamu belajar selama itu," "Dan sekarang kamu harus percaya, bahwa saya belajar selama itu," "Oke, saya percaya," Mince terkekeh melirik Arnold yang ikut tertawa. Setelah berbasa-basi dengan Merin dan Igar, Putri segera kembali ke backstage. Ia melihat Arnold entah hilang kemana, ia mencari keberadaan Mince. Ia hanya melihat para crew tv yang sedang sibuk dengan pekerjaannya. Ia masuk ke ruang make up, tapi yang di dapat hanyalah Tias. "Oh Tuhan, Mince hilang !," Putri mulai cemas. Inilah yang ia takutkan, karena dari kemarin perasaanya tidak enak. Ia melangkahkan kakinya keluar menuju area toilet, karena Mince paling senang menjadi penghuni toilet. Ia mengeluarkan ponsel, mencari kontak Mince, ia meletakan ponsel di telinga kiri. Ia menghentikan langkah memandang Mince yang sedang tertawa bersama seorang laki-laki. Laki-laki itu adalah Arnold, apa yang ia takutkan selama ini benar terjadi. Arnold mendekati Mince, pasti terselip nama Farhan di sana. "Berengsek !," Putri mendekati Mince, ia yakin Arnold berniat menggoda Mince. Arnold menyadari kehadirannya dan dia tersenyum licik. Senyum dia sungguh mengerikan. "Min ... !," Mince menoleh ke samping, tersenyum memandang Putri, "Udah selesai ?," "Iya udah," "Cabut !," "Oke," Mince melirik Arnold yang masih menatapnya. "Nanti saya telfon kamu," Mince mengerutkan dahi, "Loh, emang kita pernah tukeran nomor telfon?," Arnold mendekatkan wajahnya tepat di telinga Mince dan lalu berbisik, "Saya sudah memiliki nomot ponsel kamu dari kemarin," "Loh ...," Mince masih sulit mengerti, "Sepertinya saya sudah menemukan pelangi yang sudah lama hilang," Seketika bulu kuduknya berdiri, ia melihat tubuh Arnold menjauh. Ia memandang Putri sudah berada di samping dan menarik tangannya, "Cepet balik," "Iya, iya," Mince mengikuti langkah Putri. Putri melirik Mince, ia berjalan cepat menuju basement, "Gue kan udah bilang sama lo dari kemarin, Arnold itu sahabtnya Farhan, gue yakin tuh cowok ada maksud tertentu dekati lo," Mince menepuk jidat, "Ya ampun Put, gue lupa beneran deh !," "Ih lo sih ! Lupa mulu. Arnold itu bahaya Min, akal-akalan dia aja deketin lo," "Huh dasar, berengsek tuh cowok !," "Pantesan, perasaan enggak enak gitu dia deketin gue tadi. Jadi gimana dong Put !," "Makanya cepat balik," Mince dan Putri lalu bergegas menuju basement. Mereka tidak akan menunda kembali, untuk pergi dari area ini. Di satu sisi ada empat pasang mata memandang dari kejauhan, sambil menyungging senyum penuh arti. Seolah menemukan harapan yang telah hilang, di satu sisi ada mawar yang sudah terlanjur diraih dengan tangan terluka. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN